Sejarah Ilmu Pengetahuan
Dunia Mistik
Mistik.
Kata dimaksud tentu bukan barang baru dan asing.
Semua masyarakat --terdidik atau awam--
pasti mengenalnya. Di kalangan masyarakat akademik, mistik sering menjadi
kajian. Di kalangan masyarakat awam, mistik,
meski mungkin tidak pernah dikaji secara ilmiah --sebagaimana
dilakukan kaum akademik-- dan juga tidak dipahami
secara ilmiah, tetapi perilaku mereka yang berbau mistik, cenderung menjadi
kegiatan rutin.
BACA JUGA: ADAKAH KEGUNAAN MITE ?
BACA JUGA: ADAKAH KEGUNAAN MITE ?
Contoh
sederhana tentang mistik yang menjadi perilaku kaum awam dapat dibaca dalam
cerita berikut ini. Ketika
hujan di musim kemarau turun, biasanya muncul pelangi. Warna yang terlihat dari
pelangi tadi, tidak kurang dari tujuh jenis.
Tujuh jenis warna dimaksud dianggap sebagai jalan tujuh bidadari
dari Syurga, dari kahiyangan, dari dunia maya yang ideal bergerak
menuju suatu pemandian di bumi. Mereka sedang turun untuk mandi di
bumi. Membersihkan diri dari "kotoran” Syurgawy dan upaya menengok bangsa
bumi yang kotor.
Setiap
malam jum'at, banyak masyarakat menganggap bahwa;
dewa, dedemit dan arwah turun menyapa manusia di bumi. Dedemit
dimaksud cenderung menakuti manusia. Malam jum’at sering
difahami sebagai malam keramat dan terindah bagi para dedemit untuk mengunjungi
masyarakat bumi. Karena itu, malam Jum'at biasanya cenderung sepi dan
senyap. Banyak di antara warga masyarakat membakar kemeyan dan banyak pula di
antara umat Islam terpaksa membaca Yasinan. Tujuannya sama!
Mengusir ruh jahat. Mengusir makhluk ghaib yang dianggap menakuti manusia dan manusia
dapat terbebas dari keganasan dedemit dimaksud.
Ibu
yang sedang hamil, dapat menjadi contoh lain. Dalam posisi seorang ibu sedang
hamil, biasanya dianggap harum yang membuat para dedemit suka kepadanya.
Terlebih di waktu-waktu tertentu, dan di tempat-tempat tertentu. Menjelang
maghrib dan di waktu tengah hari dianggap waktu ideal turunnya dedemit. Daerah
tertentu—yang sakral dan menakutkan— juga sama. Dedemit itu,
dianggap dapat ditakuti dan dikalahkan bawang putih dan benda-benda tertentu yang
dianggap keramat. Karena itu, banyak di antara ibu hamil menggunakan
benda-benda dan barang-barang tertentu, kemanapun mereka pergi.
Tujuannya untuk menakuti dan menghindari diri dari jeratan para
dedemit dan bayi yang dikandung seorang ibu dapat menjadi selamat.
BACA JUGA: PARADIGMA TERBALIK
BACA JUGA: PARADIGMA TERBALIK
Semua
cerita
di atas, tentu tidak rasional. Karena itu, cerita
tadi tidak dapat disebut ilmiah. Selain tentu kisah tadi
tidak empiris dan sekaligus tidak dapat diukur. Padahal,
rasionalitas, empiris dan terukur itu, syarat utama bagi sesuatu untuk disebut
ilmiah. Kenyataan yang tidak memenuhi persyaratan ilmiah itulah
yang disebut dengan mistik. Jadi,
mistik adalah keyakinan dan dorongan atas adanya kekuatan
dari
sesuatu yang sulit diukur. Manusia
kemampuannya dibatasi, dan atau,
sikap pandang yang cenderung mensakralkan sesuatu yang
sesungguhnya
biasa. Mistik, cenderung menafikan sesuatu yang realistis dan
empiris.
Di
waktu lalu, konon, dunia dipenuhi keyakinan yang bersipat
mistik yang mendasarkan keyakinan pada sesuatu yang tidak empiris, tidak rasional
dan
tidak terukur. Karakter ilmiah yang empiris, rasional dan terukur menjadi
hilang atau tidak ada beriringan dengan kuatnya kecenderungan
manusia pada sesuatu yang layak atau dapat dinisbatkan sebagai sesuatu yang bersipat mistik.
Yunani dan Mistik
Yunani
Kuna memiliki peran penting dalam mengubah paradigma berpikir
manusia dari sesuatu yang sebelumnya berbau mistik, ke
dunia ilmu yang bersipat empiris, rasional-logis dan terukur.
Sebuah rumusan sekaligus konsep yang mampu secara perlahan mengubah peta mistik
yang penuh khayal dan imajinatik, ke dunia logis, faktual,
rasional, kongkret dan sekaligus terukur.
Sebut
misalnya tokoh semacam Socrates, Plato dan Aristoteles. Mereka adalah
3 in 1 yang mendeklarasikan pentingnya membalikkan
dan
menjadikan mite menjadi ilmu. Tokoh atau
filosof ini, lahir di Yunani Kuna yang tradisinya sangat
kuat didukung luasnya aspek mite di
kalangan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Yunani Kuna,
dalam banyak hal persis seperti negeri dongeng. Negeri yang syarat dengan
aspek-aspek mite. Mite
(kata dasar dari mitos)
yang
berkembang di Yunani Kuna melebihi perkembangan mite di Belahan negeri
lain. Negeri ini antik, nyentrik dan sekaligus unik. Sebuah negeri dongeng
dengan lokus khusus yang hampir tidak dimiliki negeri apapun di dunia.
Tentu menurut jaman dan untuk ukuran waktunya.
K.
Bertens menyebut bahwa mite telah memberi pengaruh besar dan
kuat atas lahirnya sejumlah filosuf dan karya filosofis yang luar biasa di
Yunani Kuna. Pendapat demikian, diakui Nurcholish
Majid (1992) yang menyatakan bahwa semakin banyak mite di suatu
negeri atau di suatu komunitas masyarakat, maka akan
semakin besar pula kecenderungan suatu negara atau komunitas masyarakat
dimaksud melahirkan sejumlah filosof dan karya filosofis yang turunnya
melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Nurcholish
Majid menganggap bahwa suatu legenda atau mite pada hakikatnya diperlukan untuk menunjang sistem nilai
hidup manusia. Mite dapat memberi kejelasan tentang eksistensi manusia
dalam hubungannya dengan alam sekitar. Bahkan mite dapat
memberi kejelasan tentang bentuk hubungan yang baik antara sesama manusia dan
hubungan antara manusia dengan wujud yang Maha Tinggi, yang dalam
literatur Islam disebut dengan Allah yang eksistensinya bersipat
metafisik. Aspek-aspek inderawi tidak mungkin menjangkau eksistensi
Tuhan, kecuali didasari oleh keyakinan atau keimanan yang dalam
banyak kasus diperankan juga oleh dunia mite.
Pemikiran
Nurcholish Majid di atas,
menurut saya memang dapat dipahami.
Antara
mite dengan sistem "imani” sama-sama mengakui eksistensi
sesuatu di balik yang fisik. Dalam bahasa lain,
dapat disebut adanya pengakuan terhadap eksistensi sesuatu yang bersipat beyond,
suatu
realitas di balik yang tidak tampak.
Faktanya, memang tidak ada manusia yang sama sekali bebas dan mampu membebaskan
diri dari aspek-aspek beyond dimaksud. Sistem mite memandang
sesuatu dalam posisi harus dipercaya begitu saja melalui
pendekatan "imani” yang bersipat doktriner dan itu dapat melahirkan sistem kepercayaan.
Jadi,
utuhnya mitoiogi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan. Utuhnya sistem kepercayaan akan
menghasilkan utuhnya sistem nilai. Sistem nilai itu sendiri akan mampu memberi
manusia suatu kejelasan tentang apa yang baik dan apa yang buruk (etika). Mite, dalam
tarap tertentu bahkan dapat menjadi dasar bagi lahirnya suatu
peradaban. Dari sini dapat dimafhumi bahwa peradaban terbaik justru terlahir
dari sikap masyarakat yang seimbang antara keyakinan adanya sesuatu berdasarkan
fakta-fakta empiris-rasional dan adanya sesuatu di balik yang empiris.
Keyakinan akan adanya sesuatu di balik yang fisik, diyakini
dikaji dalam mitologi.
Kondisi
demikian, tampaknya terjadi di Yunani Kuna. Karena itu, lahirnya Yunani Kuna sebagai
pusat peradaban dunia di jamannya adalah konsekwensi logis yang rasional.
Yunani Kuna, sejak era Plato kurang lebih abad ke 4
sebelum Masehi, sudah mulai memperhatikan ide-ide, hubungan antara
realitas dan ilusi, bentuk dan substansi, fakta dan fiksi. Pikiran
Plato yang dikembangkan murid-muridnya tentang alam semesta, menjadi sebuah
contoh konkret upaya pencarian ilmu terjadi, yang sebelumnya
berbasis dari dunia mite.
Plato
misalnya
menyatakan bahwa dunia adalah bayang-bayang. Ia
selalu berubah karena sipat kesementaraannya. Manusia
dianggap tidak dapat pernah meraih ilmu dan kebenaran secara utuh. Orang yang
menggali setengah kebenaran adalah demagog (ahli pidato dan politikus
yang suka menggerakkan rakyat). Perlu ditambahkan bahwa Plato
benci terhadap tipologi manusia sejenis ini.
Yunani Kuna dengan tiga filosof besar di atas, mampu
melahirkan sejumlah dialektika keilmuan.
Misalnya, dialektika tokoh (filosof) idealistik seperti Socrates dan Plato
dengan tokoh pragmatis seperti Aristoteles dan Aristiphos.
Soal ini penting disebutkan karena hampir setiap kajian kefilsafatan dan
keilmuwan, pun di era modern sekarang,
selalu mengilustrasi kebesaran Yunani dan sekaligus pemikir dan pemikiran
dialektis yang dilahirkan tiga tokoh ini.
Yunani Kuna berhasil melahirkan sejumlah filosof yang tingkat
pengaruhnya cukup besar dan belum ada yang mengalahkan sampai era
modern sekarang. Sebuah era di mana manusia pada umumnya merasa telah
dan sedang berada di end of history dan
mengandaikan bahwa dunia telah berada di peak of culture and peak of civilization.
Filosof Yunani setingkat Socrates, Plato dan Aristoteles yang
menjadi trio filosof besar Yunani di abad ke-6 sampai abad ke-4 SM,
telah menjadi titik kunci pemikiran filosof dan saintis modern. Buktinya,
setiap kajian filosofis dan keilmuan moderen, hampir tidak ada
yang tidak memberi rujukan terhadap tiga tokoh ini. Pembicaraan ilmuwan tentang
politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi kedokteran dan bahkan ilmu agama, selalu
memberi rujukan terhadap pemikiran mereka. Hal ini,
juga didukung karena secara metodis, tiga pemikiran filosof Yunani Kuna tadi, tampaknya dipengaruhi logika
berpikir yang sangat rasional. Salah satu cirinya terlihat dari sisi
teknis, di mana istilah-istilah yang dikembangkan ilmu-ilmu yang
berkembang di era moderen sekarang, banyak yang menggunakan
bahasa Yunani dengan rujukan utama pemikiran mereka dalam berbagai bentuk dan
karakternya.
Karena itu, secara dhanni, saya percaya bahwa
tiga filosof Yunani Kuna tadi tidak pernah sadar kalau nama dan
pemikiran mereka menjadi popular di tengah kehidupan umat sesudahnya. Bahkan
setelah hampir dua ribu lima ratus tahun setelah kematian mereka, pemikiran
mereka tetap hidup dan dikembangkan umat manusia. Inilah prestasi
gemilang yang telah dicapai mereka. Siapapun sadar atas
peta dan kondisi semacam ini.
Symphosium di cafe-cafe Athena, Yunani Kuna
yang sering dilakukan filosof Yunani Kuna, mungkin juga tidak pernah disadari
mereka akan menjadi perhatian besar dan mengandung sejumlah implikasi yang
signifikan dalam pembentukkan peradaban modern. Corak berpikir mereka yang
dialektik, spekulatif, imajinatif, radikal dan sistemik dalam persoalan
ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman (yang menjadi sistimatika kefilsafatan),
ternyata telah menobatkan mereka sebagai sosok pemikir agung.
Sipat pemikiran dialektik, spekulatif,
imajinatif, radikal dan sistemik tadi, terlihat misalnya ketika mereka
mempertanyakan tentang hakikat alam, yakni; siapa sesungguhnya yang menciptakan
alam semesta yang demikian kompleks ini. Pertanyaan dasar yang tampak
sederhana ini, telah menjadi peletak dimensi ontologis. Untuk
apa alam ini dibuat? Akan berakhir seperti apa alam ini? Pertanyaan
ini akan menjadi peletak kajian aksiologis. Bagaimana alam ini
diciptakan? Seperti apa proses ini dibuat? Apakah bersipat meteril atau
immateril. Pertanyaan-pertanyaan terakhir ini akan
mendorong lahirnya kajian epistemologis. Pertanyaan yang mengimplikasi berbagai
bentuk kajian ilmiah tadi, harus diakui menjadi awal lahirnya ilmu. Melalui
pertanyaan-pertanyaan tadi, setiap orang akan
terangsang untuk melakukan pengembaraan pemikiraan ke alam nalar yang
lebih luas.
Demikian kompleksitas dan besarnya pengaruh pemikiran mereka,
disebut Akbar S. Ahmed (1992), akan mendorong sebagian kecil
masyarakat Muslim, untuk menyebut mereka sebagai Nabi-nabi yang tidak ditulis
dalam al-Qur'an. Kalau menurut saya, bahkan mereka mungkin sebenarnya disebut
Allah sebagai Nabi dalam al-Qur’an atau kitab suci lainnya, tetapi manusia
tidak mampu menunjukkan bukti konkret kenabian mereka karena mungkin terdapat
perbedaan nama dan istilah yang disebutkan dalam
berbagai kitab suci. Fakta menunjukkan bahwa jumlah Nabi
dan rasul itu banyak. Bahkan sampai ratusan (untuk rasul) dan ribuan untuk
Nabi. Jenis manusia apa yang pengaruhnya besar, jika mereka bukan Nabi dan
Rasul? Itulah argumentasi kenapa mereka disebut Nabi atau Rasul. Atau
setidaknya layak disebut Nabi atau Rasul.
Kebesaran pemikiran filosofis Filosof Yunani Kuna, juga
ternyata didukung kehadiran philosof sebelumnya seperti: Thales, Anaximandros,
Anaximenes, Phytagoras, Xenophanes, Heraclitus,
Anaxagoras, Leuxippos dan Demokritos. Secara sederhana, kemampuan mereka dalam
soal pemikiran kefilsafatan tadi, terlihat dari sering disebut
nama mereka saat guru, dosen atau professor dalam bidang filsafat menyampaikan
materi perkuliahan filsafatnya. Nama-nama mereka tumbuh menjadi sosok popular di tengah-tengah kehidupan manusia
dari jaman ke jaman. Dalam beberapa hal, khusus untuk Plato, sering disebut sebagai guru
pertama karena ia adalah tapikal filosof yang pertama kali memadukan antara
keberadaan yang fisik dan eksistensi yang beyon'd yang
metafisik-idealistik, jauh dari sipat materil.
Masalah yang muncul kemudian adalah, kenapa filosof Yunani
Kuna menjadi demikian populer, bahkan seolah telah menjadi legenda dibandingkan
dengan para filosof lain di negeri lain. Kondisi demikian, rupanya terjadi
karena mereka sangat intens melakukan rasionalisasi terhadap apa
yang disebut mistik menjadi ilmu pengetahuan. Berkat kemampuan
rasionalitasnya, setapak demi setapak, pemikiran mistik masyarakat Yunani kuna mencapai
puncak perkembangan menjadi sebuah ilmu. Filsafat Yunani yang sebelumnya sangat
mitologis berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai
bidang kehidupan, dan tentu menemukan pijakan praksisnya dalam apa yang disebut
masyarakat moderen sebagai ilmu pengetahuan.
Jika saya mengutif Kuntowibosono (1996),
pernyataan di atas sebenarnya tidak terlalu bombastis. Sebab pada
saat awal kelahirannya, ilmu pengetahuan identik dengan filsafat yang mempunyai
corak mitologis dengan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Berbagai macam kosmogini yang menjelaskan bagaimana kosmos (alam) dengan
berbagai aturannya terjadi, dan dengan theogininya diuraikan berbagai
macam peran dewa yang merupakan unsur penentu terhadap segala sesuatu yang ada
(mistik), dirubah dengan pendekatan yang lebih empiris dan rasional yang menjadi
jalan penting berkembangnya ilmu pengetahuan.
Corak mitologis ini bagaimanapun telah mendorong upaya
manusia "berani" menerobos lebih jauh terhadap dunia penggejalaan
untuk mengetahui sesuatu yang eka (metafisik), tetap, abadi (eternal),
di balik yang bhineka, berubah, provan dan sementara. Tokoh yang
berhasil membuat rumusan pemikiran yang seimbang antara eksistensi yang fisik
dan metafisik pertama ini, harus diakui lahir dari filosof Yunani Kuna tadi.
Sebelum mereka; baik di Yunani Kuna maupun
di luarnya, ketergantungan terhadap yang metafisik-idealistik
jauh lebih kuat dibandingkan dengan keyakinan pada sesuatu yang fisik sekaligus
empiris. Akibatnya, masyarakat menjadi sangat mistis dan jauh
dari sikap yang toleran pada
aspek-aspek fisik dan rasional.
Gerakan demitologi yang dilakukan Socrates, Plato dan
Aristoteles, filsafat telah mencapai remarkable yang cukup mencengangkan.
Sejak saat itu, filsafat yang semula bercorak mitologis, berkembang
menjadi ilmu pengetahuan praksis dan mulai menjarak dengan aspek-aspek mistik.
Indikatornya, terlihat dari pernyataan Aristoteles yang menyatakan bahwa
filsafat adalah aktivitas aqliyah yang harus dan dapat
dipertanggung jawabkan.
Kata
dipertanggung jawabkan dalam kalimat dimaksud adalah, pertanggungjawaban pada
neraca pemikiran, karena segala sesuatu harus
dapat dibuktikan. Sebagai aktivitas aqliyah yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka pengatahuan harus bebas dari ikatan keyakinan dan bebas dari doktrin
dan pemahaman yang kaku. Keberanian Aristoteles yang sangat rasional-empirik ini,
menurut Abdus Salam (1994) bahkan telah dipuja para ilmuwan Barat
modern sebagai pemikiran yang sulit ditemukan kesalahannya, pun sampai
sekarang ini. Ilmuwan modern merasa kesulitan untuk meyakini bahwa
pikiran Aristoteles mengandung kelemahan dan kesalahan.
Aristoteles
sendiri tidak pernah mengklaim pemikiran dirinya sebagai sebuah teori yang
selalu benar. Sikap berlebihan dalam memuji pikiran Aristoteles di atas, memang
tidak selamanya salah. Sebab ia adalah filosof pertama yang membagi ilmu pada
dua wilayah yang praksis. Kedua ilmu dimaksud adalah ilmu pengetahuan poeitis
(terapan) dan ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normatif seperti etika dan
politik), selain tentu yang dimaksudnya
itu ilmu pengetahuan teoritik. Dari dua cabang bentuk pengetahuan itu,
Aristoteles yang membagi lagi ilmu tadi, maka
pengetahuan manusia menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan
filsafat pertama yang kemudian disebut metafisika.
K.
Bertens (1989) mempertegas keyakinannya, kenapa filosof
Yunani tumbuh dan dikenang dunia sebagai pemikir brilyan dan genuin? Semua itu,
ternyata terjadi karena mereka mampu mensistematisasi mistik menjadi ilmu yang
dapat dibuktikan secara kongkret. Negeri ini meninggalkan negeri lainnya dalam
hal melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga wajar jika ia dikenal sebagai The
Greek of Miracle. Usaha ini harus diakui, menurut Bertens berkat kerja
keras Socrates, Plato dan Aristoteles yang mengubah masyarakat yang mitos menuju
ke arah logos.
Dialektika
berpikir adalah sumbangan lain yang diberikan Yunani terhadap dunia
keilmuan. Ilmu yang dibangun filosof Yunani yang
dialektis, misalnya terlihat antara Plato dan muridnya Aristoteles.
Plato terkesan sangat idealistik dan meyakini sejatinya eksistensi
berada di luar aspek yang fisik, yakni ada pada sesuatu
yang immateril. Sementara bagi muridnya, Aristoteles,
sejatinya eksistensi itu justru melekat pada sesuatu yang fisik. Bagi Plato,
kebenaran yang ditangkap pancaindera dan dibenarkan secara rasional oleh rasio,
tidak lebih dari sebuah bayang-bayang yang bukan saja memiliki nilai jarak
dengan sejatinya kebenaran, tetapi bahkan bukan kebenaran itu sendiri.
Dialektika
pemikiran Plato versus Aristoteles, penting untuk disebut sebagai pendorong
lahirnya ilmu. Sebab melalui dialektika ini, ilmu bukan saja menjadi lebih
dinamis, tetapi juga dari setiap wacana dialektik tadi,
pasti akan melahirkan sesuatu yang baru. Sipat ini pula yang dalam perkembangan
selanjutnya akan melahirkan wacana keilmuan. Tinggi rendahnya dialektika
keilmuan dalam suatu Negara, akan dipengaruhi
oleh tinggi rendahnya kemungkinan Negara dimaksud dalam melahirkan dan
mengembangkan dialektika ilmu pengetahuan. Terlepas dari ukuran keilmuan yang
didialektis antara keduanya, namun proses dialektika ini, harus diakui akan
menjadi awal lahirnya ilmu pengetahuan.
Kehebatan
lain yang dimiliki Yunani Kuna adalah, ia memiliki
tradisi
kesusastraan yang cukup tinggi.
Misalnya, negeri ini memiliki amtsal-amtsal, dongeng-dongeng dan
teka-teki yang cukup kaya. Karya puitis Homeros—seorang
dalang untuk istilah masyarakat Jawa—dengan judul Illias dan Oddeysia misalnya, telah
menduduki tempat istimewa dalam kesusastraan Yunani. Karya ini dapat pula
disebut sebagai kesusastraan tertua dunia dan menjadi peletak dunia seni temporer.
Peran kesusastraan ini dapat diibaratkan wayang di Pulau Jawa yang mempunyai
pengaruh luar biasa dalam pendidikan masyarakat di jamannya.
Cerita
yang dikembangkan para “dalang” dalam dongeng-dongeng di atas, sampai sekarang
masih mempengaruhi seni dan peradaban masyarakat Barat dan Eropa. Lakon
historis seperti diperankan negeri Jerman dengan konsep Nazi yang membantai
masyarakat Yahudi –meski diragukan kebenarannya oleh Presiden Iran
Ahmadinedjad-- dan atau kisah
petualangan Amerika Serikat dengan ambisi jabatannya sebagai polisi
dunia—dengan cara membantai masyarakat Vietnam, Irak dan
Afghanistan—dapat atau patut dipandang terinspirasi impian sekaligus
imajinasi susastra Homerus yang menginginkan Negara Kota (polis) untuk dipimpin sebuah
garda beradab yang disebut masyarakat “polis”.
Baik
Nazi maupun sikap pandang para pemimpin Amerika, seringkali memahami diri
mereka sebagai pemegang polis yang beradab. Suka atau tidak suka, kenyataan
seperti ini juga ada dan nyata. Kongkret dan membentuk covert-sekaligus overt
politik mereka yang mengadagiumkan diri sebagai pengikut gerakan Yunani
Kuna.
Melalui karya
sastra yang demikian itulah, pemikiran Yunani Kuna yang sudah mulai ilmiah
tersosialisasikan ke ranah publik yang lebih popular (merakyat). Inilah
awal dari sebuah rumusan yang menyebut bahwa Yunani Kuna adalah negeri agung (the greak of miracle).
Ada kenyataan bahwa Yunani menjadi pembuka untuk mengakses dan sekaligus
mengembangkan ilmu pengetahuan dan kefilsafatan. Yunani Kuna berhasil
membuka batas geografis dan ideologis yang dianut masyarakat sebelumnya. Karena itu,
tidak salah juga jika sekali lagi, saya sebut bahwa Yunani
Kuna
menjadi negeri pertama yang melakukan internasionalisasi ilmu
pengetahuan.
Kembali pada
persoalan perubahan mistik ke ilmu pengetahuan –oleh Socrates, Plato dan
Aristoteles-- yang diinternasionalisasi melalui para ahli sastra Yunani Kuna,
semakin memperoleh ruang gerak yang lebih dinamis, karena Yunani Kuna ternyata memiliki
tradisi urban yang cukup tinggi. Akibatnya, negeri yang secara geografis itu
kecil, mengalami persentuhan ilmu yang cukup atraktip khususnya
ketika mereka mampu mengadopsi teknologi Cina Kuna
dan Babylonia (Mesir) yang sudah kaya dan maju dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi praksisnya.
Secara
geografis, Yunani Kuna memang berdekatan dengan daerah Timur Kuna
(Cina) dan Babylonia (Mesir). Di dua daerah ini, ilmu pengetahuan sudah berkembang, meski
perkembangan ilmunya itu sendiri masih terbatas di wilayah di mana pusat dua
perkembangan peradaban daerah itu berada.
Kondisi ini,
kemudian mempengaruhi wacana mite-mite yang berkembang di Yunani menjadi
lebih praksis sebagai sebuah ilmu. Melalui tiga filosof tadi, dengan
demikian, terjadi pergeseran-pergeseran pemikiran. Ilmu
tidak lagi hanya milik sebuah komunitas, tetapi ia dapat diakses dan
dikembangkan, siapapun yang menghendakinya.
Dalam bahasa modern, mungkin dapat disebutkan bahwa Yunani Kuna telah
menjadi semacam negeri yang menginternasionalisasi ilmu pengetahuan tadi.
Dengan bahasa lain, Yunani Kuna
mampu
melakukan sistematisasi dan sekaligus
generalisasi –landasan bagi lahirnya teori/ilmu pengetahuan yang
sebelumnya penuh mistik. Dalam kasus tertentu, apa yang
disebut dengan kebangkitan sains Barat-Eropa modern, adalah hasil dari semangat
baru ala Yunan Kuna, khususnya dalam meneliti
melalui proses investigasi dengan sejumlah metode
baru, yakni metode eksperimen, penyelidikan, pengukuran dan pembangunan
matematikal yang secara embrional sesungguhnya telah
ada sejak di Yunani Kuna.