Teknik Menulis Ilmiah untuk Pemula

Teknik Menulis Ilmiah

Oleh Prof. Dr. H. Cecep Sumarna,
Komunikasi ilmiah melalui tulisan, biasanya digunakan untuk menyampaikan gagasan hasil penelitian pada setiap temuan. Situasi demikian disebut karya atau hasil ilmiah. Sesuatu disebut ilmiah, apabila dilakukan dengan menggunakan sumber, metode, sarana dan alat ilmu yang juga ilmiah. Ia memerlukan seperangkat langkah kerja ilmiah sesuai dengan kapasitas dan kecenderungan masing-masing dalam meneliti suatu perkara atau masalah yang dihadapi.
Karya ilmiah --dalam bentuk tulisan tadi—dalam konteks orang Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan rumusan Ejaan Yang Disempurakan (EYD). Oleh karena itu, penulis atau peneliti hendaknya menguasai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut tata kaidah bahasa Indonesia. Dengan bahasa lain, bahasa Ilmiah tidak identik dengan banyaknya serapan bahasa asing ke dalam suatu tulisan. Justru sesuatu disebut ilmiah apabila didalamnya banyak mengandung muatan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut EYD itu.
Penulis atau peneliti mesti mengerti hal teknis; misalnya subjek kalimat, objek kalimat dan keterangan kalimat. Karya ilmiah mensyaratkan tulisan yang simple, padat tetapi memiliki makna yang cukup luas. Dengan demikian, karya ilmiah biasanya menggunakan kalimat yang pendek. Tidak jlimet dan mudah difahami orang. Tujuannya jelas! Sebab setiap tulisan, pasti mengandung pesan. Pesan itu, harus sampai kepada objek bacaan buku atau hasil penelitian peneliti.
Gaya bahasa dalam laporan penelitian ilmiah juga penting. Gaya bahasa bahkan dapat menjadi salah satu piranti, berkualitas atau tidaknya sebuah tulisan. Seperti telah disebut di atas bahwa bahasa ilmiah harus menggunakan kalimat pasif, tetapi, sekaligus hidup, agar pembaca asyik membaca tulisan. Tidak merasa jemu yang akhirnya pesan tidak tersampaikan.
Karakter bahasa tulisan, selain sebagaimana dijelaskan di atas, juga memiliki tipikal khusus. Misalnya, bahasa yang digunakan untuk tulisan dalam bidang Filsafat Ilmu, tentu berbeda dengan karakter tulisan ilmiah bagi buku ilmu-ilmu pendidikan. Bahasa untuk tulisan buku-buku keagamaan terlebih lagi jauh berbeda. Perbedaan itu, bisa dipengaruhi unsur nash (al Qur'an-sunnah), serta model penafsiran yang dilakukan ulama terdahulu terhadapnya.
Filsafat Ilmu mengajarkan bahwa setiap disiplin ilmu, memerlukan bahasa khusus. Lukisan kata dan kalimat yang terujar dalam bahasa tulisan, akan menunjukkan nilai pengamatan penulis dimaksud di bidangnya masing-masing. Komunikasi ilmiah melalui tulisan bersifat reproduk --tidak memerlukan-- penafsiran lain selain isi yang dikandungnya. Meski secara hermeneutik, pembaca tidak mungkin membebaskan diri secara total untuk tidak memiliki penafsiran lain terhadap apa yang dibacanya. Bahkan jika mengutip pikiran Kumarudin Hidayat (1995), penulis sendiri sangat mungkin untuk memiliki interpretasi berbeda terhadap apa yang ditulisnya, ketika tulisan dimaksud dibaca beberapa saat kemudian, atau dalam situasi yang berbeda dalam kurun yang berbeda pula.
Kemungkinan perbedaan penafsiran itu, sekali lagi tetap ada. Sebab setiap bahasa yang terangkai dalam bentuk hurup dan kalimat, selalu memiliki otonomi semantik yang membebaskan teks dari tiga ikatan. Ketiga ikatan dimaksud adalah: Pertama, teks dibebaskan dari ikatannya dengan pengarang. Sebuah teks yang tertulis, bebas untuk ditafsirkan siapa saja --termasuk penulisnya sendiri-- tanpa terikat oleh maksud penulis menuliskan tulisannya tersebut pada awal disusunnya.
Kedua, teks dibebaskan dari konteks tempat di mana teks itu disusun. Teks yang semula misalnya, ditulis untuk kepentingan kenang-kenangan, seperti buku harian, X File atau apapun istilah yang disandingkan kepadanya, dapat menjadi sumber sejarah atau bahan untuk dianalisis baik oleh dirinya maupun orang lain. Ketiga. Teks dibebaskan dari hubungan yang semula ada antara teks itu dengan kelompok sasaran semula ditujukan. Namun karena ia misalnya dapat menjadi barang ilmiah, maka karakter komunikasi ilmiah yang bersipat impersonal-- akan mewujud menjadi sesuatu yang disebut ilmiah dimaksud. Surat-surat keagamaan yang dibuat A. Hasan dengan Soekarno, yang semula disusun tidak untuk kepentingan publik, kemudian menjadi sesuatu yang menarik dalam implementasi keberagamaan dan sikap politik organisasi sosial keagamaan tertentu. Atau surat menyurat antara Mr. Muhammad Room dengan Muhammad Natsir, mungkin dapat menjadi contoh bagaimana sesuatu yang semula bukan karya ilmiah, kemudian tersusun menjadi tulisan yang ilmiah. Tulisan-tulisan tadi, berubah dari sesuatu yang ditujukan secara personal, dari tokoh-tokoh personal, menjadi impersonal karena diakses oleh banyak pihak.

Popular posts from this blog

Biografi Lengkap Prof. Dr. H. Cecep Sumarna

Biografi Lengkap Arip Amin

Soal UAS Mata Kuliah Filsafat Pendidikan STKIPM Kuningan