Etika dan Dialektika Nilai

Cecep Sumarna

Etika dan Dialektika Nilai
Etika: Telah kuciptakan dia supaya ruhaninya memasuki jasmaniyahnya. Kini sifat jasmaniyah itu telah memasuki hingga ke dalam ruhnya. Itulah ungkapan tokoh ilmuan moralis Bossuet yang dikutif Julien Benda atas kegelisahannya menyaksikan ilmuan yang tidak memasukan unsur moral dalam pengetahuan yang dikembangkannya. Etika adalah salah satu unsur penting yang terdapat dalam teori nilai.
Kata teori nilai yang terdiri dari dua suku kata, yakni teore dan nilai. Dua kata dimaksud tampaknya merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, logos (akal dan teori) dan aksios (nilai, atau suatu yang berharga).
Para ahli filsafat sering menyebut teori nilai sama dengan aksiologi. Seperti diketahui bahwa aksiologi merupakan bagian dari tiga cabang besar Filsafat Ilmu, yakni: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Aksiologi sering disebut sebagai ilmu yang melakukan penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari sesuatu yang disebut nilai.
Nilai disebut aksiologi karena cabang filsafat ini menyelidiki hakikat nilai ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Louis O. Kattsoff (1986: 325) menyebut beberapa cabang pengetahuan yang terkait dengan masalah nilai, atau setidaknya berkeperluan terhadap nilai. Nilai dimaksud seperti ekonomi, etika, estetika, filsafat agama dan epistemologi kebenaran. Bidang-bidang ini, menurut Kattsoff mesti dibingkai dalam kaidah nilai. Sebab betapapun tingginya capaian fisik yang dihasilkan dari basis keilmuan di atas, ia tetap akan kehilangan nilai substantifnya, tanpa nilai yang mengidealisir sistem bangunannya.
Bab ini semangatnya mengurai tentang nilai dalam ilmu. Bagaimana nilai harus diterapkan ketika berhadapan dengan wilayah keilmuan? Apakah nilai dapat disusun dalam rumusan tunggal sehingga diakui bahwa nilai itu mengandung makna universalitasnya atau tidak? Lalu bagaimana ilmuan dan kita semua bersikap ketika fakta menunjukkan bahwa penilaian terhadap nilai itu subjektif? Sebatas mana pula subjektivitas itu ditoleransi? Inilah urgensi terpenting dari kajian di bab ini.
Dialektika Nilai
Nilai etik selalu menjadi dialektika sejak jaman Yunani Kuna. Ambil contoh misalnya, dialektika yang terjadi antara Aristoteles dengan gurunya Plato. Dialektika itu bahkan terjadi sampai abad ke 21 sekarang ini. Persoalan nilai tetap menjadi persoalan unik sekaligus menarik. Dialektika atas penting dan tidaknya nilai dalam hidup, termasuk dalam bingkai ilmu pengetahuan, selalu menjadi wacana yang perbincangannya telah menghabiskan jutaan seminar dan ribuan daerah tempat di mana seminar itu dilaksanakan.
Belum kalau dihitung berapa uang yang dihabiskan untuk membiayai acara-acara dimaksud. Hasilnya tetap sama. Nilai diakui ada, tetapi selalu berbeda dalam konteks di mana nilai itu harus ditempatkan. Dialektika itu, nyaris belum pernah bergeser. Antara keyakinan bahwa nilai itu penting diterapkan, dan bahwa ilmu itu bebas nilai karena ilmu telah membawa nilainya sendiri dan terbebas dari nilai dogmatis dan agamis, sampai sekarang belum dapat diselesaikan dengan dengan tuntas.
Kritik di meja seminar yang berwibawa, juga belum mampu mengubah peta. Hasilnya selalu sama. Nilai diperdebatkan. Di kalangan ahli susastra dunia, seperti Rabindranat Tagore (India), Iqbal (Pakistan) dan novel-novel Dan Brown (Barat), meski diakui pentingnya nilai, tetapi fakta di lapangan, nilai etik belum eksis khususnya dalam praksis ilmu.
Asumsi di atas mengisyaratkan bahwa persoalan nilai dikaji dalam kajian filsafat, tampaknya sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang tetap sulit dipertemukan. Meski sekaligus, selalu menarik didiskusikan. Sekelompok ilmuan ada yang menganggap bahwa filsafat dan ilmu bebas nilai (vlaue free). Nilai dianggap tidak memadai untuk menjadi objek ilmu.
Alasannya, nilai sulit untuk diobservasi dan diujicobakan melalui eksperimen. Padahal ilmu mensyaratkan berlakunya prinsip generalisasi. Di sisi lain, ada juga ilmuan yang menganggap bahwa ilmu terikat nilai (value bound). Sebab jika filsafat dan ilmu tidak dibingkai nilai, maka hasil perenungan kefilsafatan dan hasil kajian keilmuan akan bergerak ke arah yang membahayakan. Kelompok terakhir ini, bahkan ada yang menyebut nilai sebagai ruhnya ilmu. Ilmu tanpa nilai dengan demikian diibaratkan seperti tubuh tanpa ruh (mati) yang berarti tidak berguna.
Namun demikian, kita dituntut jujur untuk menyabut bahwa capaian peradaban yang dihasilkan dwi tunggal ilmu pengetahuan teknologi, yang sebut saja tanpa nilai, ternyata cukup mencengangkan umat manusia. Manusia telah berhasil membalikkan takdir butanya pada sikap mental menundukkan berbagai gejala alamiah. Manusia modern, dalam konteks tertentu bahkan dapat difahami telah berhasil mengembalikan citranya sebagai khalifah yang bertugas menundukkan alam dengan berbagai gejala yang terjadi padanya.
Archi J. Bahm (1980:12-34) dapat disebut sebagai salah satu figur kunci ilmuan modern yang menghendaki adanya nilai dalam ilmu pengetahuan. Sebuah buku dengan judul What is “Science” yang ditulis pada tahun 1980-an, menjadi bukti nyata atas kegelisahan tokoh dan ilmuan Barat terhadap perkembangan ilmu di dunia Barat kontemporer yang hampir sama sekali bebas nilai.
Dalam buku Bahm menghendaki adanya pengakuan pentingnya nilai bagi ilmu. Ia menolak hipotesis sebagian ilmuan yang menyatakan bahwa dampak negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan diakibatkan karena terlalu banyaknya ilmu dan teknologi yang dikembangkan. Menurutnya akan cukup krusial dalam tatanan keilmuan moderen jika paradigma pengetahuannya sama sekali bebas nilai. Sebab masalah yang sejati atas runyamnya perkembangan ilmu barat modern justru lebih disebabkan karena ilmu dan teknologi tidak dilengkapi aksiologi, etika, religiusitas dan sosiologi. Ilmu telah ditempatkan seolah sama sekali bebas nilai yang akhirnya sulit dikendalikan.
Tokoh semacam Bahm, belakangan sudah mulai banyak. Rabindranat Tagore (India) melalui karya sastranya telah menunjukkan dengan seksama betapa ilmu yang dikonstruk Barat yang tanpa nilai berpengaruh besar terhadap runtuhnya tatanan sistem kemasyarakatan. Banyak kondisi yang chaotict akibat basis keilmuan yang lahir tanpa nilai. Gejala alam yang unpredictable dan mengagetkan umat manusia belakangan ini, atau hilangnya kerukunan antar sesama manusia dianggap Tagore karena hilangnya ruh niai dalam prinsip keilmuan yang dikonstruk manusia moderen. Semua itu terjadi karena ilmu telah membebaskan diri dari sesuatu yang disebut nilai.
Manusia moderen, dengan congkak dan sombong, dengan berlandas pada kuatnya capaian pengetahuan, telah menempatkan kehidupan dunia sekarang ini, seolah menjadi akhir sejarah perjalanan manusia (the end of history). Manusia yang hidup dengan basis modernitas yang tanpa dan hampa nilai, akan menganggap kehidupan ini sebagai tindakan bebas. Seolah manusia menjadi generasi akhir yang tidak ada generasi lain selain dirinya. Manusia moderen, tumbuh menjadi kelompok egois yang sama sekali tidak meninggalkan budi baik kepada anak cucu serta species lain yang hidup setelah kehidupan mereka sekarang.
Di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas Muslim, soal nilai dalam ilmu telah menjadi kajian penting dan telah mengisi ruang publik yang telah lama kosong. Sebut saja tokoh semacam Kuntowijoyo (UGM), Noeng Muhdjir (UNY), Herman Soewandi (UNPAD), Achmad Tafsir dan Nurwadjah Achmad EQ (UIN Bandung), dan Achmad Sanusi serta Djawad Dahlan (UPI) Bandung. Dalam dua dekade terakhir ini, mereka begitu concern dan banyak menyoroti soal pentingnya nilai dalam basis ilmu pengetahuan. Mereka rata-rata gelisah menyaksikan dinamika ilmu yang bebas nilai berkembang di berbagai ranah kehidupan manusia.
Menurut mereka, berbagai kerancuan dalam sistem hidup sekarang ini, diakibatkan karena hilangnya nilai (dalam makna sempit ruh ketuhanan) dalam basis keilmuan. Basis pengetahuan yang bebas nilai ini disayangkan sangat kuat mempengaruhi corak budaya masyarakat. Hilangnya nilai dalam basis keilmuan akan menciptakan tatanan hidup masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Pertanggung jawaban manusia menjadi sangat verbal dan jauh dari substansi kajian kemanusiaan.
Kajian tentang nilai dalam ilmu, memang bukan temuan baru dalam filsafat. Upaya memasukkan unsur nilai dalam ilmu sebenarnya telah ada sejak jaman Socrates yang terpikat akan nilai-nilai, keindahan, keadilan, kebaikan dan kesucian. Socrates mengatakan, “kenalilah diri sendiri”. Dalam bahasa Islam melalui Hadits Qudsi disebutkan bahwa mengetahui diri adalah jalan mengetahui Tuhan. Melalui pengenalan terhadap diri sendiri, dianggap akan merembes ke berbagai persoalan yang dipelajari. Mengenal diri sendiri berarti mengenal dunia tempat manusia hidup, mengetahui cara memperoleh pengetahuan dan ia pun mengerti tentang apa yang dinamakan hidup dan jiwa.
Corak berpikir Socrates semacam itu, mendorong para ilmuan lain untuk menyebut bahwa Socrates adalah sosok filosof yang sangat peduli terhadap persoalan kesusilaan dan sering pula ia disebut sebagai Nabi. Penyebutan sosoknya yang demikian, diperkirakan karena pemikirannya selain sangat filosofik, juga tertuang gagasan yang mendorong tampilnya ketertiban sosial menurut tata aturan dan sistem nilai yang sub­stantive yang berasal dari wujud substansial-ruhaniyah. Dalam bahasa Islam wujud subtantif itu, disebut Allah.
Namun demikian, menurut Risieri Frondizi (1963), upaya sistematisasi nilai bagi ilmu pengetahuan, baru menemukan efistemnya di pertengahan abad ke-17. Pemikiran soal pentingnya nilai ini, mulai tereduksi menjadi ilmu ketika Prancis Bacon menyarankan agar ilmu ditunjukan untuk memperbaiki nasib umat manusia di muka bumi. Bukan sebaliknya. Ilmu dan anak turunnya bernama teknologi malah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan umat manusia.
Konsep ini kemudian dimatangkan ketika para ilmuan demikian terkejut menyaksikan hancurnya kota Hirosima dan Nagasaki Jepang yang dibom Atom oleh Sekutu (1945). Sesaat setelah dua kota Jepang itu runtuh, para ilmuan kemudian mempertanyakan, apakah pengeboman bom atom tersebut bersifat susila? Apakah pengguanaan bom atom yang demikian dahsyat itu dapat dibenarkan?
Albert Einstein yang sering disebut sebagai tokoh penting dalam merumuskan rekomendasi pembuatan bom atom sendiri kepada Presiden Rosevelt, dikabarkan meninggalkan Amerika dan hidup dengan cara menyepi di Kota Kecil Inggris dan kembali taat menjalankan agamanya (Yahudi) setelah ia menyaksikan hancurnya dua kota di Jepang tadi. Kondisi demikian lebih diperparah dengan merebaknya pencemaran lingkungan di mega-mega politan dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam. Dalam kondisi yang demikian, para ilmuan kemudian menaruh simpati yang teramat kuat akan pentingnya etika ilmu pengetahuan yang dalam beberapa hal dapat disebut sebagai pentingnya nilai bagi ilmu dan menganggap ilmu yang selama ini berkembang berjalan di atas prinsip-prinsip sekular yang bebas pertaliannya dengan unsur nilai.
Sejak ilmu membebaskan diri dari nilai, ilmuan terus bergulat dan memperdebatkan pentingnya aksiologi dalam ilmu pengetahuan. Tujuannya jelas. Yakni untuk memberi nilai terhadap sains dan seni yang dihasilkan manusia. Konsep ilmu untuk ilmu, kemudian dipertanyakan ulang. Sebab pengembangan ilmu dan seni semestinya bergerak menuju upaya peningkatan kesejahteraan manusia. Bukan sebaliknya.
Konsep Galileo Galilei dan Nicholas Covernicus yang menyebut ilmu untuk ilmu akibat kegagalan Gereja mendefinisikan dirinya dalam hubungan dengan ilmu, atau lukisan Monalisa yang demikian seksi yang dibuat Leonardo Da Vinci sebagai bentuk perlawanan dunia seni terhadap kungkungan Gereja, harus segera dianggap usang. Atau serendahnya ilmuan dituntut berani melakukan meta evaluasi terhadap gagasan semacam itu. Sebab, sangat mungkin gagasan Galileo Galilei dan Covernicus sebagai transvaluasi nilai sebagaimana telah diperagakan August Comte yang menyebut bahwa Tuhan Mati. Bagi saya, keringnya nilai dalam bingkai ilmu akan berakibat pada runtuhnya ruh ilmu pengetahuan. Dan ini, akan sangat mengancam eksistensi manusia itu sendiri.

wallohualam bissawab.

Popular posts from this blog

Biografi Lengkap Prof. Dr. H. Cecep Sumarna

Soal UAS Mata Kuliah Filsafat Pendidikan STKIPM Kuningan

Paradigma Terbalik