Aksi 212 Catatan Sang Penuntut Rasa Keadilan



Oleh: Sohib Muslim **

Sebuah pengalaman pribadi. Pada tanggal 2-12-16 kurang lebih pukul 04:00 WIB. Saya beserta rombongan dari Cirebon tiba di Jakarta, tepatnya di seputaran Mesjid Istiqlal. Kami pun turun dan memarkirkan kendaraan dengan posisi cukup jauh dari titik tujuan kami, karena jalan sudah penuh sesak dengan kendaraan berbagai jenis dan ukuran yang sudah lebih dulu tiba di Jakarta. Setelah turun dari mobil, kami pun langsung menuju Mesjid Istiqlal untuk melaksanakan berjamaah Sholat Subuh. Saya tambah kaget ketika melihat mesjid Istiqlal sudah penuh, sesak dengan orang berpakaian dan berpeci putih. Saya yang merasa paling dulu datang ke Jakarta, ternyata terlambat berada di shof jamaah paling depan. Akhirnya kami sholat berjamaah di pelataran lantai dua Mesjid Istiqlal.

Baca Juga: 212 Menjadi Populer Di Dunia Maya


Setelah selesai berjamaah, kemudian kami bergegas menuju titik tujuan kumpul yaitu MONAS. Cuaca mendung membuat saya sedikit khawatir, karena tidak berbekal pakaian ganti. Akhirnya saya membeli jas hujan murah yang dijual dipinggir jalan. Mendekati gerbang MONAS massa sempat sedikit tertahan karena mulai terjadi penumpukan massa sekaligus ada pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Alhamdulillah, pelan tapi pasti kami pun bisa masuk ke komplek MONAS dengan tertib.


AWAS JADI FITNAH

Setibanya di gerbang MONAS massa sudah mulai berdatangan dan padat merayap, karena massa sudah mulai menumpuk pada satu titik. Sekaligus juga ada pemeriksaan dari aparat keamanan di gerbang MONAS, setiap tiang bendera simbol organisasi yang dibawa oleh peserta aksi diminta untuk tidak dibawa ke dalam, dengan ucapan “mohon maaf ya mas” tiang benderanya mohon dilepas untuk mejaga ketertiban dan keamanan. Peserta aksi pun dengan suka rela melepas bendera simbol organisasi dan tiangnya diserahkan untuk dikumpulkan. ucapan terima kasih pun meluncur dari setiap mulut peserta aksi. Itulah kira-kira yang terlihat dan terdengar oleh saya (kebetulan saya tidak membawa atribut apapun).

Setibanya didalam komplek Tugu MONAS saya pun disuguhi oleh pandangan dan ucapan yang sederhana dan sopan, ketika ada peserta aksi yang tanpa sadar menginjak rumput, panitia atau peserta yang lainnya saling mengingatkan agar tidak menginjak rumput. Mas tolong jangan injak rumputnya, nanti disorot media dan jadi fitnah, mohon maaf ya mas. Begitu pun dengan orang yang membuang sampah, teguran sopan dari panitia dan sesama peserta aksi hampir sama. Saya terheran-heran dengan ucapan itu, begitu sederhana tapi cukup mengena.

Sesampainya di dekat MONAS dan mengambil posisi di dekat patung kuda, beberapa petugas juga mendekati peserta aksi dan memberi tahukan dimana tempat wudlu dan toilet yang sudah disediakan, walau sebenarnya penunjuk arah sudah terpasang, juga tempat sampah yang sudah disediakan oleh panitia. Begitupun dengan pengumuman dari sumber suara di atas panggung, para ustad selalu mengingatkan agar peserta tidak boleh menginjak rumput dan merusak taman. Tolong kepada peserta aksi jaga taman dan jangan menginjak rumput supaya tidak rusak, jangan sampai rumput yang rusak menjadi sorotan dan kita disalahkan di berita. Kalau media biarkan saja, karena mungkin tidak akan diberitakan.

Persiapan dari pemerintah DKI yang di nakhodai oleh PLT Gubernur sering disapa Bapak Soni seperti Mobil pembawa air untuk wudlu, mobil team kesehatan berderet, toilet umum, panggung begitu besar, dan berbagai pasilitas lain sudah disediakan, Sound sistem yang menggelegar kesetiap penjuru massa aksi. Tempat penampungan sampah (Plastik hitam) bergantungan di setiap sudut tiang pagar taman, semua itu untuk memberikan kemudahan kepada peserta aksi untuk menyimpan dan mengumpulkan sampah.

Saya semakin kaget melihat massa berpakaian putih-putih sudah berjubel didekat panggung utama tempat aksi berlangsung. SUBHANALLOH, itulah kata yang tanpa sadar keluar dari bibir saya. Kami pun mengambil posisi didekat patung Kuda di komplek tugu MONAS. Agar tidak tercecer, seluruh rombongan ikhwan dari Sabilul Huda Cirebon dikonsentrasikan dekat patung Kuda. Saya pun mendapat pesan dari Umi (istri saya) agar tak jauh dari rombongan. Kami mengambil barisan dan bergabung dengan rombongan dari daerah lain. Saya duduk menghadap ke selatan, kearah dimana layar besar sudah disiapkan sebagai tanda pusat komando aksi 212. Panitia mulai memberikan instruksi agar semua peserta tertib dan menempati tempat-tempat yang tersedia. Satu per satu para ustad, guru, cendekia, kiyai, habaib yang sudah lebih awal datang memberikan orasi dan membakar semangat massa aksi. Teriakan kalimat TAKBIR, TAHLIL serta Sholawat menggema di langit Jakarta dan MONAS pada khususnya.

Cuaca mendung, rintik air hujan menetes dan angin sepoi pun mengusap lembut wajah saya. Kalimat TAKBIR, TAHLIL serta Sholawat terus menggema mengiringi kedatangan jutaan massa Islam ke MONAS. Tepat pukul 08:00 WIB, massa sudah tidak tertampung lagi di MONAS. Informasi yang disampaikan Ustad Bachtiar Nasir, massa sudah memenuhi bundaran Hotel Indonesia (HI), Tamrin, Subroto, Sudirman, dan sekitarnya. Melihat kondisi massa yang begitu banyak di MONAS, dan mulai terdengar riuh dengan berbagai teriakan tuntutan agar Ahok segera ditangkap, diadili dan dijebloskan ke penjara. Tampillah ustad Opik melantunkan sholawat.

Kelembutan suaranya, mampu membuat massa menjadi tenang dan larut dalam lantunan Sholawat. Tapi itu tidak berlangsung lama, saat tokoh-tokoh Nasional mulai naik panggung massa mulai bangkit lagi. Bacaan Sholawat berganti dengan teriakan PENJARAKAN dan SERET AHOK PENISTA AGAMA mulai terdengar garang. Bahkan waktu KAPOLRI memberikan sambutan pun, teriakan hhhhuuuu...turunnn... TANGKAP AHOK terdengar bergemuruh. Teriakan-teriakan PENJARAKAN dan SERET AHOK penista Agama semakin riuh di langit Jakarta. Teriakan harap tenang, ini simbol negara dan perintah takbir dari atas panggung tidak digubris oleh massa. Tanpa sadar saya hanyut dalam suasana teriakan tersebut.

Situasi yang mulai memanas ini rupanya dipahami oleh para tokoh di atas panggung, Setelah KAPOLRI selesai memberikan sambutan, giliran ayahanda Arifin Ilham memberikan tausyiah. Kelembutan suara ustad Arifin Ilham dalam membaca kalimat tasbih bukan saja mampu mendiamkan massa, tapi sekaligus mendinginkan dan melembutkan suasana di langit Jakarta, bahkan saat do'a-do’a mulai terdengar dari bibirnya suasana menjadi syahdu, massa semakin menunduk dan kata Amiiinnn keluar dari jutaan bibir yang mengangkat tangannya mengamini lantunan do’a Ustad Arifin Ilham. Tanpa terasa air mata saya menetes dan semakin deras menjadi tangis. Kata Amiiin pun deras meluncur dari bibir saya. Do’a-do’a Ustad Arifin Ilham diiringi rintikan lembut air hujan yang turun di langit Jakarta, bersama tetesan air mata jutaan massa aksi 212 super damai.

Saat Habib Riziek mengumumkan dan memberikan penghargaan kepada peserta aksi dari Ciamis yang sudah datang, suasana kembali bergemuruh, kalimat takbir dan kata hidup Ciamis menggema seiring dengan kata-kata Habib Riziek yang heroik. Kemudian setelah diberikan kesempatan, disambung dengan sambutan dari utusan Ciamis yang tak kalah garang. Beliau bercerita tentang suka duka berjalan ratusan kilo dari Ciamis ke Jakarta, sampai bantuan bus dari pemerintah Propinsi Jawa Barat pun ditolaknya. Massa kembali bergemuruh dengan teriakan hidup Ciamis dan takbirpun kembali menggema. Silih berganti para ustad, cendekia, Kiyai, Ulama dan Habaib naik ke panggung, ada yang membaca sholawat, memberi tausyiah dan membaca 10 ayat pertama surat Al-Kahfi.

Tiba saatnya A Agym memberi tausyiah, diawali kalimat Takbir dan Tahlil, A Agym memberikan tausyiah yang menyejukkan, kalimat yang saya garis bawahi dari tausyiahnya adalah bahwa kita boleh beda tapi gak boleh marah, karena perbedaan sudah menjadi sunnatullah. Contoh yang A Agym berikan pun cukup sederhana dan sangat dipahami, kejenakaan A Agym menjadikan suasana kembali cair dan terasa akrab, tidak ada lagi teriakan-teriakan garang dari peserta aksi. Apalagi saat A Agym ngeguyoni KAPOLRI, semua tertawa, mungkin bukan karena guyonnya, tetapi karena siapa yang diguyoni A Agym.

Mendung bergayut di langit Jakarta, awan hitam mulai bergulung pertanda akan hujan besar, rintik lembut air hujan mulai berubah menjadi tetesan. Tiba saatnya waktu mendekati sholat Jum’at, ustad Bachtiar Nasir mengumumkan bahwa waktu sholat Jum’at akan tiba sepuluh menit lagi, sekaligus juga mengumumkan bahwa Presiden Jokowi dan Wapres Jusup Kalla segera akan tiba di MONAS. Hujan di sebelah barat mulai turun cukup deras, saya pun berdiri dan memakai jas hujan yang saya beli pada waktu berangkat. Melihat situasi ini Habib Riziek mengumumkan kalau massa aksi tidak boleh ada yang bergerak meninggalkan arena, dengan diawali perintah takbir dan pemberian doa supaya dibaca bersama-sama oleh massa agar hujan diturunkan oleh Alloh ditempat yang memang membutuhkan hujan.

Ini yang membuat saya heran, saya memperhatikan awan yang bergayut hitam membawa air hujan terlihat sudah begitu pekat dan berada persis di atas MONAS, sambil duduk dan terus bersholawat dan bertakbir saya memperhatikan langit, tiba-tiba angin bertiup cukup kencang, dan awan pekat hitampun terbelah menjadi dua arah, ke arah kanan dan ke arah kiri. Walau Hujan tetap turun tapi tak sederas yang dibayangkan. Sambil melantunkan takbir, tahlil dan sholawat massa tetap duduk dan tak ada yang bergerak satupun. Habib Riziek pun bertindak sebagai Khotib Jum’at. Khotbah Jum’at yang begitu heroik, menjelaskan tentang Nasionalisme, tentang kebhinekaan, tentang penghormataan yang harus dilakukan oleh umat Islam kepada pemeluk agama lain, tentang NKRI yang sudah menjadi harga mati bagi warga Negara Indonesia.

Hikmah yang mampu saya peroleh dan sekaligus menjadi catatan penting dalam hidup saya melalui aksi 212 yang turut menuntut rasa keadilan di negeri ini. Betapa Maha Agung, Maha Besar, Maha Perkasanya Alloh SWT, serta betapa indahnya Al-Qur'an yang telah mampu menyatukan hati dan perasaan ummat-Nya dari berbagai penjuru tanah air. SUBHANALLOH.......!!! Kesyahduan, keterharuan, kekagamuman, heroisme dan kebanggaan campur aduk memenuhi dada saya. Saya bersyukur bisa hadir di aksi 212, walau hanya menjadi debu di tengah hamparan lautan manusia di Jakarta.

(Tulisan ini pernah dimuat di cakrawalailmu.com. seminggu setelah gelaran aksi 212, hanya saja karena web berbayar dan telat memperpanjang, sehingga tulisan tersebut hilang secara otomatis. saat ini sengaja editor muat kembali di blogg pribadi sebagai khasanah perjalanan dan perjuangan hidup penulis)

Tentang Penulis **

Alumni STAIN Cirebon tahun 2002 Fakultas Dakwah, program studi komunikasi Penyiaran Islam. Selama mahasiswa beliau aktif dibeberapa organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Seperti MAHAPEKA UKM STAIN Cirebon, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Cirebon, dan aktif pula di Ikatan Mahasiswa Kuningan (IMK).

Comments

Popular posts from this blog

Biografi Lengkap Prof. Dr. H. Cecep Sumarna

Soal UAS Mata Kuliah Filsafat Pendidikan STKIPM Kuningan

Paradigma Terbalik