Paradigma Terbalik


Lanjutan Sejarah Ilmu Pengetahuan, Paradigma terbalik
Pengaruh tradisi empirik-rasional Plato-Aristoteles dan diawali guru-gurunya di Yunani Kuna, sebagaimana dijelaskan di muka, telah mengubah dunia mistik menjadi ilmu. Namun ternyata proses ini tidak lama bertahan. Penalaran mistik kembali  mengalahkan penalaran ilmiah yang telah susah payah dikerjakan para filosuf besar Yunani Kuna.
Paska kematian Aristoteles, filsafat Yunani Kuna, kembali menjadi ajaran praktis dan bahkan mistik. Ajaran mistik ini terlihat misalnya dari ajaran Stoa, Epicurus dan Plotinus.  Pudarnya kekuasaan Romawi, menjadi isyarat yang syah ke arah datangnya tahapan baru, yaitu filsafat dan ilmu harus mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae). Filsafat Yunani yang dikesankan sangat sekular, khususnya pada pemikiran Aristoteles telah dicairkan dari antinominya dengan doktrin Gerejani. Filsafat lebih bercorak teologis dan ideologis (berkarakter tertutup) dibandingkan dengan corak sebelumnya yang ilmiah (dengan sipat terbuka).
BACA JUGA: ADAKAH KEGUNAAN MITE ?

Kristen awal sangat elitis. Misalnya, Biara tidak saja menjadi tempat aktivitas agama, ia juga menjadi pusat kegiatan intelektual. Karena kegiatan intelektual terjadi di dalam Biara dan Gereja, ditambah dengan adanya ketentuan terbatas bagi umat yang mampu dan dituntut menguasai Injil, maka jumlah orang yang mengakses ilmu menjadi demikian kecil dan terbatas.
Faktor lainnya, para pendeta Gereja umumnya selalu menghubungkan ilmu pengetahuan dengan agama dalam bentuk history of scientific progress (sejarah perkembangan ilmu). Tidak seperti ulama Muslim yang kebanyakan ulamanya menghubungkan ilmu dan agama dalam social psychology-nya. Sehingga elastisitas ilmu pengetahuan dalam dunia Kristen Awal menjadi tidak tampak kalau bukan hilang sama sekali. Ilmu pengetahuan pada akhirnya menjadi terikat doktrin agama yang bersipat tertutup dan jauh dari karakter dialogis sebagaimana diharapkan dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Kondisi ajaran Kristiani yang menempatkan Kitab Suci dengan ilmu dalam posisi tadi, akan menjadi catatan penting bukan saja bagi masyarakat Kristen sesudahnya, tetapi yang menarik justru bagi masyarakat dan komunitas lain, seperti masyarakat Muslim. Masyarakat dan komunitas agama terakhir ini merespon hubungan agama dengan ilmu pengetahuan hanya dalam bentuk psikologi sosial (Lihat M. Quraish Shihab, 1992: 141).
Bentuk hubungan seperti yang diperagakan masyarakat Kristiani, dicatat sejarah telah melahirkan sejumlah kerugian. Di antara kerugian dimaksud adalah terjadinya pertentangan antara kajian keilmuan dengan kajian keagamaan. Hasilnya! Ilmu menjadi macet dan saintis diposisikan dan dianggap sebagai penentang ajaran agama.
Kondisi ini harus diakui telah menyebabkan hilangnya tradisi agung Yunani Kuna yang kritis sekaligus dialektis. Sebagian besar pengikut ajaran Kristus yang fanatic terhadap agamanya, malah memberi kesan lahimya kembali mitologi seperti pernah berjaya di abad-abad pra Socrates, Plato dan Aristoteles di Yunani Kuna. Pengikut agama yang fanatik ini tumbuh menjadi penentang yang kuat terhadap perkembangan empirik-rasional yang dibangun filosof awal Yunani. Pengikut Kristus di masa lalu justru sering mempertentangkan ajaran agama dengan hasil kajian ilmiah dan filosofis yang dibangun manusia sebelumnya. Sehingga dunia kembali mengalami kegelapan dan masyarakat dunia kembali dikalahkan ajaran yang mistik.
Musibah yang terjadi sebagai akibat atas sikap pandang keberagamaan semacam ini, untuk pertama kali terlihat ketika satu-satunya perpustakaan Iskandaria, dibakar sebagian pengikut setia ajaran Kristus yang fanatik. Pembakar perpustakaan itu tidak lain ialah orang yang sangat fanatik dari penganut agama mitologi kaum Nasrani yang berwatak tidak ilmiah.
Korban pertama terjadi kepada seorang wanita cantik dan cerdas, bernama Hypatia. la harus rela menjadi korban kaum Gerejawan Kristen yang sedang mengkonsolidasikan dirinya di Vatikan. Tokoh-tokoh Gereja tadi sering mengajak Hypatia masuk ke dalam lingkar Gereja. Caranya mereka memulai dengan melamarnya untuk menjadi istrinya. Namun Hypatia menolak lamaran setiap laki-laki bangsawan kaum Gerejawan Kristen. Penolakan Hypatia ini dilatarbelakangi keinginannya untuk mencurahkan segala waktu dan pikirannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, Hypatia juga hendak menunjukkan bahwa dirinya berbeda dengan kaum agamawan yang melihat segala masalah dalam pendekatan dogmatis. Ia ingin menjawab segala masalah kemanusiaan dengan pendekatan ilmiah yang rasional, empiris dan terukur.
Hypatia terus menghabiskan waktunya di perpustakaan Iskandaria dan tidak terganggu oleh pikiran-pikiran duniawi. Soal perkawinan juga dianggap berbau unsur duniawi yang akan menghambat perkembangan ilmu. Waktu yang dimiliki Hypatia banyak dihabiskan untuk melakukan pengabdian pada pengembangan ilmu pengetahuan.
Hypatia menjadi resi pertapa dalam soal-soal keilmuan. Ia memberanikan diri berdiri di tengah kuatnya arus kekuatan sosial yang menolak perkembangan ilmu dan filsafat yang dikembangkan Yunani Kuna. Filsafat Yunani Kuna bahkan dianggap arus umat Kristen Awal sebagai ajaran sekular dan sekaligus  paganistik.
Sialnya, Hypatia dituduh kaum Gerejawan sebagai orang  yang hendak dan bercita-cita mempertahankan paganism. Ilmu pengetahuan dalam persfektif sebagian kaum Kristen Awal, sering disamakan dengan paganism. Mencari,  mempertahankan dan mengembangkan filsafat Yunani Kuna yang mulai praktis, sama artinya dengan mencari, mempertahankan dan mengembangkan paganisme.
Atas asumsi seperti itu, akhirnya Hypatia dibunuh dalam suatu perjalanan menuju perpustakaan Iskandaria yang dia sendiri sering menghabiskan waktu di tempat itu. Hypatia dicegat segerombolan kaum Gerejawan. la diturunkan dari kereta kudanya, dibunuh dan dikelupas dagingnya. Tulangnya dibakar. Semua miliknya dimusnahkan. Karyanya dihancurkan. Namanya sekaligus dilupakan. Cryl, Uskup Agung Iskandaria yang memerintahkan pembunuhan terhadap Hypatia diberi kehormatan oleh Gereja Kristen sebagai orang suci atau Santo.
Sikap sebagian masyarakat Kristen terhadap ilmu sebagaimana diilustrasikan tadi, nyatanya masih terjadi pada ilmuwan-ilmuwan abad medievalis (ilmuwan abad pertengahan). Tokoh kuncinya terlihat dari fenomena inkuisi terhadap Galileo galilei dan Giordano Bruno.  Inkuisi yang dilakukan Gereja terhadap dua tokoh kunci ilmuwan abad pertengahan ini, ditenggarai karena penemuan ilmiahnya dianggap bertentangan dengan apa yang terjadi dalam kitab suci Kristen. Atau praksisnya, karena penelaahan keilmuan berbeda dengan apa yang telah diyakini pasti benar dalam ajaran Kristen, khususnya dalam peredaan pandangan mengenai rumusan Helyocentris atau Geometris.
Kemenangan Kristen awal atas filsafat Yunani Kuna, tentu tidak perlu disesali. Tetapi jika diizinkan untuk melakukan hipotetik, yakni andaikan orang Kristen mampu membedakan antara mana yang disebut dengan Paganisme (sebagai sistem ritus) dan mana yang disebut dengan pengetahuan, atau andaikan perpusatkaan itu tidak pernah dimusnahkan, mungkin kegelapan dunia dan ilmu pengetahuan tidak terlalu lama terjadi. Faktanya tentu tidak demikian. Hypatia mati dan produk ilmiahnya dibakar.
Albert Einstein mungkin telah lahir lima abad lebih awal dari kelahiran sejarahnya. Manusia masa kini mungkin telah sedang menyaksikan bagaimana pesatnya ilmu ini berjalan. Bahkan mungkin saat ini manusia telah beranak pinak dengan tempat tidak lagi tunggal di bumi. Manusia mungkin telah berada di planet-planet lain yang ada di galaksi ini.
Asumsi ini, sebenarnya tidak murni hypotesis saya. Saya menemukan dokumen di mana para pemimpin Kristen dan para saintis Moderen mengakuinya. Contoh dalam salah satu acara istimewa yang diselenggarakan Vatikan pada tanggal 9 Mei 1983, Sri Paus di hadapan 33 peraih Nobel dari 300 ilmuwan menyatakan:
".... Pengalaman Gereja mengenai masalah Galileo Gallilei, telah membawa Gereja belajar melalui pengalaman dan pemikiran tersebut dan ia kini mengetahui dengan lebih baik bahwa harus diberikan kebebasan dalam usaha-usaha  penelitian ilmiah... salah satu anugerah yang diberikan Tuhan kepada umat manusia, adalah melalui penelitian. Dengan penelitian, manusia dapat mencari kebenaran... Karena itulah mengapa Gereja meyakini bahwa tidak mungkin lagi ada kontradiksi antara  sains dan keimanan.... bagaimanapun, hanya melalui sains dan keimanan …. Bagaimanapun, hanya melalui pengamatan dan studi yang tekunlah Gereja dapat memisahkan nilai-nilai kepentingan agama dari  sistem-sistem ilmiah pada abad itu. Khususnya ketika pembelajaran Bible yang dipengaruhi segi-segi kultural nampaknya berhubungan dengan kewajiban mempelajari alam semesta.”

Namun demikian, harus juga disebutkan bahwa ketika mayoritas masyarakat mengambil sikap pandang yang jauh dari filsafat, bukan berarti filsafat otomatis mati dan terhenti dalam lintasan sejarah dunia. Sejarah mencatat bahwa di era Kristen Awal, sebenarnya banyak juga filosof yang lahir dari rahim Gereja. Filosof jenis ini kemudian disebut sebagai era patristik yang concern terhadap persoalan filsafat meski dalam jumlah yang relatif kecil dan hampir tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap kecenderungan masyarakat tadi. Sebut saja tokoh itu adalah Plotinus (204-269 M) dan Agustine (354-430 M). Pengaruh pemikiran dua tokoh ini terasa kuat khususnya di abad pertengahan, baik terhadap filosof Muslim Mediterenia maupun filosof Kristen Medievelis. Pemikiran mereka tentang ciri keesaan Tuhan misalnya yang diambil dari pemikiran Plato, ternyata berpengaruh besar terhadap pemikiran filosof yang dibangun Anselm (1033-1109 M) dan Thomas Aquinas (1224-1274 M) di abad pertengahan (Fazlurrahman, 1968).
Bagi Theologi skolastik Islam awal, pengaruh karya-karya filsafat dan sains Yunani yang dikembangkan Plotinus dan Agustine yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, bercabang dan berkembang menjadi suatu gerakan pemikiran filosofis dan ilmiah yang cemerlang dan kuat. la telah menghasilkan karya-karya original dan bernilai tinggi. Ide-ide Plotanian tentang dasar asasi dari realitas, berpengaruh pada ide keesaan Tuhan kaum Mu'tazilah (kelompok Islam rasional). Tuhan didefinisikan sebagai dzat yang mengetahui hal-hal yang dapat diketahui, kehendak-Nya; aktivitas kreatif-Nya sebagai emanasi benda-benda dan berbagai hal yang terjadi daripada-Nya. Tuhan dengan demikian dianggap tidak mengetahui persoalan terperinci. Hal-hal terperinci dapat dan harus dilakukan serta dikerjakan manusia.

Comments

Popular posts from this blog

Biografi Lengkap Prof. Dr. H. Cecep Sumarna

Biografi Lengkap Arip Amin

Soal UAS Mata Kuliah Filsafat Pendidikan STKIPM Kuningan