PRAKSIS PENDIDIKAN MATEMATIKA INOVATIF (

 

PRAKSIS PENDIDIKAN MATEMATIKA INOVATIF

Benny Anggara

Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta


Topik dalam riset Pendidikan matematika sangat beragam dan lebih mengutamakan tentang penerapan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Beberapa isu dan topik riset yang masih hangat untuk di bahas salah satunya adalah etnomatematika, Didactical Design Research (DDR), pembelajaran komputasional, kajian Hypotetical Learning Trajectory (HLT), kajian berkaitan dengan Learning Obstacle (Hambatan Belajar), Cognitive Load Theory (CLT), dan beberapa pembelajaran lainnya. Topik dan isu riset ini kemudian dikaji dan dijadikan sebagai penunjang dalam menciptakan suatu kebaruan dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika yang selama ini memiliki permasalahan klasik berkaitan dengan ketidakmampuan peserta didik dalam memahami konsep matematika secara bermakna. Pada pembahasan ini penulis mengantarkan beberapa isu riset yang menarik untuk dibahas dan dijadikan sebagai kajian dalam riset-riset Pendidikan matematika saat ini.

LEBIH LENGKAP SILAHKAN DOWNLOAD DISINI 

1.      Didactical Design Research (DDR)

Diharapkan materi ajar matematika yang berkualitas tinggi dapat mendorong potensi siswa. Pembelajaran matematika sangat bergantung pada guru dan materi yang diajarkan. Suryadi (2010; 2013) mengatakan bahwa hubungan antara guru dan siswa serta materi ajar dapat menjadi pusat penelitian penelitian pendidikan matematika. Tripartite hubungan guru-siswa-matematika terdiri dari tiga elemen ini.

Sangat penting bahwa masalah materi ajar yang berkaitan dengan tripartit tersebut dipelajari dalam konteks pembelajaran dengan setidaknya mempertimbangkan lima elemen berikut (Suryadi, 2014; 2016).

a.       Materi pelajaran yang disajikan dalam buku teks atau LKS biasanya tidak dibuat berdasarkan temuan penelitian, sehingga banyak materi yang menimbulkan kesulitan bagi siswa.

b.      Desain didaktis yang banyak digunakan dalam buku ajar dan proses pembelajaran cenderung menciptakan situasi serupa, seperti penjelasan konsep, penyajian contoh, dan latihan menyelesaikan soal sesuai contoh.

c.       Desain didaktis yang dikembangkan seringkali mengabaikan alur belajar secara struktural dan fungsional.

d.      Banyak desain didaktis yang tidak memungkinkan siswa untuk belajar menjadi lebih mandiri melalui proses indivisual dan interaksi sesama siswa, serta proses untuk mencapai kemampuan lebih tinggi dengan bantuan guru.

e.       Proses abstraksi belum digunakan sebagai orientasi pembelajaran.

Perlu diingat bahwa tujuan utama dari didaktis ini adalah untuk mempelajari dan memahami secara menyeluruh kesulitan yang dihadapi siswa. Selain itu, ide teori dasar dari pendekatan Brousseau adalah hubungan antara siswa, proses pembelajaran, dan lingkungan di mana proses pembelajaran terjadi (Manno, 2006).
Menurut Ruthven (2009), tujuan utama dari desain didaktis adalah untuk membuat urutan pembelajaran yang cukup menyeluruh dan kuat untuk mencapai efek yang dapat diandalkan atau konsisten, sehingga tidak hanya dapat digunakan secara luas dalam konteks kelas.

Suryadi (2013) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran matematika, proses berpikir guru terdiri dari tiga tahap: sebelum pembelajaran, saat pembelajaran berlangsung, dan setelah pembelajaran. Pada tahap pertama, guru harus menyiapkan materi pelajaran dan strategi untuk membuat materi pelajaran mudah dipahami siswa. Suryadi (2010) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran termasuk Karena matematika adalah objek yang bersifat abstrak, bahan ajar yang baik diperlukan. Pendesainan bahan ajar harus mempertimbangkan cara konsep yang akan diajarkan dipikirkan, terutama dari sudut pandang matematikawan, guru matematika, dan orang yang belajar matematika. Hasil dari repersonalisasi dan rekontekstualisasi konsep yang diajarkan harus menjadi dasar penyusunan bahan ajar. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa siswa memperoleh pemahaman tentang suatu ide dengan memeriksa kembali pengalaman yang mungkin mereka miliki secara pribadi serta konteks yang dialami matematikawan saat menemukan ide tersebut.

Jika bahan ajar disiapkan hanya berdasarkan pemahaman teks tanpa melakukan proses repersonalisasi dan rekontekstualisasi, guru tidak dapat mengamati respons yang terjadi dampak dari penerapan bahan ajar. Namun, menurut Suryadi (2010), merancang pembelajaran harus disertai dengan antisipasi didaktis dan pedagogis, karena kurangnya antisipasi ini dapat menyebabkan proses belajar yang kurang efektif bagi setiap siswa.

Proses berpikir guru berlanjut saat pembelajaran berlangsung. Mereka menemukan dan menganalisis reaksi siswa saat bahan ajar yang telah disiapkan sebelumnya diterapkan dalam proses pembelajaran. Dalam proses belajar, siswa merespons situasi yang ada dan kemudian menciptakan situasi baru yang dapat memberikan informasi kepada guru. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru harus mengambil tindakan lanjutan berdasarkan reaksi siswa.

Proses berpikir guru tidak selesai setelah pembelajaran selesai. Setelah pelajaran selesai, guru harus mengevaluasi apakah pembelajaran yang terjadi di dunia nyata sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk melakukan penelitian terus menerus tentang desain pendidikan agar setiap generasi dapat membuat desain yang lebih baik yang sesuai dengan konteks dan memenuhi kebutuhan siswa selama pendidikan.

Penting untuk diingat bahwa dalam situasi tertentu, proses belajar seseorang mungkin mengalami kegagalan dan juga keberhasilan. Pada akhirnya, seseorang akan menemukan cara untuk mencapai keberhasilan melalui peristiwa yang dialaminya secara berulang, baik itu sukses atau kegagalan. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tidak hanya belajar melalui coba-coba, tetapi juga menggunakan pengetahuan sebelumnya yang membantu mereka berhasil. Salah satu komponen penting dari teori situasi didaktis (TDS) adalah situasi aksi, menurut Brousseau (Suryadi, 2016).

Menurut Brousseau (Suryadi, 2010), tindakan guru dalam konteks didaktis dapat memulai proses pembelajaran. Walaupun situasi tersebut tidak selalu menciptakan proses pembelajaran, pengkondisian seperti scaffolding sangat mungkin melakukannya. Selama proses belajar, siswa akan menghadapi situasi baru, dan tindakan mereka akan dipengaruhi oleh situasi baru tersebut. Tahapan situasi menurut Manno (2006) pada teori situasi didaktis yaitu:

1)   Situasi Tindakan (Action Situation)

Pada situasi aksi, siswa tertarik untuk menemukan penyelesaian dari masalah yang diberikan oleh guru. Siswa akan menentukan strateginya sendiri, kemudian membuat keputusan bagaimana akan mengkonstruk proses penyelesaian untuk memecahkan masalah, dengan menggunakan prosedur baru atau prosedur yang ada sebelumnya. Berbagai strategi akan muncul sebagai hasil dari trial and error yang dilakukan oleh siswa.  Ditahap ini pengetahuan merupakan alat untuk menyelesaikan masalah.

2)   Situasi Formulasi (Formulation Situation)

Situasi formulasi merupakan dasar pemikiran tahap awal menuju proses validasi. Pada situasi formulasi, komunikasi memegang peran penting karena siswa akan mendiskusikan hasil pengamatannya, menjelaskan strategi yang digunakan, dan memberi argumen sehingga dapat dipahami oleh siswa lain.

3)   Situasi Validasi (Validation Situation)

Pada tahap ini guru akan menilai cara, strategi, atau teori yang digunakan siswa. Model atau strategi yang dikonstruksi siswa pada situasi aksi maupun formulasi dapat diterima atau ditolak oleh siswa lain. Untuk itu siswa harus mempertahankan model dan strategi dalam diskusi dengan siswa lain.

4)   Situasi Institusionalisasi (Institutionalization Situation)

Pada situasi ini terjadi proses dimana siswa memperoleh pengetahuan yang baru. Institusionalisasi adalah proses yang memungkinkan siswa mengubah pengetahuan sebelumnya jadi pengetahuan baru, melalui penguatan guru yang memberikan nilai kebenaran dan memungkinkan untuk menggunakan pengetahuan baru tersebut untuk mencari solusi dari suatu masalah.

Hubungan antara siswa dan materi serta hubungan antara guru dan siswa adalah dua komponen penting dari proses pembelajaran matematika. Hubungan antara guru dan siswa sering digambarkan dengan segitiga, dengan guru, siswa, dan materi sebagai titiknya (Kansanen, 2003). Segitiga didaktis yang diciptakan oleh Kansanen (Suryadi, 2010) menunjukkan hubungan pedagogis (HP) antara guru dan siswa, serta hubungan didaktis (HD) antara siswa dan materi seperti gambar berikut.


Gambar 2.1 Segitiga Didaktis Kansanen


 


  



Suryadi (2010) menyatakan bahwa situasi didaktis yang kompleks dapat dihasilkan oleh kedua hubungan tersebut. Menurutnya, kita tidak dapat melihat hubungan antara pedagogis dan didaktis secara parsial. Untuk membuat situasi didaktis baru, guru harus memperkirakan reaksi siswa dan antisipasi mereka. Hubungan antara guru dan siswa, siswa-materi, dan guru-siswa adalah bagian dari harapan tersebut. Suryadi (2013) menambah segitiga didaktik dengan menambahkan hubungan antisipatif antara guru dan materi. Hubungan ini dikenal sebagai antisipasi didaktis dan pedagogis (ADP).

Gambar 2.2 Segitiga Didaktis yang Dimodifikasi

 


 

Dalam segitiga didaktis yang diubah di atas, peran guru tidak hanya harus menciptakan situasi didaktis dan pedagogis yang ideal selama pembelajaran, tetapi juga harus membuat antisipasi didaktis dan pedagogis. Itu sangat sulit mengingat semua tugas yang harus dilakukan seorang guru selama pembelajaran. Oleh karena itu, diharapkan bahwa guru memiliki kemampuan metapedadidaktik. Suryadi (2013) menyatakan bahwa metapedadidaktik dapat didefinisikan sebagai kemampuan guru untuk:

1)      Menganggap ADP, HD, dan HP sebagai bagian integral dari segitiga didaktis yang dimodifikasi.

2)      mengembangkan tindakan sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai dengan kebutuhan siswa.

3)      menemukan dan menganalisis respons siswa sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan.

4)      melanjutkan tindakan didaktis dan pedagogis berdasarkan hasil analisis respons siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

 

Metapedadidaktik meliputi tiga komponen yang saling berkaitan dalam suatu pembelajaran, yakni komponen kesatuan, fleksibilitas dan koherensi. Karena metapedadidaktik terkait akan sebuah pembelajaran, maka Suryadi (2013) menggambarkan sebagai sebuah limas dengan titik puncaknya adalah guru yang memandang alas limas sebagai segitiga didaktis yang dimodifikasi, seperti gambar berikut.


Gambar 2.3 Metapedidaktik Dilihat dari Sisi ADP, HD, dan HP

 

 

 


Komponen kesatuan berkaitan dengan kemampuan guru untuk melihat segitiga didaktis yang dimodifikasi sebagai komponen yang saling berkaitan dan konsisten. Sebelum pembelajaran, guru membuat rancangan yang menggambarkan prediksi respons siswa tentang tindakan didaktis dan pedagogis. Kemudian, guru berpikir tentang berbagai kemungkinan: jika respons siswa sesuai dengan prediksi guru, hanya sebagian dari respons siswa yang sesuai dengan prediksi guru, dan jika yang diprediksikan tidak terjadi. Situasi seperti ini menghalangi guru untuk menemukan, menilai, dan mengambil tindakan didaktis dan pedagogis dengan cepat dan tepat.

Fleksibilitas adalah komponen kedua dari metapedadidaktik. Rancangan pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya sebenarnya adalah rencana yang tidak selalu sesuai dengan apa yang terjadi. Akibatnya, perkiraan yang telah dibuat harus disesuaikan dengan apa yang terjadi selama proses pembelajaran.

Koherensi, atau keterkaitan logis, adalah komponen ketiga. Situasi didaktis dan pedagogis yang diciptakan guru sejak awal pembelajaran selalu berubah karena tindakan didaktis dan pedagogis guru berubah sesuai dengan respons siswa selama pembelajaran. Perbedaan situasi yang terjadi dikelola sehingga perubahan situasi dapat berjalan lancar dan mengarah pada pencapaian tujuan. Dengan demikian, guru harus memperhatikan koherensi situasi untuk mencapai hasil belajar yang optimal.

Suryadi (2013) menyatakan bahwa guru memiliki tiga tahap berpikir dalam konteks pembelajaran: sebelum pembelajaran, saat pembelajaran berlangsung, dan setelah pembelajaran. Secara keseluruhan, kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru dapat disebut sebagai Penelitian Desain Didaktis atau Penelitian Desain Didaktis (DDR). Penelitian Desain Didaktis biasanya terdiri dari tiga tahapan:

1)      Analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran, yang terdiri dari Desain Didaktis Hipotesis dan ADP;

2)      Analisis metapedadidaktis; dan

3)      Analisis retrospektif, yang merupakan analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis dengan hasil analisis metapedadidaktis.

           Dengan menggunakan desain didaktis, siswa diharapkan dapat memahami konsep matematika secara menyeluruh dan optimal. Desain didaktis dirancang untuk mengatasi atau mengurangi tantangan belajar yang muncul sehingga siswa tidak lagi mengalami kesulitan memahami konsep matematika.

2.      Etnomatematika

Etnomatematika adalah pendekatan untuk mengakui bahwa ada cara yang berbeda untuk melakukan matematika. Ini dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika yang telah dikembangkan secara akademik serta cara-cara yang berbeda yang digunakan oleh berbagai budaya untuk mengatur aktivitas matematika, seperti mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain, dan sebagainya (Rosa et al., 2016). Menurut Zayyadi (2018), etnomatematika juga merupakan hasil dari berbagai aktivitas matematika yang dimiliki atau berkembang di masyarakat. Ini berbeda dengan fakta bahwa praktik budaya memungkinkan penerapan konsep matematika dan mengakui bahwa masyarakat tertentu mengembangkan cara khusus untuk melakukan tugas matematika.

Kadang-kadang, tanpa pendidikan formal, konsep matematika muncul secara alami dalam budaya dan pengetahuan masyarakat tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa etnomatematika—atau konsep matematika yang bernuansa budaya—adalah produk dari aktivitas masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun. Artinya, etnomatematika adalah produk budaya yang mengandung konsep matematika yang terkadang tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, etnomatematika sangat berkontribusi terhadap pembelajaran matematika.

Kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat lokal dapat diintegrasikan melalui etnomatematika. Quaritch Wales pertama kali menggunakan istilah "kearifan lokal", yang berarti kemampuan kebudayaan setempat untuk mengatasi pengaruh kebudayaan asing saat keduanya berinteraksi. Rosidi (2011) menunjukkan bukti kreativitas nenek moyang dalam Diskusi Ilmiah arkeologi pada tahun 1984, yang menggunakan istilah "genius lokal" dan "identitas budaya bangsa" dengan berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia, seperti "ketahanan budaya", "kepribadian budaya bangsa", "kepribadian budaya bangsa", dan "cemerlang budaya", tetapi tidak ada yang menggunakan istilah " Istilah ini baru digunakan sekitar tahun 1980-an, saat arus modernisasi hampir menghapus nilai-nilai budaya lokal masyarakat Indonesia yang dianggap sebagai warisan nenek moyang. Budaya sebagai identitas atau kepribadian suatu bangsa membuat bangsa tersebut lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang datang dari luar wilayahnya sesuai dengan karakter dan kebutuhan pribadinya.

Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai konsep, prinsip, dan perspektif tentang suatu wilayah yang bijaksana, bernilai, dan dianut oleh masyarakat setempat. Isnendes (2014) menyatakan bahwa kearifan lokal mencakup semua jenis pengetahuan, keyakinan, pemahaman, dan wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang diwariskan sebagai perilaku manusia dalam kehidupan dalam satu komunitas. Kearifan lokal bukan hanya nilai-nilai budaya atau ciri-ciri lokal; itu adalah nilai-nilai yang membangun harapan dan standar yang dihormati oleh semua orang.

Indramayu, juga disebut Dermayu, adalah sebuah daerah di pantai utara Jawa Barat yang menjadi pusat perpaduan budaya Sunda dan Jawa. Ini berbeda dengan daerah lain di Jawa Barat yang lebih terfokus pada kebudayaan Sunda dan agak jauh dari kebudayaan Jawa, tetapi banyak serupa dengan Cirebon, bahkan dianggap sebagai bagian dari kebudayaannya.

Kebudayaan Indramayu masa lalu dapat dilihat, diuraikan, dan ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Beberapa sudut pandang ini termasuk pemikiran, konsep, dan norma sosial yang berlaku, serta aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di Indramayu, dan barang-barang yang dibuat oleh orang-orang tersebut. Sangat mungkin bahwa bentuk kebudayaan tersebut memiliki makna dan nilai sekarang dan di masa depan. Kasim (2012) menjelaskan bahwa kekuatan alam dari tanah dataran rendah, laut, dan pantai memengaruhi sikap berbudaya manusia di Indramayu, salah satunya tentang budaya petani. Naskah Wangsakerta adalah sumber dari banyak buku yang menceritakan tentang keberadaan petani di Indramayu. Selama periode kolonial, kemerdekaan, kemajuan, dan otonomi daerah, Indramayu dianggap sebagai lumbung padi nasional. Aktivitas keseharian penduduknya dipengaruhi oleh budaya tani. Dengan demikian, budaya masyarakat petani dapat menjadi sumber banyak kearifan lokal Indramayu.

Masyarakat Indramayu hidup budaya petani setiap hari. Sawah adalah representasi ruang untuk kreativitas produktif yang bukan hanya diolah tetapi juga dipelihara dan disayangi. Mengawasi sawah melibatkan hubungan lahir dan batin, tubuh dan jiwa. Sangat jelas bahwa ada keterlibatan jiwa dalam mengelola sawah karena itu berarti mencurahkan separuh jiwanya. Salah satu potensi kearifan lokal Indramayu adalah mengelola sawah, yang menunjukkan nilai-nilai seperti kesetiakawanan, cinta lingkungan, dan keikhlasan.

Ini menghasilkan ritme kehidupan di sawah untuk kaum tani, yang terdiri dari majikan (pemilik sawah) dan pekerja (pekerja sawah). Ritme itu menggambarkan kehidupan yang penuh perhatian, pekerja keras, perhitungan, dan akhirnya kebahagiaan. Secara sosial-ekonomi, gaya hidup petani tidak hanya penuh dengan perhitungan, tetapi mereka juga irit, medit, dan kucrit, yang merupakan kata untuk kikir. Fakta bahwa panen padi hanya dapat dilakukan satu kali setahun menjadi pusat pemikiran petani di Kabupaten Indramayu pada tahun 1960-an dan 1970-an, menurut Kasim (2012). Artinya, kegembiraan petani hanya bertahan satu atau dua bulan. "Pindang blanak pasar senen, mangan enak mumpung panen" adalah kalimat parikan yang dapat ditemukan dalam bahasa percakapan sehari-hari.

Selama dua bulan, Anda menikmati makanan yang lezat, dan selama sepuluh bulan berikutnya, Anda akan menjalani gaya hidup yang boros, malas, dan kucrit. Selain itu, jika terjadi bulan-bulan setelah musim tanam padi, yang dikenal sebagai "paila", sikap prihatin karena kekurangan bahan pangan. Saat itu, persediaan padi mulai menipis, musim hujan deras, kesulitan mencari pekerjaan, dan musim panen masih panjang. Kultur petani kemudian dipenuhi dengan pertimbangan cermat karena sikap prihatin. Semua yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa cara petani bertahan hidup di Indramayu dapat menjadi salah satu potensi kearifan lokal yang dapat dikembangkan dengan sikap sadar lingkungan.

Pada saat ini musim tanam padi terjadi dua kali yaitu pada musim rendeng (musim penghujan) dan musim ketiga (musim panas). Saat memasuki musim tanam rendeng, maka diadakan suatu upacara yang dikenal sebagai sedekah bumi. Sedekah bumi merupakan upacara adat desa sebagai wujud syukur kepada bumi. Biasanya ada pagelaran wayang kulit di balaidesa yang mengetengahkan lakon “Bumi Loka” tentang asal-usul padi. Petani di Indramayu biasanya menanam padi dari berbagai jenis. Upacara sedekah bumi merupakan salah satu potensi kearifan lokal Indramayu, terkait dengan pribadi yang pandai bersyukur dan taat dalam menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa.

Padi yang biasa ditanam di Indramayu berasal dari dua jenis varietas yaitu, varietas padi unggul dan varietas padi lokal. Contoh dari varietas tersebut adalah varietas kebo, IR, sabo, dharma ayu, pemuda idaman, pandan wangi, ketan, muncul, dan lain-lain. Setiap contoh varietas padi di atas punya keunggulan dan kelemahan yang berbeda-beda. Selain menanam padi, di tanah pekarangan biasanya petani memperoleh hasil dari tanaman mangga sebagai penghasilan tambahan.

Indramayu yang disebut sebagai “kota mangga” menjadikan Indramayu sebagai daerah penghasil mangga yang berkualitas. Pelem atau mangga sering menjadi pilihan oleh-oleh khas Indramayu yang banyak dipilih oleh para pendatang. Mangga khas Indramayu salah satunya adalah pelem gedong gincu, pelem harummanis, pelem manalagi, pelem cengkir, pelem bapang, pelem rucah, pelem golek, dan lain-lain. Hasil mangga dijadikan hasil tambahan oleh sebagian besar masyarakat Indramayu saat musim berbuah. Gagasan yang lahir dari pemikiran petani tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu potensi kearifan lokal Indramayu yang inovatif dan kreatif.

Ketika musim panen tiba, masyarakat Indramayu menyambutnya dengan sukacita, karena dalam musim panen petani dapat memenuhi segala keinginannya. Hasil padi menjadi tabungan tahunan yang dapat menyokong pendapatan keluarga secara besar, karena kebutuhan sehari-hari sudah tercukupi dengan cara hidup berhemat. Ketika musim panen setiap petani melakukan pekerjaan derep yaitu memanen padi. Setiap orang yang derep memperoleh hasil berupa padi. Hasil yang diperoleh dibagi kepada pengelola sawah menggunakan takaran atau timbangan dengan perbandingan 5 : 1, artinya 5 bagian untuk pengelola sawah dan 1 bagian untuk orang yang derep. Namun, pembagian tersebut tidak baku dan disesuaikan dengan tingkat kesulitan medan yang ditempuh menuju sawah tersebut. Kegiatan di atas merupakan salah satu potensi kearifan lokal Indramayu yang menggambarkan sebagai pribadi yang teliti dalam segala hal dan pekerja keras.

Musim panen ketiga (musim panas) setiap desa di Indramayu menggelar upacara mapag sri. Upacara mapag sri adalah upacara adat sebagai wujud syukur akan tibanya musim panen padi. Biasanya ada pagelaran wayang kulit di balaidesa dengan lakon Dewi Sri. Namun saat ini pagelaran yang sering dilaksanakan adalah pagelaran sandiwara. Pagelaran semacam ludruk jika di daerah Jawa. Selain upacara adat desa, biasanya setelah musim panen digelar acara hajatan untuk pernikahan, sunatan (khitanan), rasulan, atau ruwatan. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat menganggap setelah musim panen mereka memperoleh modal dari hasil panen padi, sehingga di Indramayu biasanya melakukan acara hajatan setelah musim panen. Upacara mapag sri merupakan salah satu potensi kearifan lokal Indramayu terkait dengan pribadi yang pandai bersyukur dan taat dalam menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa.

Ketika hajatan digelar, sanak saudara, kerabat, dan tetangga datang untuk kondangan. Di Indramayu dikenal sebagai buwuhan, jadi orang yang datang ke kondangan dengan membawa sejumlah uang, beras, atau padi, tuan hajat harus mengembalikan lagi buwuhan yang diberikan ketika orang tersebut melaksanakan acara hajatan. Di Indramayu bentuk buwuhan-nya bisa bermacam-macam, salah satunya beras atau padi, karena itu merupakan hasil dari musim panen padi.  Buwuhan merupakan salah satu potensi kearifan lokal Indramayu yang menanamkan sikap gotong royong dan kebersamaan antar manusia untuk saling membantu dan saling mengasihi satu sam lain.

Beberapa potensi kearifan lokal Indramayu yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran konsep peluang diantaranya sebagai berikut.

a.      Kegiatan telitian pari

Telitian pari adalah salah satu contoh kegiatan yang menanamkan nilai-nilai seperti disiplin yang didasarkan pada aturan, bertanggung jawab, saling menghormati, bersahabat yang harmonis, dan lainnya. Setelah musim panen, biasanya ada arisan padi seperti telitian pari. Setiap anggota telitian pari berkumpul dengan membawa sejumlah gabah (padi) yang telah ditetapkan sebelumnya. Setelah semua padi dikumpulkan, dilakukan undian untuk menentukan siapakah yang akan mendapatkan hasilnya. Dalam kebanyakan kasus, hasil yang diperoleh tersebut digunakan sebagai modal untuk mengadakan pesta, menyewa lahan pertanian, atau membayar lanja atau gade sawah. Setiap musim panen selesai, acara tersebut dilanjutkan.

Pengembangan terkait dengan aturan pengundian dapat dilakukan agar dapat menjelaskan beberapa konsep penting di dalam peluang. Bentuk aturan tersebut misalnya pengundian dilakukan dengan menggunakan pelemparan dadu agar dapat menggambarkan suatu situasi pembelajaran terkait dengan konsep dasar peluang. Salah satu bentuk aturan-aturan dapat dikembangkan agar konsep yang diharapkan dapat dengan mudah digambarkan melalui kegiatan tersebut.

 

b.      Bermain panggalan

Bermain panggalan adalah salah satu aktivitas yang menanamkan sikap disiplin, kepatuhan terhadap aturan, sikap tanpa kenal menyerah, kemampuan untuk berinovasi dan kreatif, dan sikap lainnya (Husna, 2009).  Selama waktu luang, banyak anak muda di Indramayu, termasuk anak-anak, memainkan panggalan. Permainan ini mirip dengan gansing, tetapi alat panggalan yang digunakan untuk memainkan gansing terbuat dari kayu, seperti gambar di bawah ini.


Gambar 2.4 Gambar Panggalan

 Pemenang dalam permainan ini ditentukan oleh lamanya panggalan yang dimainkan itu berhenti berputar. Modifikasi dalam permainan dapat dilakukan agar tercipta suatu kondisi yang memungkinkan untuk siswa dapat mempelajari konsep peluang. Bentuk modifikasi tersebut salah satunya adalah dengan mewarnai bentuk panggalan ke dalam berbagai bentuk salah satunya membuat panggalan tersebut seperti gambar berikut.



Gambar 2.5 Panggalan Hasil Modifikasi yang Tampak dari Atas

 

Berdasarkan gambar di atas siswa dapat menentukan nilai peluang kejadian sisi putih atau sisi hitam panggalan tersebut akan berhenti ketika diputar. Percobaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai percobaan acak sehingga bentuk modifikasi demikian dapat membantu siswa dalam memahami konsep peluang.

 

c.       Bermain kartu wayang

Bermain kartu wayang adalah salah satu cara untuk menumbuhkan rasa hormat satu sama lain, mengikuti aturan, dan menjadi orang yang rajin. Di Indramayu, anak-anak sering bermain permainan ini. Kartu wayang yang dimaksud adalah sebagai berikut.


Gambar 2.6 Kartu Wayang

 Orang Indramayu biasanya menyebut kartu di atas wayang. Kartu tersebut dimainkan langsung oleh para pemainnya. Kartu yang terdiri dari dua permukaan ini akan kemudian jatuh ke permukaan tanah, dengan salah satu permukaan terbuka ke atas. Mengetos kartu tersebut secara acak dengan kondisi yang seimbang dapat dikategorikan sebagai percobaan acak. Dengan demikian, permainan ini mengandung konsep penting yang dapat dipelajari melalui peluang. Pengundian dadu dapat digunakan untuk mengubah permainan, seperti cara menentukan pemenang. Ini adalah salah satu cara terbaik untuk belajar tentang konsep peluang dalam permainan wayang.

 

d.      Membuat kue cimplo

Masyarakat Indramayu melakukan tradisi membuat kue cimplo di bulan bala (shafar). Di bulan bala, kue cimplo diberikan kepada tetangga dan sanak saudara sebagai cara yang dianggap dapat mencegah bala atau bahaya. Membuat kue cimplo adalah tindakan penting untuk menunjukkan kasih sayang dan kepedulian satu sama lain. Ada kemungkinan untuk mengaitkan bentuk cerita dengan pokok bahasan kue cimplo. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan memberikan beberapa informasi matematis yang mengarah pada ide percobaan acak, misalnya tentang mengambil cimplo pertama dalam cetakan setelah diberi label penomoran, seperti gambar berikut.







Gambar 2.7 Cetakan Cimplo yang Diberi Label

 

 

 

e.       Tradisi ngarot

Di Desa Lelea, Indramayu, ada tradisi ngarot. Tradisi ngarot adalah cara untuk menunjukkan rasa syukur atas kedatangan musim tanam. Dalam menyambut musim tanam, masyarakat Lelea menggunakan Ngarot untuk menunjukkan rasa syukur mereka. Karena dianggap keramat, upacara adat ngarot selalu dilakukan pada minggu ketiga bulan Desember dan selalu dilakukan pada hari Rabu.

Hanya pemuda-pemudi yang masih perawan dan perjaka yang mengikuti tradisi ini. Menurut buku sejarah Desa Lelea, tradisi ngarot dimaksudkan untuk mengumpulkan para pemuda yang akan dipekerjakan untuk bertani. Intinya adalah para pemuda akan bekerja sama dan mengolah sawah secara kolektif. Tujuan dari tradisi ngarot adalah untuk menciptakan pergaulan yang sehat di mana orang-orang mengenal satu sama lain dan mengubah sikap, keinginan, dan tingkah laku mereka sesuai dengan norma budaya. Tradisi ini melakukan kegiatan penting, yaitu penyerahan kepada para kasinoman. Proses penyerahan mencakup:

a.       Dimaksudkan untuk menanam dan menyebarkan benih, kuwu, atau kepala desa, menyerahkan kendi berisi air putih.

b.      Sebagai simbol pengairan, ibu kuwu istri kepala desa menyerahkan kendi berisi air putih.

c.       Tetua desa memberikan pupuk untuk memastikan tanaman tetap subur.

d.      Raksa bumi memberikan alat pertanian, yang berarti mengolah tanah dengan baik.

e.       Lebe, seorang tokoh agama di Indramayu, meminta sepotong bambu kuning, daun androing, dan daun pisang untuk ditanam di sawah agar tanaman padi tidak diserang hama.

Penyerahan dalam tradisi ini dapat berkembang dalam sebuah cerita, memberikan peluang pembelajaran. Percobaan acak seperti melempar dadu, koin, dan undian langsung adalah beberapa contoh percobaan yang dapat digunakan untuk memilih anggota kasino untuk melakukan proses penyerahan. Ini adalah salah satu jenis pengembangan yang dapat dilakukan untuk membangun pembalajaran peluang dalam konteks tradisi ngarot.

f.        Pedati Gede Pekalangan

Cirebon adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak peninggalan budaya. Cirebon memiliki banyak artefak yang masih tersisa, seperti bangunan keraton, alat transportasi, alat musik, dan perlengkapan penting dari masanya. Beberapa museum dan situs arkeologi di kota ini masih menyimpannya dengan baik. Pedati Gede, salah satu alat transportasi tradisional di Cirebon, adalah salah satu artefak yang menarik untuk diteliti. Alat transportasi konvensional biasanya dibuat dengan bahan baku dari sumber alam dan digerakkan oleh manusia atau hewan (Suranny, 2016). Penemuan Pedati Gede Pekalangan ditemukan di Pekalangan Selatan, Cirebon.




Gambar 1.1 Pedati Gede Pekalangan Cirebon (Sumber Nansha et al., 2021)

 

Gambar 1 menunjukkan bahwa struktur pedati besar memiliki bentuk datar dan ukuran unik. Pedati Gede Pekalangan dirancang oleh Pangeran Walangsungsang, atau Pangeran Cakrabuana, menurut cerita rakyat masyarakat Cirebon (Zulfah, 2018). Dibandingkan dengan mewarisi tahta Kerajaan Pakuan Padjajaran yang bercorak Hindu-Budha, Pangeran Walangsungsang lebih memilih menyebarkan Islam sebagai agama baru (Ma'mun et al., 2018). Pangeran Walangsungsang menggunakan Pedati Gede Cirebon sebagai alat transportasi untuk mengangkut syiar agama islam ke pelosok desa.

Ketika Pangeran Walangsungsang datang untuk berdakwah, Pedati Gede dibuat cukup besar untuk menarik perhatian. Alat transportasi ini juga berguna untuk membawa bahan dan perlengkapan penting selama perjalanan. Pedati ini memiliki banyak sumbu roda yang rapat untuk menahan sasis agar tidak patah dan membawa banyak barang (Nansha et al., 2020, 2021). Untuk kondisi jalan saat ini di Indonesia, muatan sumbu terberat (MST) kendaraan angkutan berkisar antara 10 dan 12 ton (Bahri, 2011). Untuk membangun Pedati Gede Cirebon ini, perhitungan matematika harus dilakukan, termasuk mengukur sudut, panjang, dan beratnya.



Gambar 1.2 Ukuran Pedati Gede Cirebon (sumber: Nansha et al., 2021)

 

Berdasarkan gambar 2, terlihat bagaimana keteraturan pengukuran dan pola-pola pengukuran pada konstruksi Pedati Gede Cirebon hasil penelitian dari (Nansha et al., 2020). Pada penelitian tersebut hanya mengungkap tentang riwayat pembangunan Pedati Gede dengan sejarah tokoh Pangeran Walangsungsang tanpa mengungkapkan bentuk konstruksinya yang dihubungkan dengan konsep matematika yang digunakan. Padahal  eksplorasi ini penting dilakukan agar dapat menjelaskan bagaimana mengaplikasikan konsep matematika yang notabene pada Text Box: 3saat itu belum dikenal secara luas atau bahkan tidak diketahui sebelumnya. Pengungkapan tentang konstruksi Pedati Gede Cirebon yang menggunakan konsep matematika dalam pembuatannya dapat dilakukan dengan melakukan eksplorasi etnomatematika. Kemudian hasil eksplorasi pada salah satu bentuk kebudayaan ini akan membantu memberikan penggambaran konsep matematika di sekolah. Menurut Anggara (2019), salah satunya adalah dengan membuat bahan ajar yang disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Ini harus dilakukan karena konteks sosial, budaya, dan lingkungan memengaruhi kemampuan berpikir matematis seseorang (Aminah et al., 2018; Susilawati et al., 2017).

3.      Pembelajaran Komputasional

Penelitian komputasi (CT) merujuk pada konsep dan gagasan utama dalam bidang ilmu komputer dan informatika (Bocconi et al., 2016). Pada tahun 2006, Wing menciptakan istilah "pemikiran komputasi", yang mencakup kemampuan untuk memecahkan masalah, mendesain sistem, dan memahami perilaku manusia. Dia memasukkan konsep dasar ke dalam computer science. Menurutnya, pemikiran komputer terdiri dari berbagai alat mental, yang menunjukkan luasnya bidang komputer ilmu. Computational thinking adalah proses berpikir yang diperlukan untuk memformulasikan masalah dan solusinya, sehingga solusi tersebut dapat menjadi alat pemrosesan informasi yang efektif (Wing, 2010). Computational thinking memungkinkan kita memahami masalah yang kompleks dan mengembangkan solusi yang mungkin, menurut materi pembelajaran online BBC Bitesize (n.d.).

Selanjutnya, masalah dan solusi tersebut dapat disajikan dengan cara yang dapat dipahami oleh salah satu dari dua makhluk—komputer atau manusia. Berdasarkan materi pembelajaran, kecerdasan komputasi mencakup dekomposisi, abstraksi, berpikir dan merumuskan algoritma, serta pembentukan pola solusi untuk masalah tertentu. Kemampuan berpikir komputasi adalah kemampuan yang harus dilatih dan merupakan pengetahuan dasar untuk menyelesaikan masalah tingkat tinggi yang dibutuhkan manusia di abad ke-21. Salah satu kemampuan matematika yang paling penting harus diasah sejak usia dini. Ini karena selama era informasi, era industri 4.0, atau masyarakat 5.0, orang hidup di dunia nyata sekaligus di dunia digital yang dikelilingi oleh Internet of Things (IoT), Big Data, dan AI. Computational thinking berarti menyelesaikan masalah dengan menentukan akar masalah dan solusinya, lalu mempertimbangkan apakah menggunakan komputer akan menjadi solusi yang lebih efektif. Computational thinking adalah metode penyelesaian masalah yang memiliki ciri-ciri berikut (CSTA & ISTE, 2009, seperti yang dikutip oleh Bocconi et al., 2016):

a.       Merumuskan masalah yang dapat membuat seseorang menggunakan komputer dan alat lain untuk membantu mencari solusinya

b.      Mengatur dan menganalisis data dengan logika

c.       Menggambarkan data dengan abstraksi seperti model dan simulasi

d.      Mengotomatisasi solusi melalui pemikiran algoritmik (serangkaian langkah-langkah)

e.       mengidentifikasi, menganalisis, dan menerapkan semua solusi yang mungkin untuk menggunakan sumber daya secara optimal.

f.        Menggeneralisasi dan mentransfer proses pemecahan masalah ke berbagai jenis masalah

Sebagai manusia, kita yang memutuskan seberapa cepat komputer menyelesaikan tugas-tugas tertentu daripada manusia. Dalam kenyataannya, berpikir komputasi terdiri dari banyak kemampuan. Google for Education berbicara tentang pendekatan komputasi berpikir. Google for Education terdiri dari empat tahap dasar: dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, dan perancangan algoritma (Kidd, Lonnie R., & Morris, Jr., 2017). Keempat langkah utama tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (BBC Bitesize, dll.).

1)      Abstraksi adalah proses yang memprioritaskan informasi penting dan mengabaikan detail lainnya.

2)      Algoritma membuat solusi atau prosedur yang harus diikuti untuk menyelesaikan masalah.

3)      Dekomposisi adalah proses membagi masalah atau sistem yang kompleks menjadi bagian yang lebih kecil yang lebih mudah diurus.

4)      Pengenalan pola berarti mencari hubungan antara masalah dan satu sama lain.

Keempat hal tersebut tidak berada dalam urutan yang tepat dan tidak perlu memiliki semua dari mereka. Sikap berikut meningkatkan kecerdasan komputer (Tim Olimpiade Komputer Indonesia, 2018).

a)      Menangani dan mengelola kompleksitas dengan keyakinan dan keyakinan.

b)      Berusaha keras dan tekun untuk menyelesaikan masalah yang sulit.

c)      Bertoleransi terhadap keraguan.

d)      Kemampuan untuk menangani masalah yang "terbuka”

e)      Kemampuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dalam tim untuk mencapai tujuan atau solusi

Pada negara maju, ilmu komputer, atau yang juga dikenal sebagai informatika, diajarkan sejak usia dini. Kerangka kurikulum dirancang oleh persatuan guru-guru, asosiasi profesi informatika, perusahaan terkemuka di bidang informatika dan TIK, serta organisasi nirlaba yang peduli terhadap pentingnya pendidikan informatika sejak usia dini. Lima bidang pengetahuan terdiri dari kurikulum informatika: Sistem Komputer (CE), Jaringan Komputer (NW), Analisis Data (DA), Algoritma dan Pemrograman (AP), dan Aspek Sosial dari Pemanfaatan Informatika (SOC). Selain kalimat bidang pengetahuan tersebut, didefinisikan juga teknik komputasi untuk mengemas pengetahuan dan mempraktikkannya, seperti membangun budaya komputasi, membuat artefak, bekerja sama untuk membuat produk TIK, menguji dan memperbaiki/menyempurnakan artefak TIK, menemukan dan mendefinisikan masalah komputasi, berbicara tentang komputasi, dan mengembangkan dan menggunakan abstraksi (Tim Olimpiade Komputer Indonesia, 2000).

Meskipun tidak tepat, asumsi umum bahwa komputasi berpikir sama dengan coding adalah salah. Coding adalah bahasa pemrograman yang digunakan komputer untuk menyelesaikan tugas atau serangkaian instruksi, dan computational thinking adalah proses pemecahan masalah di baliknya (Grover, 2018). Dalam konteks kemampuan manusia, programming adalah kemampuan untuk memerintah komputer untuk melakukan suatu hal, sedangkan computational thinking adalah proses berpikir yang mendasari programming (Digital Promise, 2017). Orang-orang sering salah memahami computational thinking. Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang terkait dengan pemahaman komputasi berpikir.

a.       Computational thinking adalah konsep, bukan keterampilan programming.

b.      Berpikir komputasi adalah inti dari berpikir, bukan menghafal. Computational thinking bukanlah semua soal yang dapat diingat dan dijawab ulang.

c.       Berpikir komputasi adalah cara manusia berpikir, bukan komputer. Cara berpikir manusia berbeda dengan cara berpikir komputer karena cara berpikir manusia lebih abstrak dan sangat detail.

d.      Matematika dan logika teknik digabungkan dalam logika komputasi.

e.       Secara alami, komputer science mengacu pada engineering thinking.

f.        Computational thinking adalah konsep.

 

4.      Kajian Trajectory Learning Hypotetical (HLT)

Simon (1995) pertama kali menggunakan hipotetis learning trajectory untuk menunjukkan bagaimana guru membuat desain pembelajaran. Menurut Simon (1995), alur belajar hipotetis memberi guru alasan untuk memilih desain instruksional tertentu. Ini memungkinkan guru untuk membuat keputusan berdasarkan bagaimana seseorang bisa belajar, serta keputusan spontan yang dibuat berdasarkan pemikiran siswa.

Simon menggunakan istilah "hypothetical" untuk menunjukkan bahwa jalur belajar adalah sesuatu yang fleksibel, di mana guru dapat mengubah dan mengadaptasi aspek perencanaan sesuai dengan pandangan guru tentang tingkat pemahaman siswa dan pengamatan guru tentang bagaimana siswa melakukan tugas di kelas. Proses belajar ini fleksibel karena cara berpikir dan kemampuan awal setiap siswa berbeda. Siswa menggunakan lintasan belajar hipotetis yang dirancang oleh guru ini untuk mencapai tujuan belajar mereka.

Tiga komponen utama dari jalur pembelajaran, menurut Simon (1995): tujuan pembelajaran (learning goals), kegiatan pembelajaran (learning activities), dan hipotesis proses belajar siswa (hypothetical learning process). Clement dan Sarama (2004) kemudian membuat tiga bagian ini: (1) tujuan pembelajaran (learning goals); (2) perkembangan kemajuan pemikiran dan pembelajaran anak (development progression of thinking and learning); dan (3) perangkat aktivitas pembelajaran (squence of instructional tasks). Jalan belajar didasarkan pada tingkat berpikir siswa, menurut ketiga bagian yang dikembangkan oleh Clement dan Sarama.

Tujuan pembelajaran adalah langkah pertama dalam membangun suatu jalur pembelajaran hipotetis (HLT). Selanjutnya, alat kegiatan pembelajaran dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran. Penyususnan HLT bergantung pada apa yang guru ketahui tentang matematika, apa yang mereka ketahui tentang aktivitas dan representasi matematik, apa yang mereka pikir siswa ketahui, teori yang digunakan guru dalam pengajaran dan pembelajaran matematika, dan apa yang mereka ketahui tentang apa yang mereka pelajaran siswa. Oleh karena itu, Simon dan Tzur (2004) menyarankan empat prinsip yang harus diperhatikan untuk mengonstruksi learning trajectory yang telah disebutkan di atas.

a.       HLT dibangun berdasarkan pemahaman matematis siswa saat ini.

b.      HLT adalah sarana untuk mengatur pembelajaran matematika.

c.       Proses pengajaran matematika sangat bergantung pada tugas atau lembar kerja yang digunakan untuk mendorong siswa untuk belajar matematika.

d.      Jika elemen HLT tidak sesuai dengan proses belajar siswa, guru harus mengubahnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu jalur pembelajaran dapat dibuat untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran berdasarkan tantangan pembelajaran yang mereka hadapi. Trajektori belajar juga dapat membantu guru belajar mengikuti dan memahami cara siswa berpikir matematis. Ini bahkan dapat digunakan sebagai alat untuk membantu guru membuat kurikulum baru (Empson, 2011; Wilson, 2013). Oleh karena itu, selain situasi didaktis, ada banyak hal yang harus diperhatikan saat membuat desain didaktis. Menurut Clements & Sarama (2009), alur belajar atau tahapan belajar yang relevan bagi siswa adalah hal lain yang penting dalam studi materi ajar.

 

5.      Teori tekanan kognitif (CLT)

John Sweller pertama kali mengembangkan istilah "beban kognitif" pada tahun 1980-an. Sweller menyatakan bahwa teori tekanan kognitif terkait dengan masalah dalam proses pemecahan masalah dan belajar. Ini berkaitan dengan keterbatasan memori kerja untuk menerima informasi baru (Sweller, 2011). Menurut Mukti (2017), pendekatan instruksional teori cognitive load didasarkan pada apa yang kita ketahui tentang struktur kognitif manusia. Struktur ini termasuk pembatasan memori kerja, pengaturan informasi dalam memori jangka panjang, dan interaksi antara sistem memori individu. Menurut Sweller (dalam Lesmana Sari et al., 2020), memori kerja orang memiliki kapasitas yang terbatas, yang berarti mereka tidak dapat menangani sejumlah besar data sekaligus. Ini karena memori kerja hanya dapat menerima sejumlah elemen. Peserta didik akan kesulitan memproses informasi selama proses pembelajaran jika mereka menerima terlalu banyak informasi. Ini disebut cognitive load. Paas (1994) menggambarkan beban kognitif sebagai konsekuensi dari proses di dalam otak siswa (sistem kognitif siswa) untuk menyelesaikan tugas tertentu lebih dari kapasitas memori kerja mereka untuk menyerap informasi baru. Menurut De Jong (2010), cognitive load terjadi ketika kapasitas memori kerja seseorang terlalu besar, yang menghambat proses pembelajaran. Kurang kapasitas memori kerja siswa dalam menerima dan mengolah informasi baru dikenal sebagai tekanan kognitif (Lesmana Sari et al., 2020).

Semua orang memiliki kemampuan untuk menerima informasi. Ini karena, menurut Fraser et al. (2015), keterbatasan memori kerja yang dimiliki setiap orang terkait dengan waktu ketika mereka menerima informasi baru. Memori kerja adalah tempat sebagian besar proses kognitif aktif (Ormrod, 2009). “Proses kognitif adalah aktivitas di dalam pikiran siswa yang mencakup menerima, mengolah, menyimpan, dan memanggil kembali informasi dari ingatan ketika dibutuhkan” (Fajriati & Wijayanti, 2018). Materi pelajaran tentang proses kognitif memerlukan pemahaman tentang sistem pengolahan kognitif, yang terdiri dari memori jangka pendek dan jangka panjang.

Memori jangka pendek dapat memproses data visual dan auditori (Nurwanda et al., 2020). Memori jangka pendek tidak dapat memproses banyak data karena mereka tidak bertahan lama. Memori jangka panjang dapat dikodekan dalam berbagai bentuk untuk menyimpan informasi dalam kapasitas besar dan permanen (Wallace & Klatzky, 1980). Skema kognitif akan terdiri dari memori jangka panjang dan jangka pendek. Menurut Sweller (1994), skema adalah jenis struktur yang terdiri dari materi ingatan lama yang disusun dengan cara yang kompleks. Informasi yang digunakan siswa untuk menganalisis dan menyelesaikan sistem disimpan dalam skema kognitif (Nurwanda et al., 2020). Sweller (2011) mengusulkan teori cognitive load, yang membaginya menjadi tiga bagian:

a)      Sweller (1994) menyelidiki intrinsic cognitive load (ICL), yang berkaitan dengan tingkat kompleksitas informasi atau materi. Dalam proses pembelajaran, beban ini dikaitkan dengan cara proses menerima mengolah informasi yang diterima. Ini terkait dengan memori kerja individu. Menurut Artino (2008), ada dua faktor yang memengaruhi tekanan kognitif intrinsik dalam pembelajaran: elemen interaktivitas dan elemen terpisah/berinteraksi. Elemen yang terpisah atau berinteraksi berkaitan dengan kompleksitas atau kerumitan materi, sedangkan elemen yang berinteraksi berkaitan dengan jumlahnya topik materi yang berhubungan. Kedua komponen ini berdampak pada jumlah beban kognitif internal siswa dalam aktivitas pembelajaran. Menurut Lin dan Lin (dalam Yohanes et al., 2016), elemen yang harus diproses secara bersamaan menyebabkan tekanan kognitif intrinsik dalam pembelajaran. Menurut Plass & Kalyuga (2019), interaksi antara komponen informasi penting yang digunakan untuk memahami materi menentukan beban kognitif intrinsik.

b)      Beban kognitif ekstrakurikuler (ECL) adalah beban yang disebabkan oleh informasi atau desain pada pembelajaran. Pembelajaran yang kurang baik menyebabkan beban ekstrinsik yang tinggi, yang merupakan kondisi yang tidak baik untuk belajar (Sweller, 2010). Leppink (2014) menyatakan bahwa metode pembelajaran yang tidak efektif menyebabkan beban ekstrinsik. Metode ini mengharuskan siswa berpartisipasi dalam proses kognitif yang tidak berkontribusi langsung pada konstruksi kognitif.

c)      Tekanan kognitif Jerman (GCL) adalah tekanan kognitif yang berkaitan dengan interaktivitas elemen yang disebabkan oleh upaya untuk memahami materi selama proses pembelajaran. Cognitive load germane hanya terkait dengan karakteristik siswa; itu mencakup sumber daya memori kerja siswa (Sweller, 2010). Germane adalah bagian dari tugas yang menjadi beban intrinsik dan terkait dengan pembuatan tugas. Tugas ini sulit bagi siswa, tetapi menantang dan mendorong mereka untuk belajar (Reedy, 2015). Sehubungan dengan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa cognitive load adalah keterbatasan memori kerja. Tugas kognitif memengaruhi cognitive load; semakin kompleks tugas kognitif, semakin banyak memori kerja yang dibutuhkan.

 

6.      Hambatan Belajar

Di sini, diskusi pertama dimulai dengan Hercovics (1989) menjelaskan bahwa hambatan epistemologis menghambat pertumbuhan pengetahuan ilmiah seseorang. Ini berarti bahwa skemata konseptual individu mengalami hambatan kognitif. Hambatan didaktis dan ontogenis terkait dengan hambatan epistemologis. Namun, menurut Theory of Didactical Situations (TDS) yang ditulis oleh Brousseau pada tahun 2002, ada banyak faktor yang memengaruhi kesulitan pembelajaran. Menurutnya, hambatan dalam proses belajar siswa dapat berasal dari faktor perkembangan siswa yang disebut sebagai hambatan ontogenical, hambatan karena cara pengetahuan dibentuk yang disebut sebagai hambatan epistemologis, dan hambatan karena keputusan pembelajaran guru selama proses pembelajaran yang disebut sebagai hambatan didactic.

Gagasan tersebut disebut sebagai hambatan belajar. Buku Theory of Didactical Situations (TDS) mencakup salah satu konsep utama yang termasuk tantangan tersebut. Menurut TDS, konstruksi pengetahuan adalah hasil dari interaksi siswa dan situasi-masalah (milieu). Ini adalah interaksi dialektik di mana siswa menggunakan, mengubah, melengkapi, atau menolak pengetahuan baru. Oleh karena itu, pengetahuan siswa diperoleh melalui perubahan cara mereka berpikir ke lingkungan. Adaptasi terhadap pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya menyebabkan kesalahan yang dilakukan siswa. Menurut Kerangka Berpikir Hindernis Pembelajaran, tantangan yang dihadapi siswa berasal dari sistem, yaitu sistem guru-siswa-sistem pengetahuan.

Brousseau (2002) membagi hambatan belajar menjadi tiga kategori: epistemologi, didaktis, dan ontogenik.

a.      Hambatan epistemologi (Epistemologi Obstacle)

Brousseau mendefinisikan hambatan epistemologi sebagai pengetahuan yang berguna dalam konteks tertentu tetapi tidak digunakan dengan benar dalam konteks lain. Selain itu, informasi ini menyebabkan kontradiksi. Kesalahan yang disebabkan oleh hambatan epistemologis tidak disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan, tetapi oleh ketidakberaturan dan sesuatu yang tidak terduga. Namun, itu merupakan hasil dari penggunaan pengetahuan sebelumnya yang, meskipun memiliki bukti yang menarik dan berhasil, tidak dapat digunakan atau disesuaikan dalam situasi lain. Oleh karena itu, Brousseau menawarkan metode untuk mengidentifikasi hambatan epistemologis, yaitu:

1.      Temukan kekeliruan berulang, lalu tunjukkan bahwa kekeliruan tersebut terkait dengan pemahaman konsep;

2.      Cari kesulitan dalam sejarah matematika;

3.      Tentukan karakteristik dan karakteristik epistemologis dari hambatan historis dan pembelajaran.

b.      Hambatan didaktis ( Didactical Obstacle)

Hambatan didaktis adalah hambatan belajar siswa yang terjadi karena kekeliruan penyajian; desain didaktis yang digunakan siswa dalam belajar dapat menyebabkan mereka tidak memahami apa yang mereka pelajari. Didaktik kesulitan muncul karena ketergantungan pada satu pendekatan pembelajaran guru.

c.       Hambatan ontogenik ( Ontogenical Obstacles)

Siswa menghadapi tantangan belajar yang disebabkan oleh kesiapan mental mereka (misalnya, tingkat berpikir mereka yang belum memenuhi karena faktor usia), yang dikenal sebagai tantangan ontogenik. Pengetahuan siswa berkembang sesuai dengan kemampuan dan tujuan perkembangan usianya. Dalam kasus di mana perkembangan pengetahuan berkorelasi dengan perkembangan genetik siswa, perkembangan genetik menunjukkan tingkatan dan makna perkembangan.

Cornu (dalam Moru, 2006) membagi hambatan pembelajaran menjadi tiga jenis: hambatan genetik dan psikologis, hambatan didactic, dan hambatan epistemolgical. Cornu menjelaskan bahwa ketika siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran, mereka mengalami hambatan kognitif. Menurutnya, tantangan kognitif berasal dari pengalaman siswa sebelumnya dan proses internal yang berkaitan dengan pengalaman tersebut, dan digunakan ketika siswa menghadapi masalah dalam proses pembalajaran. Proses perkembangan personal siswa menyebabkan tantangan genetik dan mental. Sementara hambatan pendidikan berasal dari sifat guru dan pengajaran itu sendiri, hambatan epistemologis berasal dari sifat konsep matematika itu sendiri, tanpa memperhatikan pendekatan pengajaran.

Kesalahan dan kesulitan yang dialami siswa dalam memahami konsep matematika adalah contoh hambatan belajar. Kesalahan matematika yang dibuat siswa dapat menunjukkan kesulitan belajar. Setuju dengan Brousseau (2002), tantangan belajar ditandai oleh siswa membuat kesalahan dalam menanggapi tugas dan pertanyaan yang diberikan. Moru (2007) membahas ciri-ciri hambatan sebagai sumber kesalahan.

 REFERENSI

 

Abi, A. M. (2017). Integrasi etnomatematika dalam kurikulum matematika sekolah. JPMI (Jurnal Pendidikan Matematika Indonesia), 1(1), 1–6.

Aminah, M., Kusumah, Y. S., Suryadi, D., & Sumarmo, U. (2018). The Effect of Metacognitive Teaching and Mathematical Prior Knowledge on Mathematical Logical Thinking Ability and Self-Regulated Learning. International Journal of Instruction, 11(3), 45–62.

Anggara, B. (2019). Desain Pembelajaran Matematika pada Konsep Dasar Peluang Berbasis Kearifan Lokal Indramayu. JNPM (Jurnal Nasional Pendidikan Matematika), 3(2), 223–237.Aisyah, M., Sumintono, B., & Ismail, Z., (2014). Pemahaman Siswa pada Pokok Bahasan Peluang: Studi Kasus di Satu Sekolah di Johor Bahru Malaysia. Jurnal Pengajaran MIPA, 19(1). 19 – 18.

Arifin. (2011). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Arikunto, S. (2011). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Arter, J. (2001). Scoring Rubrics in The Classroom: Using Performance Criteria for Assesing and Improving Student Performance. London: Corwing Press, Inc.

Athar, G. A. (2012). Pengembangan pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR) berbasis budaya cerita rakyat melayu riau pada kelas 3 sekolah dasar. Prosiding Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta (Hlm. 2).

Azwar, S. (1995). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bahri, S. (2011). Identifikasi jenis dan berat kendaraan melalui jembatan timbang. Inersia: Jurnal Teknik Sipil, 2(2), 1–5.

Barton, B. (2007). Making sense of ethnomathematics: Ethnomathematics is making sense. In Stepping stones for the 21st century (pp. 225–255). Brill.

Batanero, C., Henry, dan Parzysz. (2005). The Nature of Chance and Probability. In Graham, A. Jones (eds), Exploring Probability in School: Chalenges for teaching and learning, 241 - 266.

Batanero, C., Godino, J. D., Vallecillos, A., Green, D. R. & Holmes, P. (2001) . Errors and Difficulties in Understanding Elementary Statistical Concepts. International Journal of Mathematics Education in Science and Technology, 25(4), 527-547.

Batanero, C., & Sanchez, E. (2005). What Is The Nature of High School Students Conceptions and Misconceptions about Probability. In Graham, A. Jones (ed), Exploring Probability in School: Chalenges for teaching and learning, 241 - 266.

Bishop, A.J. (1988). The interactions of Mathematics Education with Culture. Cultural Dynamics; 1; 145 DOI; 10.1177/092137408800100202

Borovcnik, M. (2012). Multiple Perspectives on The Concept of Conditional Probability. Avances de Investigación en Educación Matemática, 2. 5-27.

Borovcnik, M., & Kapadia, R. (2010). Research and Developments in Probability Education Internationally. In Joubert, M. and Andrews, P. (Eds.) Proceedings of the British Congress for Mathematics Education.

Brousseau, G. (2002). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Castro, C. S., (1998) Teaching Probability for Conceptual Change. Educational Studies in Mathematics, 35, 233–254.

Clements, D. H. and Sarama, J. (2004). Learning Trajectories in mathematics Education. Mathematical Thinking and Learning 6 (2), 81-89.

Clements, D. H. and Sarama, J. (2009). Learning and Teaching Early Math: The Learning Trajectories Approach. New York: Routledge.

Creswell, J. (2014). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

d’Ambrosio, U. (2001). In My Opinion: What Is Ethnomathematics, and How Can It Help Children in Schools? Teaching Children Mathematics, 7(6), 308–310.

Faqih, A., Nurdiawan, O., & Setiawan, A. (2021). Pengembangan Media pembelajaran Multimedia Interaktif Alat Masak Tradisional Berbasis Etnomatematika. Mosharafa: Jurnal Pendidikan Matematika, 10(2), 301–310.

Gazali, R. Y. (2016). Pengembangan bahan ajar matematika untuk siswa SMP berdasarkan teori belajar ausubel. Pythagoras, 11(1), 183.

Gerdes, P. (1994). Reflections on ethnomathematics. For the Learning of Mathematics, 14(2), 19–22.

 

Dayat, & Limbong. (2007). Analisis Kesulitan Belajar Peluang. Bandung. Makalah penelitian di STKIP Siliwangi. Tidak Diterbitkan.

Dewantara, H. (1977). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman siswa.

Empson, B. S. (2011). On The Idea of Learning Trajectory: Promises And Pritfalls. The Mathematics Anthusiast, ISSN 1551-3440, 8 (3).

Endraswara, S. (2015). Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan Pemaknaan Budaya. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service.

Faqih, A., Nurdiawan, O., & Setiawan, A. (2021). Pengembangan Media pembelajaran Multimedia Interaktif Alat Masak Tradisional Berbasis Etnomatematika. Mosharafa: Jurnal Pendidikan Matematika, 10(2), 301–310.

Gazali, R. Y. (2016). Pengembangan bahan ajar matematika untuk siswa SMP berdasarkan teori belajar ausubel. Pythagoras, 11(1), 183.

Garfield, J. & Ahlgren, A. (1988). Difficulties in Learning Basic Concepts in Probability and Statistics: Implications for Research. Journal for Research in Mathematics Education, 19, 44-63.

Garfield, J., & Ahlgren, A. (1986). Difficulties in Learning Probability and Statistics. Prosidding in International Conference on Teaching Statistics 2.

Gerdes, P. (1994). Reflections on ethnomathematics. For the Learning of Mathematics, 14(2), 19–22.

Giyantra, R. (2015). Perbandingan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematika antara Siswa yang Mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Siswa yang Mendapat Pembelajaran Penemuan Terbimbing. Bandung. Tesis di jurusan pendidikan matematika UPI. Tidak Diterbitkan.

Glencross, M. J. (1998). Understanding of Chance and probability Concepts Among First Year University Students. In L. Pereira-Mendoza, L. S. Kea, T. W. Kee, & W. K. Wong (Eds.), Proceedings of The Fifth International Conference on Teaching Statistics (Vol. 3, pp. 1091-1095).

Gunawan, & Wibowo, A. (2015). Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Green, D. R. (1979). The Chance and Probability Concepts Project. Teaching Statistics, 1(3), 66-71.

Hansen, R. S., McCann, J., & Myers, J. L. (1985). Rote Versus Conceptual Emphases in Teaching Elementary Probability. Journal for Research in Mathematics Education, 16, 364-374.

Hawkins, A., Joliffe, E, & Glickman, L. (1992). Teaching Statistical Concepts. London: Longman.

Hercovics, N. (1989). Cognitive Obstacles Encountered in The Learning of Algebra. In S. Wagner and C. Kieran (Eds)., Research Issues in The Learning and Teaching of Algebra. Reston, V: Lawrence Erlbaum for NCTM. (pp 60 - 86)

Heryanto, N., & Gantini, T. (2011). Pengantar Statistika Matematis. Bandung : Yrama Widya.

Husna, M. (2009). 100+ Permainan Tradisional Indonesia: untuk Kreativitas, Ketangkasan, dan Keakraban. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Irzani. (2008). Pengembangan Tes Diagnostik Kesulitan Belajar Matematika di SMA.

Isnendes, R. (2014). Estetika Sunda Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Tradisional dalam Sawangan Pendidikan Karakter. Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, 1(2).

Jauhari, J. (2010). Mengenal Permainan Rakyat Nusantara. Jakarta: Trans Mandiri Abadi.

Jones, Graham. (2008). The Challenges of Teaching Probability in School. In Graham, A. Jones (eds), Exploring Probability in School: Chalenges for Teaching and Learning.

Kapadia, R. (1985). A Brief Survey of Research on Probabilistic Notions. In A. Bell, B. Low, & J. Kilpatrick (Eds.), Theory, Research And Practice In Mathematical Education (pp. 261-265).Nottingham, UK : Shell Centre for Mathematical Education.

Kanginan, M. (2014). Matematika untuk SMA-MA Kelas XI Kelompok Wajib Semester 2. Bandung: Graffindo.

Kansanen, P. (2003). Studying The Realistic Bridge Between Instruction and Learning. An Attempt to a Conceptual Whole of the Teaching-Studying-Learning Process. Educational Studies, 29(2/3), 221-232.

Kasim, S. (2012). Budaya Dermayu: Nilai-nilai Historis, Estetis dan Transendental. Yogyakarta: Gapura Publishing.

Kemendikbud. (2013). Kurikulum 2013.

Kemendikbud. (2016). Kurikulum 2016.

Khatimah, H., Mania, S., Majid, A. F., & Yuliany, N. (2022). Pengembangan Modul Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika (Tradisi Budaya Bugis). Alauddin Journal of Mathematics Education, 4(2), 161–171.

Lampiran Undang-undang No 20 tahun 2003

Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 2007 Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Larsen, R. J., & Marx, M. L,. (2012). An Introduction to Mathematical Statistics and Its Applications: Fifth Edition. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data

Li, J., & Mendoza, L.P. (2002). Misconceptions in Probability. Prosidding in International Conference on Teaching Statistics 6.

Ma’mun, Titin Nurhayati, & R. Achmad Opan. (2018). Cariyos Walangsungsang. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Manno, G. (2005). Embodiment and A-didactical Situation in The Teaching-Learning of The Perpendicular Straigh Lines Concept. Palermo. Thesis of Doctoral.

Moleong, L. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.

Moru, E.K. (2006). Epistemological Obstacles in Coming to Understand the Limit Concept at Undergraduate Level: A Case of the National University of Lesotho. Lesotho. Thesis of Doctoral.

Moru, E.K. (2007). Talking with the Literature on Epistemological Obstacles For the Learning of Mathematics. Canada. FLM Publishing Association.

Mulyana, E. (2010). Kapita Selekta Matematika I. Bandung: Pendidikan Matematika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Nansha, H., Sachari, A., & Sabana, S. (2020). Symbolic Meaning of Pedati Gede Pekalangan Cirebon. IICACS: International and Interdisciplinary Conference on Arts Creation and Studies, 2, 1–9.

Nansha, H., Sachari, A., Sabana, S., & Pasaribu, Y. M. (2021). Hubungan Antara Riwayat Pedati Gede Pekalangan dengan Sejarah Tokoh Pangeran Walangsungsang. PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, 10(2), 167–182.

Neill, A. (2000). An Introduction to the Assesment Reseource Banks (Arbs) and their Diagnostic Potential. Paper presented at Technology in Mathematics Education (TIME 2000)

Paul, M., & Hlanganipai, N. (2014). The Nature of Misconceptions and Cognitive Obstacles Faced by Secondary School Mathematics Students in Understanding Probability: A Case Study of Selected Polokwane Secondary Schools. Mediterranean Journal of Social Sciences: MCSER Publishing, Rome-Italy, 5(8) 446 – 455.

Rachmawati, I. (2012). Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo. Jurnal pendidikan matematika Universitas Negeri Surabaya.

Rosa, M., D’Ambrosio, U., Orey, D. C., Shirley, L., Alangui, W. v, Palhares, P., & Gavarrete, M. E. (2016). Current and future perspectives of ethnomathematics as a program. Springer Nature.

Rosidi, A. (2011). Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Ruseffendi, E. T. (1984). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Ruthven, K., dkk. (2009). Design Tools in Didactical Research: Instrumenting The Epistemological an Cognitive Aspects of The Design on Teaching Sequences. Educational Researcher, 38(5), pp. 329-342.

Saputri, M.E. (2015). Pengaruh Pembelajaran Peer Lesson terhadap Kecemasan Matematika dan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah serta Representasi Matematis Siswa SMA. Bandung. Tesis di jurusan pendidikan matematika UPI. Tidak Diterbitkan.

Shao, X. (2015). An Analysis of Difficulties in Learning Probability in High School. Philippines. 7th ICMI-East Asia Regional Conference on Mathematics education.

Simon, M. (1995). Reconstructing Mathematics Pedagogy From A Constructivist Perspective. Journal For Research In Mathematics Eduacation 26(2). 144-145.

Simon, M. Dan Tzur, R. (2004). Explicating The Role of Tasks in Conceptual Learning: An elaboration of hypothetical learning trajectory. Mathematical Thinking And Learning. 6(2), 91-104.

Sina, I. (2011). Implementasi Model Pembelajaran Role Playing Didasari Analisis SWOT Pada Materi Peluang: Penelitian Tindakan Kelas Pada Kelas XI SMA N 1 Wanasari. Jurnal Cakrawala, 6(10), 1 – 9.

Sinaga, et. al. (2014). Matematika untuk SMA/MA Kelas X Semester 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sinaga, et. al. (2014). Matematika untuk SMA/MA Kelas XI Semester 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Steinbring, H. (1991). The Theoretical Nature of Probability in The Classroom. In R.Kapadia & M. Borovcnik (Eds.), Chance Encounters: Probability in Education (pp. 135-1 68). Amsterdam, The Netherlands: Kluwer.

Sucipto, T. (2010). Eksistensi Keraton di Cirebon Kajian Persepsi Masyarakat Terhadap Keraton-Keraton di Cirebon. Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research, 2(3), 472–489.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: FPMIPA UPI.

Suherman, E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.

Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sukino. (2014). Matematika untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok Wajib Semester 2. Jakarta: Erlangga.

Suranny, L. E. (2016). Moda Transportasi Tradisional Jawa (Traditional Transportation Equipment in Java). Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat, 8(2), 217–231.

Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian dari Sudut Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNP.

Suryadi, D. (2010). Metapedadidaktik dan Didactical Design Reasearch (DDR): Sintesis Hasil Pemikiran Berdasarkan Lesson Study. Dalam T. Hidayat, I.Kaniawati, I. Suwarma, A. Setiabudi, and Suhendra (Eds): Teori, paradigma, prinsip dan pendekatan pembelajaran MIPA dalam konteks Indonesia. Bandung: FPMIPA UPI.

Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Bepikir Matematika. Bandung: Rizqi Press.

Suryadi, D. (2013). Didactical Design Research (DDR) dalam pengembangan Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung.

Suryadi, D. (2014). Sinergi untuk Kemandirian Pendidik. Dalam D. Suryadi, dan T.Suratno (Eds.), Kisah Pendidik Reflektif dan Profesional Pembelajaran. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Suryadi, D. (2016). Didactical Design Research (DDR) : Upaya Membangun Kemandirian Berpikir melalui Penelitian Pembelajaran. Dalam D. Suryadi, E.Mulyana, T.Suratno, D.A.K Dewi, dan S.Y.Maudy (Eds.), Monograf Didactical Design Reserach. Bandung: Rizqi Press.

Susilawati, W., Suryadi, D., & Dahlan, J. A. (2017). The improvement of mathematical spatial visualization ability of student through cognitive conflict. International Electronic Journal of Mathematics Education, 12(2), 155–166.

Turmudi, T., Juandi, D., & Sugilar, H. (2018). Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah matematis siswa madrasah aliyah. Jurnal Analisa, 4(1), 33–42.

Tilaar H.A.R (2013). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia. Jakarta: Rineka cipta.

Turmudi. (2009). Landasan Filsafat dan Teoritis Pembelajaran Matematika Berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta: Leuseur Cita Pustaka.

Turmudi. (2010). Pembelajaran Matematika Masa Kini dan Kecenderungan Masa Mendatang. Bandung: JICA.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran: Pelengkap untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Bandung: FPMIPA UPI.

Watson, J., & Collis, K. (1994). Multimodal Functioning in Understanding Chance and Data Concepts. In J.P. da Ponte & J.F. Matos (Eds.), Proceedings of the 18th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education: 4,369-376. Lisbon, Portugal.

Wilson, P. H., Mojica, G. F. Dan Confrey, J. 2013  Learning Trajectories In Teacher Education: Supporting Teachers’ Understandings Of Students’ Mathematical Thinking. Journal Of Mathematical Behavior 32. Hlm. 103-121.

Wulantina, E., & Maskar, S. (2019). Pengembangan Bahan Ajar Matematika Berbasis Lampungnese Etnomatematics. Development of Material Based on Lampungnese Etnomatematics, 9(9), 2.

Yani, A. (2011). Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton Cirebon. Holistik, 12(1).

Yuniarti, T. (2014). Desain Didaktis Teori Peluang SMA. Jurnal Pendidikan MIPA, 15(1).

Zayyadi, M. (2018). Eksplorasi etnomatematika pada batik madura. Sigma, 2(2), 36–40.

Zulfah, S. (2018). Islamisasi di Cirebon: Peran dan Pengaruh Walasungsang Perspektif Naskah Carios Walasungsang. Tamaddun, 6(1), 172–201.

 

Comments

Popular posts from this blog

Biografi Lengkap Prof. Dr. H. Cecep Sumarna

Soal UAS Mata Kuliah Filsafat Pendidikan STKIPM Kuningan

Paradigma Terbalik