Belajar dari Bu Iin
lahir sekitar tahun 1938 disebuah kampung bernama Cikuya. Dinikahi pada usia yang relatif belia oleh seorang pemuda desa bernama Istohari dan melahirkan lima (5) orang anak dengan 14 Cucu. Menjalani kehidupan di sebuah kampung yang dinamis dan agamis. Mengandalkan kemampuan bertani dengan garapan Sawah dan Huma. Selain bertani, disaat musim paceklik datang suami Iin juga menjadi seorang pendulang Emas dikampungnya dan bahkan demi membahagiaakan keluarga dia juga rela meninggalkan anak dan Isterinya untuk berangkat merantau ke lokasi yang dianggap ramai mendulang emas; seperti di Pulau Jawa bahkan merantau melintasi Pulau lain, Sawah Lunto, Jambi, Kalimantan dan daerah lain yang diduga ada titik titik Emasnya.
Istohari meninggal dunia pada tahun 2010 di usia 69 tahunan. Bu Iin dengan berat menghadapi kenyataan ditinggalkan sang suami tercinta yang biasa menghidupi keluarganya bersama sama. Kesedihan itu tampak diraut wajah disaat dia menceritakan perjalanan hidupnya. berusaha dengan Ikhlas menerima kenyataan ditinggalkan sang suami walau diawal awal terasa berat menjalankannya. Beban kehidupan yang harus dia tanggung dan dia jalani, bermodalkan 3 Petak Sawah dan satu belah huma yang ditinggalkan suaminya menjadi tumpuan dan harapan untuk tetap mempertahankan kehidupan desa bersama anak dan cucu cucunya.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Bu Iin boleh dikatakan berhasil mendidik dan memotivasi anak-anak dan cucu agar hidup selalu menjaga satu sama lain terutama dengan saudara dan tetangga. Hingga sekarang Lima anak itu relatif mapan dengan rumah-rumah yang didirikan cukup mentereng dikampung halamannya. Ketika ditanya apa yang menjadi spirit Ibu Iin, beliau menjawab dengan sederhana Iklas Menerima dan Menjalani apa yang diberikan Allah kepada kita dan menjalankannya melalui Ikhtiar dan Do'a, berusaha memberikan yang terbaik atas apa yang dimiliki kepada siapa pun yang membutuhkan.
Oleh: Arip Amin
Oleh: Arip Amin