PRAKSIS PENDIDIKAN MATEMATIKA INOVATIF (
PRAKSIS PENDIDIKAN
MATEMATIKA INOVATIF
Benny Anggara
Mahasiswa Program Doktor
Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
Topik dalam riset Pendidikan
matematika sangat beragam dan lebih mengutamakan tentang penerapan pembelajaran
yang berpusat pada siswa. Beberapa isu dan topik riset yang masih hangat untuk
di bahas salah satunya adalah etnomatematika, Didactical Design Research
(DDR), pembelajaran komputasional, kajian Hypotetical Learning Trajectory
(HLT), kajian berkaitan dengan Learning Obstacle (Hambatan Belajar), Cognitive
Load Theory (CLT), dan beberapa pembelajaran lainnya. Topik dan isu riset
ini kemudian dikaji dan dijadikan sebagai penunjang dalam menciptakan suatu
kebaruan dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika yang selama ini
memiliki permasalahan klasik berkaitan dengan ketidakmampuan peserta didik
dalam memahami konsep matematika secara bermakna. Pada pembahasan ini penulis
mengantarkan beberapa isu riset yang menarik untuk dibahas dan dijadikan sebagai
kajian dalam riset-riset Pendidikan matematika saat ini.
1. Didactical
Design Research (DDR)
Diharapkan materi ajar matematika yang berkualitas tinggi dapat
mendorong potensi siswa. Pembelajaran matematika sangat bergantung pada guru
dan materi yang diajarkan. Suryadi (2010; 2013) mengatakan bahwa hubungan
antara guru dan siswa serta materi ajar dapat menjadi pusat penelitian
penelitian pendidikan matematika. Tripartite hubungan guru-siswa-matematika
terdiri dari tiga elemen ini.
Sangat penting bahwa masalah materi ajar yang berkaitan dengan tripartit
tersebut dipelajari dalam konteks pembelajaran dengan setidaknya
mempertimbangkan lima elemen berikut (Suryadi, 2014; 2016).
a. Materi pelajaran yang disajikan dalam buku teks
atau LKS biasanya tidak dibuat berdasarkan temuan penelitian, sehingga banyak
materi yang menimbulkan kesulitan bagi siswa.
b. Desain didaktis yang banyak digunakan dalam buku
ajar dan proses pembelajaran cenderung menciptakan situasi serupa, seperti
penjelasan konsep, penyajian contoh, dan latihan menyelesaikan soal sesuai
contoh.
c. Desain didaktis yang
dikembangkan seringkali mengabaikan alur
belajar secara struktural dan fungsional.
d. Banyak desain didaktis yang tidak memungkinkan
siswa untuk belajar menjadi lebih mandiri melalui proses indivisual dan
interaksi sesama siswa, serta proses untuk mencapai kemampuan lebih tinggi
dengan bantuan guru.
e. Proses abstraksi belum digunakan sebagai
orientasi pembelajaran.
Perlu diingat bahwa tujuan utama dari didaktis ini adalah untuk mempelajari
dan memahami secara menyeluruh kesulitan yang dihadapi siswa. Selain itu, ide
teori dasar dari pendekatan Brousseau adalah hubungan antara siswa, proses
pembelajaran, dan lingkungan di mana proses pembelajaran terjadi (Manno, 2006).
Menurut Ruthven (2009), tujuan utama dari desain didaktis adalah untuk membuat
urutan pembelajaran yang cukup menyeluruh dan kuat untuk mencapai efek yang
dapat diandalkan atau konsisten, sehingga tidak hanya dapat digunakan secara
luas dalam konteks kelas.
Suryadi
(2013) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran matematika, proses berpikir guru
terdiri dari tiga tahap: sebelum pembelajaran, saat pembelajaran berlangsung,
dan setelah pembelajaran. Pada tahap pertama, guru harus menyiapkan materi
pelajaran dan strategi untuk membuat materi pelajaran mudah dipahami siswa.
Suryadi (2010) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran termasuk Karena matematika adalah objek yang bersifat abstrak,
bahan ajar yang baik diperlukan. Pendesainan bahan ajar harus mempertimbangkan
cara konsep yang akan diajarkan dipikirkan, terutama dari sudut pandang
matematikawan, guru matematika, dan orang yang belajar matematika. Hasil dari
repersonalisasi dan rekontekstualisasi konsep yang diajarkan harus menjadi dasar
penyusunan bahan ajar. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa siswa memperoleh
pemahaman tentang suatu ide dengan memeriksa kembali pengalaman yang mungkin
mereka miliki secara pribadi serta konteks yang dialami matematikawan saat
menemukan ide tersebut.
Jika
bahan ajar disiapkan hanya berdasarkan pemahaman teks tanpa melakukan proses
repersonalisasi dan rekontekstualisasi, guru tidak dapat mengamati respons yang
terjadi dampak dari penerapan bahan ajar. Namun, menurut Suryadi (2010),
merancang pembelajaran harus disertai dengan antisipasi didaktis dan pedagogis,
karena kurangnya antisipasi ini dapat menyebabkan proses belajar yang kurang
efektif bagi setiap siswa.
Proses
berpikir guru berlanjut saat pembelajaran berlangsung. Mereka menemukan dan
menganalisis reaksi siswa saat bahan ajar yang telah disiapkan sebelumnya
diterapkan dalam proses pembelajaran. Dalam proses belajar, siswa merespons
situasi yang ada dan kemudian menciptakan situasi baru yang dapat memberikan
informasi kepada guru. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran,
guru harus mengambil tindakan lanjutan berdasarkan reaksi siswa.
Proses
berpikir guru tidak selesai setelah pembelajaran selesai. Setelah pelajaran
selesai, guru harus mengevaluasi apakah pembelajaran yang terjadi di dunia
nyata sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu, penting bagi
pendidik untuk melakukan penelitian terus menerus tentang desain pendidikan
agar setiap generasi dapat membuat desain yang lebih baik yang sesuai dengan
konteks dan memenuhi kebutuhan siswa selama pendidikan.
Penting
untuk diingat bahwa dalam situasi tertentu, proses belajar seseorang mungkin
mengalami kegagalan dan juga keberhasilan. Pada akhirnya, seseorang akan
menemukan cara untuk mencapai keberhasilan melalui peristiwa yang dialaminya
secara berulang, baik itu sukses atau kegagalan. Dalam keadaan seperti ini,
seseorang tidak hanya belajar melalui coba-coba, tetapi juga menggunakan
pengetahuan sebelumnya yang membantu mereka berhasil. Salah satu komponen
penting dari teori situasi didaktis (TDS) adalah situasi aksi, menurut
Brousseau (Suryadi, 2016).
Menurut
Brousseau (Suryadi, 2010), tindakan guru dalam konteks didaktis dapat memulai
proses pembelajaran. Walaupun situasi tersebut tidak selalu menciptakan proses
pembelajaran, pengkondisian seperti scaffolding sangat mungkin melakukannya. Selama
proses belajar, siswa akan menghadapi situasi baru, dan tindakan mereka akan
dipengaruhi oleh situasi baru tersebut. Tahapan situasi menurut Manno (2006) pada
teori situasi didaktis yaitu:
1) Situasi
Tindakan (Action Situation)
Pada situasi aksi, siswa tertarik untuk
menemukan penyelesaian dari masalah yang diberikan oleh guru. Siswa akan
menentukan strateginya sendiri,
kemudian membuat keputusan bagaimana akan mengkonstruk proses penyelesaian
untuk memecahkan masalah,
dengan menggunakan prosedur baru atau prosedur yang ada sebelumnya. Berbagai
strategi akan muncul sebagai hasil dari trial
and error yang dilakukan oleh siswa.
Ditahap ini pengetahuan merupakan alat untuk menyelesaikan masalah.
2) Situasi
Formulasi (Formulation Situation)
Situasi formulasi
merupakan dasar pemikiran tahap awal menuju proses validasi. Pada situasi
formulasi,
komunikasi memegang peran penting karena siswa akan mendiskusikan hasil
pengamatannya, menjelaskan strategi yang digunakan, dan memberi argumen
sehingga dapat dipahami oleh siswa lain.
3) Situasi
Validasi (Validation Situation)
Pada tahap ini guru akan
menilai cara, strategi, atau teori yang digunakan siswa. Model atau strategi
yang dikonstruksi siswa pada situasi aksi maupun formulasi dapat diterima atau
ditolak oleh siswa lain. Untuk itu siswa harus mempertahankan model dan
strategi dalam diskusi dengan siswa lain.
4) Situasi
Institusionalisasi (Institutionalization
Situation)
Pada situasi ini terjadi
proses dimana siswa memperoleh pengetahuan yang baru. Institusionalisasi adalah
proses yang memungkinkan siswa mengubah pengetahuan sebelumnya jadi pengetahuan
baru, melalui penguatan guru
yang memberikan nilai kebenaran dan memungkinkan untuk menggunakan pengetahuan
baru tersebut untuk mencari solusi dari suatu masalah.
Hubungan antara siswa dan materi serta hubungan antara
guru dan siswa adalah dua komponen penting dari proses pembelajaran matematika.
Hubungan antara guru dan siswa sering digambarkan dengan segitiga, dengan guru,
siswa, dan materi sebagai titiknya (Kansanen, 2003). Segitiga didaktis yang
diciptakan oleh Kansanen (Suryadi, 2010) menunjukkan hubungan pedagogis (HP)
antara guru dan siswa, serta hubungan didaktis (HD) antara siswa dan materi seperti
gambar berikut.
|
Suryadi (2010)
menyatakan bahwa situasi didaktis yang kompleks dapat dihasilkan oleh kedua
hubungan tersebut. Menurutnya, kita tidak dapat melihat hubungan antara
pedagogis dan didaktis secara parsial. Untuk membuat situasi didaktis baru,
guru harus memperkirakan reaksi siswa dan antisipasi mereka. Hubungan antara
guru dan siswa, siswa-materi, dan guru-siswa adalah bagian dari harapan
tersebut. Suryadi (2013) menambah segitiga didaktik dengan menambahkan hubungan
antisipatif antara guru dan materi. Hubungan ini dikenal sebagai antisipasi
didaktis dan pedagogis (ADP).
|
Dalam segitiga didaktis yang diubah di atas, peran
guru tidak hanya harus menciptakan situasi didaktis dan pedagogis yang ideal
selama pembelajaran, tetapi juga harus membuat antisipasi didaktis dan
pedagogis. Itu sangat sulit mengingat semua tugas yang harus dilakukan seorang
guru selama pembelajaran. Oleh karena itu, diharapkan bahwa guru memiliki
kemampuan metapedadidaktik. Suryadi (2013) menyatakan bahwa metapedadidaktik
dapat didefinisikan sebagai kemampuan guru untuk:
1) Menganggap ADP, HD, dan HP sebagai bagian integral
dari segitiga didaktis yang dimodifikasi.
2) mengembangkan tindakan sehingga tercipta situasi
didaktis dan pedagogis yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
3) menemukan dan menganalisis respons siswa sebagai hasil
dari tindakan yang dilakukan.
4) melanjutkan tindakan didaktis dan pedagogis
berdasarkan hasil analisis respons siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Metapedadidaktik
meliputi tiga komponen yang saling berkaitan dalam suatu pembelajaran, yakni
komponen kesatuan, fleksibilitas dan koherensi. Karena metapedadidaktik terkait
akan sebuah pembelajaran, maka Suryadi (2013) menggambarkan sebagai sebuah
limas dengan titik puncaknya adalah guru yang memandang alas limas sebagai
segitiga didaktis yang dimodifikasi, seperti gambar berikut.
|
Komponen kesatuan berkaitan dengan kemampuan guru
untuk melihat segitiga didaktis yang dimodifikasi sebagai komponen yang saling
berkaitan dan konsisten. Sebelum pembelajaran, guru membuat rancangan yang
menggambarkan prediksi respons siswa tentang tindakan didaktis dan pedagogis.
Kemudian, guru berpikir tentang berbagai kemungkinan: jika respons siswa sesuai
dengan prediksi guru, hanya sebagian dari respons siswa yang sesuai dengan
prediksi guru, dan jika yang diprediksikan tidak terjadi. Situasi seperti ini
menghalangi guru untuk menemukan, menilai, dan mengambil tindakan didaktis dan
pedagogis dengan cepat dan tepat.
Fleksibilitas adalah komponen kedua dari
metapedadidaktik. Rancangan pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya
sebenarnya adalah rencana yang tidak selalu sesuai dengan apa yang terjadi.
Akibatnya, perkiraan yang telah dibuat harus disesuaikan dengan apa yang
terjadi selama proses pembelajaran.
Koherensi, atau keterkaitan logis, adalah komponen
ketiga. Situasi didaktis dan pedagogis yang diciptakan guru sejak awal
pembelajaran selalu berubah karena tindakan didaktis dan pedagogis guru berubah
sesuai dengan respons siswa selama pembelajaran. Perbedaan situasi yang terjadi
dikelola sehingga perubahan situasi dapat berjalan lancar dan mengarah pada
pencapaian tujuan. Dengan demikian, guru harus memperhatikan koherensi situasi
untuk mencapai hasil belajar yang optimal.
Suryadi (2013) menyatakan bahwa guru memiliki tiga
tahap berpikir dalam konteks pembelajaran: sebelum pembelajaran, saat
pembelajaran berlangsung, dan setelah pembelajaran. Secara keseluruhan,
kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru dapat disebut sebagai Penelitian
Desain Didaktis atau Penelitian Desain Didaktis (DDR). Penelitian Desain Didaktis
biasanya terdiri dari tiga tahapan:
1)
Analisis situasi
didaktis sebelum pembelajaran, yang terdiri dari Desain Didaktis Hipotesis dan
ADP;
2)
Analisis
metapedadidaktis; dan
3)
Analisis
retrospektif, yang merupakan analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi
didaktis hipotesis dengan hasil analisis metapedadidaktis.
Dengan menggunakan
desain didaktis, siswa diharapkan dapat memahami konsep matematika secara
menyeluruh dan optimal. Desain didaktis dirancang untuk mengatasi atau
mengurangi tantangan belajar yang muncul sehingga siswa tidak lagi mengalami
kesulitan memahami konsep matematika.
2. Etnomatematika
Etnomatematika adalah pendekatan untuk mengakui bahwa ada cara yang
berbeda untuk melakukan matematika. Ini dilakukan dengan mempertimbangkan
pengetahuan matematika yang telah dikembangkan secara akademik serta cara-cara
yang berbeda yang digunakan oleh berbagai budaya untuk mengatur aktivitas
matematika, seperti mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan
atau alat, bermain, dan sebagainya (Rosa et al., 2016). Menurut Zayyadi (2018),
etnomatematika juga merupakan hasil dari berbagai aktivitas matematika yang
dimiliki atau berkembang di masyarakat. Ini berbeda dengan fakta bahwa praktik
budaya memungkinkan penerapan konsep matematika dan mengakui bahwa masyarakat
tertentu mengembangkan cara khusus untuk melakukan tugas matematika.
Kadang-kadang,
tanpa pendidikan formal, konsep matematika muncul secara alami dalam budaya dan
pengetahuan masyarakat tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
dikatakan bahwa etnomatematika—atau konsep matematika yang bernuansa
budaya—adalah produk dari aktivitas masyarakat yang telah dilakukan secara
turun temurun. Artinya, etnomatematika adalah produk budaya yang mengandung
konsep matematika yang terkadang tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, etnomatematika sangat berkontribusi terhadap pembelajaran
matematika.
Kearifan
lokal yang berkembang dalam masyarakat lokal dapat diintegrasikan melalui
etnomatematika. Quaritch Wales pertama kali menggunakan istilah "kearifan
lokal", yang berarti kemampuan kebudayaan setempat untuk mengatasi
pengaruh kebudayaan asing saat keduanya berinteraksi. Rosidi (2011) menunjukkan
bukti kreativitas nenek moyang dalam Diskusi Ilmiah arkeologi pada tahun 1984,
yang menggunakan istilah "genius lokal" dan "identitas budaya
bangsa" dengan berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia, seperti
"ketahanan budaya", "kepribadian budaya bangsa",
"kepribadian budaya bangsa", dan "cemerlang budaya", tetapi
tidak ada yang menggunakan istilah " Istilah ini baru digunakan sekitar
tahun 1980-an, saat arus modernisasi hampir menghapus nilai-nilai budaya lokal
masyarakat Indonesia yang dianggap sebagai warisan nenek moyang. Budaya sebagai
identitas atau kepribadian suatu bangsa membuat bangsa tersebut lebih mampu
menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang datang dari luar wilayahnya
sesuai dengan karakter dan kebutuhan pribadinya.
Kearifan
lokal dapat didefinisikan sebagai konsep, prinsip, dan perspektif tentang suatu
wilayah yang bijaksana, bernilai, dan dianut oleh masyarakat setempat. Isnendes
(2014) menyatakan bahwa kearifan lokal mencakup semua jenis pengetahuan,
keyakinan, pemahaman, dan wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang
diwariskan sebagai perilaku manusia dalam kehidupan dalam satu komunitas.
Kearifan lokal bukan hanya nilai-nilai budaya atau ciri-ciri lokal; itu adalah
nilai-nilai yang membangun harapan dan standar yang dihormati oleh semua orang.
Indramayu,
juga disebut Dermayu, adalah sebuah daerah di pantai utara Jawa Barat yang
menjadi pusat perpaduan budaya Sunda dan Jawa. Ini berbeda dengan daerah lain
di Jawa Barat yang lebih terfokus pada kebudayaan Sunda dan agak jauh dari
kebudayaan Jawa, tetapi banyak serupa dengan Cirebon, bahkan dianggap sebagai
bagian dari kebudayaannya.
Kebudayaan
Indramayu masa lalu dapat dilihat, diuraikan, dan ditafsirkan dari berbagai
sudut pandang. Beberapa sudut pandang ini termasuk pemikiran, konsep, dan norma
sosial yang berlaku, serta aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh
orang-orang yang tinggal di Indramayu, dan barang-barang yang dibuat oleh
orang-orang tersebut. Sangat mungkin bahwa bentuk kebudayaan tersebut memiliki
makna dan nilai sekarang dan di masa depan. Kasim (2012) menjelaskan bahwa kekuatan
alam dari tanah dataran rendah, laut, dan pantai memengaruhi sikap berbudaya
manusia di Indramayu, salah satunya tentang budaya petani. Naskah Wangsakerta
adalah sumber dari banyak buku yang menceritakan tentang keberadaan petani di
Indramayu. Selama periode kolonial, kemerdekaan, kemajuan, dan otonomi daerah,
Indramayu dianggap sebagai lumbung padi nasional. Aktivitas keseharian
penduduknya dipengaruhi oleh budaya tani. Dengan demikian, budaya masyarakat
petani dapat menjadi sumber banyak kearifan lokal Indramayu.
Masyarakat
Indramayu hidup budaya petani setiap hari. Sawah adalah representasi ruang
untuk kreativitas produktif yang bukan hanya diolah tetapi juga dipelihara dan
disayangi. Mengawasi sawah melibatkan hubungan lahir dan batin, tubuh dan jiwa.
Sangat jelas bahwa ada keterlibatan jiwa dalam mengelola sawah karena itu
berarti mencurahkan separuh jiwanya. Salah satu potensi kearifan lokal
Indramayu adalah mengelola sawah, yang menunjukkan nilai-nilai seperti
kesetiakawanan, cinta lingkungan, dan keikhlasan.
Ini
menghasilkan ritme kehidupan di sawah untuk kaum tani, yang terdiri dari
majikan (pemilik sawah) dan pekerja (pekerja sawah). Ritme itu menggambarkan
kehidupan yang penuh perhatian, pekerja keras, perhitungan, dan akhirnya
kebahagiaan. Secara sosial-ekonomi, gaya hidup petani tidak hanya penuh dengan
perhitungan, tetapi mereka juga irit, medit, dan kucrit, yang merupakan kata
untuk kikir. Fakta bahwa panen padi hanya dapat dilakukan satu kali setahun
menjadi pusat pemikiran petani di Kabupaten Indramayu pada tahun 1960-an dan
1970-an, menurut Kasim (2012). Artinya, kegembiraan petani hanya bertahan satu
atau dua bulan. "Pindang blanak pasar senen, mangan enak mumpung
panen" adalah kalimat parikan yang dapat ditemukan dalam bahasa percakapan
sehari-hari.
Selama dua bulan, Anda menikmati makanan yang lezat,
dan selama sepuluh bulan berikutnya, Anda akan menjalani gaya hidup yang boros,
malas, dan kucrit. Selain itu, jika terjadi bulan-bulan setelah musim tanam
padi, yang dikenal sebagai "paila", sikap prihatin karena kekurangan
bahan pangan. Saat itu, persediaan padi mulai menipis, musim hujan deras,
kesulitan mencari pekerjaan, dan musim panen masih panjang. Kultur petani
kemudian dipenuhi dengan pertimbangan cermat karena sikap prihatin. Semua yang
disebutkan di atas menunjukkan bahwa cara petani bertahan hidup di Indramayu
dapat menjadi salah satu potensi kearifan lokal yang dapat dikembangkan dengan
sikap sadar lingkungan.
Pada
saat ini musim tanam padi terjadi dua kali yaitu pada musim rendeng (musim penghujan) dan musim ketiga (musim panas). Saat memasuki musim tanam rendeng, maka
diadakan suatu upacara yang dikenal sebagai sedekah
bumi. Sedekah bumi merupakan
upacara adat desa sebagai wujud syukur kepada bumi. Biasanya ada pagelaran wayang
kulit di balaidesa yang mengetengahkan lakon “Bumi Loka” tentang asal-usul
padi. Petani di Indramayu biasanya menanam padi dari berbagai jenis. Upacara sedekah bumi merupakan salah satu
potensi kearifan lokal Indramayu,
terkait dengan pribadi yang pandai bersyukur dan taat dalam menjalankan
perintah Tuhan Yang Maha Esa.
Padi
yang biasa ditanam di Indramayu berasal dari dua jenis varietas yaitu, varietas
padi unggul dan varietas padi lokal. Contoh dari varietas tersebut adalah
varietas kebo, IR, sabo, dharma ayu, pemuda idaman, pandan wangi, ketan,
muncul, dan lain-lain. Setiap contoh varietas padi di atas punya keunggulan dan
kelemahan yang berbeda-beda. Selain menanam padi, di tanah pekarangan biasanya petani memperoleh hasil dari tanaman mangga
sebagai penghasilan tambahan.
Indramayu
yang disebut sebagai “kota mangga” menjadikan Indramayu sebagai daerah
penghasil mangga yang berkualitas. Pelem
atau mangga sering menjadi pilihan oleh-oleh khas Indramayu yang banyak dipilih
oleh para pendatang. Mangga khas Indramayu salah satunya adalah pelem gedong gincu, pelem harummanis, pelem
manalagi, pelem cengkir, pelem bapang, pelem rucah, pelem golek,
dan lain-lain. Hasil mangga dijadikan hasil tambahan oleh sebagian besar
masyarakat Indramayu saat musim berbuah. Gagasan yang lahir dari pemikiran
petani tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu potensi kearifan lokal
Indramayu yang inovatif dan kreatif.
Ketika
musim panen tiba,
masyarakat Indramayu menyambutnya dengan sukacita, karena dalam musim panen petani dapat
memenuhi segala keinginannya. Hasil padi menjadi tabungan tahunan yang dapat
menyokong pendapatan keluarga secara besar, karena kebutuhan sehari-hari sudah
tercukupi dengan cara hidup berhemat. Ketika musim panen setiap petani
melakukan pekerjaan derep yaitu
memanen padi. Setiap orang yang derep
memperoleh hasil berupa padi. Hasil yang diperoleh dibagi kepada pengelola
sawah menggunakan takaran atau timbangan dengan perbandingan 5 : 1, artinya 5
bagian untuk pengelola sawah dan 1 bagian untuk orang yang derep. Namun,
pembagian tersebut tidak baku dan disesuaikan dengan tingkat kesulitan medan
yang ditempuh menuju sawah tersebut. Kegiatan di atas merupakan salah satu
potensi kearifan lokal Indramayu yang menggambarkan sebagai pribadi yang teliti
dalam segala hal dan pekerja keras.
Musim
panen ketiga (musim panas) setiap
desa di Indramayu menggelar upacara mapag
sri. Upacara mapag sri adalah
upacara adat sebagai wujud syukur akan tibanya musim panen padi. Biasanya ada
pagelaran wayang kulit di balaidesa dengan lakon Dewi Sri. Namun saat ini pagelaran yang sering dilaksanakan adalah
pagelaran sandiwara. Pagelaran
semacam ludruk jika di daerah Jawa.
Selain upacara adat desa, biasanya setelah musim panen digelar acara hajatan
untuk pernikahan, sunatan (khitanan),
rasulan, atau ruwatan. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat menganggap
setelah musim panen mereka memperoleh modal dari hasil panen padi, sehingga di
Indramayu biasanya melakukan acara hajatan setelah musim panen. Upacara mapag sri merupakan salah satu potensi
kearifan lokal Indramayu terkait dengan pribadi yang pandai bersyukur dan taat
dalam menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika
hajatan digelar,
sanak saudara, kerabat, dan tetangga datang untuk kondangan. Di Indramayu
dikenal sebagai buwuhan, jadi orang
yang datang ke kondangan dengan membawa sejumlah uang, beras, atau padi, tuan hajat harus
mengembalikan lagi buwuhan yang
diberikan ketika orang tersebut melaksanakan acara hajatan. Di Indramayu bentuk
buwuhan-nya bisa bermacam-macam, salah satunya beras atau
padi, karena itu merupakan hasil dari musim panen padi. Buwuhan
merupakan salah satu potensi kearifan lokal Indramayu yang menanamkan sikap
gotong royong dan kebersamaan antar manusia untuk saling membantu dan saling
mengasihi satu sam lain.
Beberapa
potensi kearifan lokal Indramayu yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran
konsep peluang diantaranya sebagai berikut.
a.
Kegiatan
telitian pari
Telitian pari adalah salah satu contoh kegiatan yang menanamkan nilai-nilai
seperti disiplin yang didasarkan pada aturan, bertanggung jawab, saling
menghormati, bersahabat yang harmonis, dan lainnya. Setelah musim panen,
biasanya ada arisan padi seperti telitian pari. Setiap anggota telitian pari
berkumpul dengan membawa sejumlah gabah (padi) yang telah ditetapkan
sebelumnya. Setelah semua padi dikumpulkan, dilakukan undian untuk menentukan
siapakah yang akan mendapatkan hasilnya. Dalam kebanyakan kasus, hasil yang
diperoleh tersebut digunakan sebagai modal untuk mengadakan pesta, menyewa
lahan pertanian, atau membayar lanja atau gade sawah. Setiap musim panen
selesai, acara tersebut dilanjutkan.
Pengembangan
terkait dengan aturan pengundian dapat dilakukan agar dapat menjelaskan
beberapa konsep penting di dalam peluang. Bentuk aturan tersebut misalnya
pengundian dilakukan dengan menggunakan pelemparan dadu agar dapat
menggambarkan suatu situasi pembelajaran terkait dengan konsep dasar peluang.
Salah satu bentuk aturan-aturan dapat dikembangkan agar konsep yang diharapkan
dapat dengan mudah digambarkan melalui kegiatan tersebut.
b.
Bermain
panggalan
Bermain
panggalan adalah salah satu aktivitas yang menanamkan sikap disiplin, kepatuhan
terhadap aturan, sikap tanpa kenal menyerah, kemampuan untuk berinovasi dan
kreatif, dan sikap lainnya (Husna, 2009).
Selama waktu luang, banyak anak muda di Indramayu, termasuk anak-anak,
memainkan panggalan. Permainan ini mirip dengan gansing, tetapi alat panggalan
yang digunakan untuk memainkan gansing terbuat dari kayu, seperti gambar di bawah
ini.
Gambar 2.4 Gambar Panggalan
Gambar 2.5 Panggalan Hasil Modifikasi yang Tampak
dari Atas
Berdasarkan
gambar di atas siswa dapat menentukan nilai peluang kejadian sisi putih atau
sisi hitam panggalan tersebut akan
berhenti ketika diputar. Percobaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
percobaan acak sehingga bentuk modifikasi demikian dapat membantu siswa dalam
memahami konsep peluang.
c.
Bermain
kartu wayang
Bermain kartu wayang adalah salah satu cara untuk menumbuhkan rasa
hormat satu sama lain, mengikuti aturan, dan menjadi orang yang rajin. Di
Indramayu, anak-anak sering bermain permainan ini. Kartu
wayang yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Gambar 2.6 Kartu Wayang
d.
Membuat
kue cimplo
Masyarakat Indramayu melakukan tradisi membuat kue cimplo di bulan bala
(shafar). Di bulan bala, kue cimplo diberikan kepada tetangga dan sanak saudara
sebagai cara yang dianggap dapat mencegah bala atau bahaya. Membuat kue cimplo
adalah tindakan penting untuk menunjukkan kasih sayang dan kepedulian satu sama
lain. Ada kemungkinan untuk mengaitkan bentuk cerita dengan pokok bahasan kue
cimplo. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan memberikan beberapa
informasi matematis yang mengarah pada ide percobaan acak, misalnya tentang
mengambil cimplo pertama dalam cetakan setelah diberi label penomoran, seperti
gambar berikut.
Gambar
2.7 Cetakan Cimplo yang Diberi Label
e.
Tradisi
ngarot
Di Desa Lelea, Indramayu, ada tradisi ngarot. Tradisi ngarot adalah cara
untuk menunjukkan rasa syukur atas kedatangan musim tanam. Dalam menyambut
musim tanam, masyarakat Lelea menggunakan Ngarot untuk menunjukkan rasa syukur
mereka. Karena dianggap keramat, upacara adat ngarot selalu dilakukan pada
minggu ketiga bulan Desember dan selalu dilakukan pada hari Rabu.
Hanya pemuda-pemudi yang masih perawan dan perjaka yang mengikuti
tradisi ini. Menurut buku sejarah Desa Lelea, tradisi ngarot dimaksudkan untuk
mengumpulkan para pemuda yang akan dipekerjakan untuk bertani. Intinya adalah
para pemuda akan bekerja sama dan mengolah sawah secara kolektif. Tujuan dari
tradisi ngarot adalah untuk menciptakan pergaulan yang sehat di mana
orang-orang mengenal satu sama lain dan mengubah sikap, keinginan, dan tingkah
laku mereka sesuai dengan norma budaya. Tradisi ini melakukan kegiatan penting,
yaitu penyerahan kepada para kasinoman. Proses penyerahan mencakup:
a.
Dimaksudkan
untuk menanam dan menyebarkan benih, kuwu, atau kepala desa, menyerahkan kendi
berisi air putih.
b.
Sebagai simbol
pengairan, ibu kuwu istri kepala desa menyerahkan kendi berisi air putih.
c.
Tetua desa
memberikan pupuk untuk memastikan tanaman tetap subur.
d.
Raksa bumi
memberikan alat pertanian, yang berarti mengolah tanah dengan baik.
e.
Lebe, seorang
tokoh agama di Indramayu, meminta sepotong bambu kuning, daun androing, dan
daun pisang untuk ditanam di sawah agar tanaman padi tidak diserang hama.
Penyerahan dalam tradisi ini dapat berkembang
dalam sebuah cerita, memberikan peluang pembelajaran. Percobaan acak seperti
melempar dadu, koin, dan undian langsung adalah beberapa contoh percobaan yang
dapat digunakan untuk memilih anggota kasino untuk melakukan proses penyerahan.
Ini adalah salah satu jenis pengembangan yang dapat dilakukan untuk membangun
pembalajaran peluang dalam konteks tradisi ngarot.
f.
Pedati Gede Pekalangan
Cirebon adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak
peninggalan budaya. Cirebon memiliki banyak artefak yang masih tersisa, seperti
bangunan keraton, alat transportasi, alat musik, dan perlengkapan penting dari
masanya. Beberapa museum dan situs arkeologi di kota ini masih menyimpannya
dengan baik. Pedati Gede, salah satu alat transportasi tradisional di Cirebon,
adalah salah satu artefak yang menarik untuk diteliti. Alat transportasi
konvensional biasanya dibuat dengan bahan baku dari sumber alam dan digerakkan
oleh manusia atau hewan (Suranny, 2016). Penemuan Pedati Gede Pekalangan
ditemukan di Pekalangan Selatan, Cirebon.
Gambar 1.1 Pedati
Gede Pekalangan Cirebon (Sumber
Gambar
1 menunjukkan bahwa struktur pedati besar memiliki bentuk datar dan ukuran
unik. Pedati Gede Pekalangan dirancang oleh Pangeran Walangsungsang, atau
Pangeran Cakrabuana, menurut cerita rakyat masyarakat Cirebon (Zulfah, 2018).
Dibandingkan dengan mewarisi tahta Kerajaan Pakuan Padjajaran yang bercorak
Hindu-Budha, Pangeran Walangsungsang lebih memilih menyebarkan Islam sebagai
agama baru (Ma'mun et al., 2018). Pangeran Walangsungsang menggunakan Pedati
Gede Cirebon sebagai alat transportasi untuk mengangkut syiar agama islam ke
pelosok desa.
Ketika
Pangeran Walangsungsang datang untuk berdakwah, Pedati Gede dibuat cukup besar
untuk menarik perhatian. Alat transportasi ini juga berguna untuk membawa bahan
dan perlengkapan penting selama perjalanan. Pedati ini memiliki banyak sumbu
roda yang rapat untuk menahan sasis agar tidak patah dan membawa banyak barang
(Nansha et al., 2020, 2021). Untuk kondisi jalan saat ini di Indonesia, muatan
sumbu terberat (MST) kendaraan angkutan berkisar antara 10 dan 12 ton (Bahri,
2011). Untuk membangun Pedati Gede Cirebon ini, perhitungan matematika harus
dilakukan, termasuk mengukur sudut, panjang, dan beratnya.
Gambar 1.2 Ukuran
Pedati Gede Cirebon (sumber:
Berdasarkan gambar 2, terlihat bagaimana keteraturan
pengukuran dan pola-pola pengukuran pada konstruksi Pedati Gede Cirebon hasil
penelitian dari
3. Pembelajaran
Komputasional
Penelitian
komputasi (CT) merujuk pada konsep dan gagasan utama dalam bidang ilmu komputer
dan informatika (Bocconi et al., 2016). Pada tahun 2006, Wing menciptakan
istilah "pemikiran komputasi", yang mencakup kemampuan untuk
memecahkan masalah, mendesain sistem, dan memahami perilaku manusia. Dia
memasukkan konsep dasar ke dalam computer science. Menurutnya, pemikiran
komputer terdiri dari berbagai alat mental, yang menunjukkan luasnya bidang
komputer ilmu. Computational thinking adalah proses berpikir yang diperlukan
untuk memformulasikan masalah dan solusinya, sehingga solusi tersebut dapat
menjadi alat pemrosesan informasi yang efektif (Wing, 2010). Computational
thinking memungkinkan kita memahami masalah yang kompleks dan mengembangkan
solusi yang mungkin, menurut materi pembelajaran online BBC Bitesize (n.d.).
Selanjutnya,
masalah dan solusi tersebut dapat disajikan dengan cara yang dapat dipahami
oleh salah satu dari dua makhluk—komputer atau manusia. Berdasarkan materi
pembelajaran, kecerdasan komputasi mencakup dekomposisi, abstraksi, berpikir
dan merumuskan algoritma, serta pembentukan pola solusi untuk masalah tertentu.
Kemampuan berpikir komputasi adalah kemampuan yang harus dilatih dan merupakan
pengetahuan dasar untuk menyelesaikan masalah tingkat tinggi yang dibutuhkan
manusia di abad ke-21. Salah satu kemampuan matematika yang paling penting
harus diasah sejak usia dini. Ini karena selama era informasi, era industri
4.0, atau masyarakat 5.0, orang hidup di dunia nyata sekaligus di dunia digital
yang dikelilingi oleh Internet of Things (IoT), Big Data, dan AI. Computational
thinking berarti menyelesaikan masalah dengan menentukan akar masalah dan
solusinya, lalu mempertimbangkan apakah menggunakan komputer akan menjadi
solusi yang lebih efektif. Computational thinking adalah metode penyelesaian
masalah yang memiliki ciri-ciri berikut (CSTA & ISTE, 2009, seperti yang
dikutip oleh Bocconi et al., 2016):
a. Merumuskan
masalah yang dapat membuat seseorang menggunakan komputer dan alat lain untuk
membantu mencari solusinya
b. Mengatur
dan menganalisis data dengan logika
c. Menggambarkan
data dengan abstraksi seperti model dan simulasi
d. Mengotomatisasi
solusi melalui pemikiran algoritmik (serangkaian langkah-langkah)
e. mengidentifikasi,
menganalisis, dan menerapkan semua solusi yang mungkin untuk menggunakan sumber
daya secara optimal.
f.
Menggeneralisasi dan
mentransfer proses pemecahan masalah ke berbagai jenis masalah
Sebagai
manusia, kita yang memutuskan seberapa cepat komputer menyelesaikan tugas-tugas
tertentu daripada manusia. Dalam kenyataannya, berpikir komputasi terdiri dari
banyak kemampuan. Google for Education berbicara tentang pendekatan komputasi
berpikir. Google for Education terdiri dari empat tahap dasar: dekomposisi,
pengenalan pola, abstraksi, dan perancangan algoritma (Kidd, Lonnie R., &
Morris, Jr., 2017). Keempat langkah utama tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut (BBC Bitesize, dll.).
1) Abstraksi
adalah proses yang memprioritaskan informasi penting dan mengabaikan detail
lainnya.
2) Algoritma
membuat solusi atau prosedur yang harus diikuti untuk menyelesaikan masalah.
3) Dekomposisi
adalah proses membagi masalah atau sistem yang kompleks menjadi bagian yang
lebih kecil yang lebih mudah diurus.
4) Pengenalan
pola berarti mencari hubungan antara masalah dan satu sama lain.
Keempat
hal tersebut tidak berada dalam urutan yang tepat dan tidak perlu memiliki
semua dari mereka. Sikap berikut meningkatkan kecerdasan komputer (Tim
Olimpiade Komputer Indonesia, 2018).
a) Menangani
dan mengelola kompleksitas dengan keyakinan dan keyakinan.
b) Berusaha
keras dan tekun untuk menyelesaikan masalah yang sulit.
c) Bertoleransi
terhadap keraguan.
d) Kemampuan
untuk menangani masalah yang "terbuka”
e) Kemampuan
untuk berkomunikasi dan bekerja sama dalam tim untuk mencapai tujuan atau
solusi
Pada
negara maju, ilmu komputer, atau yang juga dikenal sebagai informatika,
diajarkan sejak usia dini. Kerangka kurikulum dirancang oleh persatuan
guru-guru, asosiasi profesi informatika, perusahaan terkemuka di bidang
informatika dan TIK, serta organisasi nirlaba yang peduli terhadap pentingnya
pendidikan informatika sejak usia dini. Lima bidang pengetahuan terdiri dari
kurikulum informatika: Sistem Komputer (CE), Jaringan Komputer (NW), Analisis
Data (DA), Algoritma dan Pemrograman (AP), dan Aspek Sosial dari Pemanfaatan
Informatika (SOC). Selain kalimat bidang pengetahuan tersebut, didefinisikan
juga teknik komputasi untuk mengemas pengetahuan dan mempraktikkannya, seperti
membangun budaya komputasi, membuat artefak, bekerja sama untuk membuat produk
TIK, menguji dan memperbaiki/menyempurnakan artefak TIK, menemukan dan
mendefinisikan masalah komputasi, berbicara tentang komputasi, dan
mengembangkan dan menggunakan abstraksi (Tim Olimpiade Komputer Indonesia,
2000).
Meskipun
tidak tepat, asumsi umum bahwa komputasi berpikir sama dengan coding adalah
salah. Coding adalah bahasa pemrograman yang digunakan komputer untuk
menyelesaikan tugas atau serangkaian instruksi, dan computational thinking
adalah proses pemecahan masalah di baliknya (Grover, 2018). Dalam konteks
kemampuan manusia, programming adalah kemampuan untuk memerintah komputer untuk
melakukan suatu hal, sedangkan computational thinking adalah proses berpikir
yang mendasari programming (Digital Promise, 2017). Orang-orang sering salah
memahami computational thinking. Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang
terkait dengan pemahaman komputasi berpikir.
a. Computational
thinking adalah konsep, bukan keterampilan programming.
b. Berpikir
komputasi adalah inti dari berpikir, bukan menghafal. Computational thinking
bukanlah semua soal yang dapat diingat dan dijawab ulang.
c. Berpikir
komputasi adalah cara manusia berpikir, bukan komputer. Cara berpikir manusia
berbeda dengan cara berpikir komputer karena cara berpikir manusia lebih
abstrak dan sangat detail.
d. Matematika
dan logika teknik digabungkan dalam logika komputasi.
e. Secara
alami, komputer science mengacu pada engineering thinking.
f.
Computational thinking
adalah konsep.
4. Kajian
Trajectory Learning Hypotetical (HLT)
Simon
(1995) pertama kali menggunakan hipotetis learning trajectory untuk menunjukkan
bagaimana guru membuat desain pembelajaran. Menurut Simon (1995), alur belajar
hipotetis memberi guru alasan untuk memilih desain instruksional tertentu. Ini
memungkinkan guru untuk membuat keputusan berdasarkan bagaimana seseorang bisa
belajar, serta keputusan spontan yang dibuat berdasarkan pemikiran siswa.
Simon
menggunakan istilah "hypothetical" untuk menunjukkan bahwa jalur
belajar adalah sesuatu yang fleksibel, di mana guru dapat mengubah dan
mengadaptasi aspek perencanaan sesuai dengan pandangan guru tentang tingkat
pemahaman siswa dan pengamatan guru tentang bagaimana siswa melakukan tugas di
kelas. Proses belajar ini fleksibel karena cara berpikir dan kemampuan awal
setiap siswa berbeda. Siswa menggunakan lintasan belajar hipotetis yang
dirancang oleh guru ini untuk mencapai tujuan belajar mereka.
Tiga
komponen utama dari jalur pembelajaran, menurut Simon (1995): tujuan
pembelajaran (learning goals), kegiatan pembelajaran (learning activities), dan
hipotesis proses belajar siswa (hypothetical learning process). Clement dan
Sarama (2004) kemudian membuat tiga bagian ini: (1) tujuan pembelajaran
(learning goals); (2) perkembangan kemajuan pemikiran dan pembelajaran anak
(development progression of thinking and learning); dan (3) perangkat aktivitas
pembelajaran (squence of instructional tasks). Jalan belajar didasarkan pada
tingkat berpikir siswa, menurut ketiga bagian yang dikembangkan oleh Clement
dan Sarama.
Tujuan
pembelajaran adalah langkah pertama dalam membangun suatu jalur pembelajaran
hipotetis (HLT). Selanjutnya, alat kegiatan pembelajaran dirancang untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Penyususnan HLT bergantung pada apa yang guru
ketahui tentang matematika, apa yang mereka ketahui tentang aktivitas dan
representasi matematik, apa yang mereka pikir siswa ketahui, teori yang
digunakan guru dalam pengajaran dan pembelajaran matematika, dan apa yang
mereka ketahui tentang apa yang mereka pelajaran siswa. Oleh karena itu, Simon
dan Tzur (2004) menyarankan empat prinsip yang harus diperhatikan untuk mengonstruksi
learning trajectory yang telah disebutkan di atas.
a. HLT
dibangun berdasarkan pemahaman matematis siswa saat ini.
b. HLT
adalah sarana untuk mengatur pembelajaran matematika.
c. Proses
pengajaran matematika sangat bergantung pada tugas atau lembar kerja yang
digunakan untuk mendorong siswa untuk belajar matematika.
d. Jika
elemen HLT tidak sesuai dengan proses belajar siswa, guru harus mengubahnya.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu jalur pembelajaran dapat
dibuat untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran berdasarkan tantangan
pembelajaran yang mereka hadapi. Trajektori belajar juga dapat membantu guru
belajar mengikuti dan memahami cara siswa berpikir matematis. Ini bahkan dapat
digunakan sebagai alat untuk membantu guru membuat kurikulum baru (Empson,
2011; Wilson, 2013). Oleh karena itu, selain situasi didaktis, ada banyak hal
yang harus diperhatikan saat membuat desain didaktis. Menurut Clements &
Sarama (2009), alur belajar atau tahapan belajar yang relevan bagi siswa adalah
hal lain yang penting dalam studi materi ajar.
5. Teori
tekanan kognitif (CLT)
John
Sweller pertama kali mengembangkan istilah "beban kognitif" pada
tahun 1980-an. Sweller menyatakan bahwa teori tekanan kognitif terkait dengan
masalah dalam proses pemecahan masalah dan belajar. Ini berkaitan dengan
keterbatasan memori kerja untuk menerima informasi baru (Sweller, 2011).
Menurut Mukti (2017), pendekatan instruksional teori cognitive load didasarkan
pada apa yang kita ketahui tentang struktur kognitif manusia. Struktur ini
termasuk pembatasan memori kerja, pengaturan informasi dalam memori jangka
panjang, dan interaksi antara sistem memori individu. Menurut Sweller (dalam
Lesmana Sari et al., 2020), memori kerja orang memiliki kapasitas yang
terbatas, yang berarti mereka tidak dapat menangani sejumlah besar data
sekaligus. Ini karena memori kerja hanya dapat menerima sejumlah elemen.
Peserta didik akan kesulitan memproses informasi selama proses pembelajaran
jika mereka menerima terlalu banyak informasi. Ini disebut cognitive load. Paas
(1994) menggambarkan beban kognitif sebagai konsekuensi dari proses di dalam
otak siswa (sistem kognitif siswa) untuk menyelesaikan tugas tertentu lebih
dari kapasitas memori kerja mereka untuk menyerap informasi baru. Menurut De
Jong (2010), cognitive load terjadi ketika kapasitas memori kerja seseorang
terlalu besar, yang menghambat proses pembelajaran. Kurang kapasitas memori
kerja siswa dalam menerima dan mengolah informasi baru dikenal sebagai tekanan
kognitif (Lesmana Sari et al., 2020).
Semua
orang memiliki kemampuan untuk menerima informasi. Ini karena, menurut Fraser
et al. (2015), keterbatasan memori kerja yang dimiliki setiap orang terkait
dengan waktu ketika mereka menerima informasi baru. Memori kerja adalah tempat
sebagian besar proses kognitif aktif (Ormrod, 2009). “Proses kognitif adalah
aktivitas di dalam pikiran siswa yang mencakup menerima, mengolah, menyimpan,
dan memanggil kembali informasi dari ingatan ketika dibutuhkan” (Fajriati &
Wijayanti, 2018). Materi pelajaran tentang proses kognitif memerlukan pemahaman
tentang sistem pengolahan kognitif, yang terdiri dari memori jangka pendek dan
jangka panjang.
Memori
jangka pendek dapat memproses data visual dan auditori (Nurwanda et al., 2020).
Memori jangka pendek tidak dapat memproses banyak data karena mereka tidak
bertahan lama. Memori jangka panjang dapat dikodekan dalam berbagai bentuk
untuk menyimpan informasi dalam kapasitas besar dan permanen (Wallace &
Klatzky, 1980). Skema kognitif akan terdiri dari memori jangka panjang dan
jangka pendek. Menurut Sweller (1994), skema adalah jenis struktur yang terdiri
dari materi ingatan lama yang disusun dengan cara yang kompleks. Informasi yang
digunakan siswa untuk menganalisis dan menyelesaikan sistem disimpan dalam
skema kognitif (Nurwanda et al., 2020). Sweller (2011) mengusulkan teori
cognitive load, yang membaginya menjadi tiga bagian:
a) Sweller
(1994) menyelidiki intrinsic cognitive load (ICL), yang berkaitan dengan
tingkat kompleksitas informasi atau materi. Dalam proses pembelajaran, beban
ini dikaitkan dengan cara proses menerima mengolah informasi yang diterima. Ini
terkait dengan memori kerja individu. Menurut Artino (2008), ada dua faktor
yang memengaruhi tekanan kognitif intrinsik dalam pembelajaran: elemen
interaktivitas dan elemen terpisah/berinteraksi. Elemen yang terpisah atau
berinteraksi berkaitan dengan kompleksitas atau kerumitan materi, sedangkan
elemen yang berinteraksi berkaitan dengan jumlahnya topik materi yang
berhubungan. Kedua komponen ini berdampak pada jumlah beban kognitif internal
siswa dalam aktivitas pembelajaran. Menurut Lin dan Lin (dalam Yohanes et al.,
2016), elemen yang harus diproses secara bersamaan menyebabkan tekanan kognitif
intrinsik dalam pembelajaran. Menurut Plass & Kalyuga (2019), interaksi
antara komponen informasi penting yang digunakan untuk memahami materi
menentukan beban kognitif intrinsik.
b) Beban
kognitif ekstrakurikuler (ECL) adalah beban yang disebabkan oleh informasi atau
desain pada pembelajaran. Pembelajaran yang kurang baik menyebabkan beban
ekstrinsik yang tinggi, yang merupakan kondisi yang tidak baik untuk belajar
(Sweller, 2010). Leppink (2014) menyatakan bahwa metode pembelajaran yang tidak
efektif menyebabkan beban ekstrinsik. Metode ini mengharuskan siswa berpartisipasi
dalam proses kognitif yang tidak berkontribusi langsung pada konstruksi
kognitif.
c) Tekanan
kognitif Jerman (GCL) adalah tekanan kognitif yang berkaitan dengan
interaktivitas elemen yang disebabkan oleh upaya untuk memahami materi selama
proses pembelajaran. Cognitive load germane hanya terkait dengan karakteristik
siswa; itu mencakup sumber daya memori kerja siswa (Sweller, 2010). Germane
adalah bagian dari tugas yang menjadi beban intrinsik dan terkait dengan
pembuatan tugas. Tugas ini sulit bagi siswa, tetapi menantang dan mendorong
mereka untuk belajar (Reedy, 2015). Sehubungan dengan pernyataan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa cognitive load adalah keterbatasan memori kerja. Tugas
kognitif memengaruhi cognitive load; semakin kompleks tugas kognitif, semakin
banyak memori kerja yang dibutuhkan.
6. Hambatan
Belajar
Di
sini, diskusi pertama dimulai dengan Hercovics (1989) menjelaskan bahwa
hambatan epistemologis menghambat pertumbuhan pengetahuan ilmiah seseorang. Ini
berarti bahwa skemata konseptual individu mengalami hambatan kognitif. Hambatan
didaktis dan ontogenis terkait dengan hambatan epistemologis. Namun, menurut
Theory of Didactical Situations (TDS) yang ditulis oleh Brousseau pada tahun
2002, ada banyak faktor yang memengaruhi kesulitan pembelajaran. Menurutnya,
hambatan dalam proses belajar siswa dapat berasal dari faktor perkembangan
siswa yang disebut sebagai hambatan ontogenical, hambatan karena cara
pengetahuan dibentuk yang disebut sebagai hambatan epistemologis, dan hambatan
karena keputusan pembelajaran guru selama proses pembelajaran yang disebut
sebagai hambatan didactic.
Gagasan
tersebut disebut sebagai hambatan belajar. Buku Theory of Didactical Situations
(TDS) mencakup salah satu konsep utama yang termasuk tantangan tersebut.
Menurut TDS, konstruksi pengetahuan adalah hasil dari interaksi siswa dan
situasi-masalah (milieu). Ini adalah interaksi dialektik di mana siswa
menggunakan, mengubah, melengkapi, atau menolak pengetahuan baru. Oleh karena
itu, pengetahuan siswa diperoleh melalui perubahan cara mereka berpikir ke
lingkungan. Adaptasi terhadap pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya menyebabkan kesalahan yang dilakukan siswa. Menurut
Kerangka Berpikir Hindernis Pembelajaran, tantangan yang dihadapi siswa berasal
dari sistem, yaitu sistem guru-siswa-sistem pengetahuan.
Brousseau
(2002) membagi hambatan belajar menjadi tiga kategori: epistemologi, didaktis,
dan ontogenik.
a. Hambatan
epistemologi (Epistemologi Obstacle)
Brousseau mendefinisikan hambatan epistemologi sebagai
pengetahuan yang berguna dalam konteks tertentu tetapi tidak digunakan dengan
benar dalam konteks lain. Selain itu, informasi ini menyebabkan kontradiksi.
Kesalahan yang disebabkan oleh hambatan epistemologis tidak disebabkan oleh
ketidaktahuan atau kebodohan, tetapi oleh ketidakberaturan dan sesuatu yang
tidak terduga. Namun, itu merupakan hasil dari penggunaan pengetahuan
sebelumnya yang, meskipun memiliki bukti yang menarik dan berhasil, tidak dapat
digunakan atau disesuaikan dalam situasi lain. Oleh karena itu, Brousseau
menawarkan metode untuk mengidentifikasi hambatan epistemologis, yaitu:
1. Temukan
kekeliruan berulang, lalu tunjukkan bahwa kekeliruan tersebut terkait dengan
pemahaman konsep;
2. Cari
kesulitan dalam sejarah matematika;
3. Tentukan
karakteristik dan karakteristik epistemologis dari hambatan historis dan
pembelajaran.
b. Hambatan
didaktis ( Didactical Obstacle)
Hambatan didaktis adalah hambatan belajar siswa yang
terjadi karena kekeliruan penyajian; desain didaktis yang digunakan siswa dalam
belajar dapat menyebabkan mereka tidak memahami apa yang mereka pelajari.
Didaktik kesulitan muncul karena ketergantungan pada satu pendekatan
pembelajaran guru.
c. Hambatan
ontogenik ( Ontogenical Obstacles)
Siswa
menghadapi tantangan belajar yang disebabkan oleh kesiapan mental mereka
(misalnya, tingkat berpikir mereka yang belum memenuhi karena faktor usia),
yang dikenal sebagai tantangan ontogenik. Pengetahuan siswa berkembang sesuai
dengan kemampuan dan tujuan perkembangan usianya. Dalam kasus di mana
perkembangan pengetahuan berkorelasi dengan perkembangan genetik siswa,
perkembangan genetik menunjukkan tingkatan dan makna perkembangan.
Cornu
(dalam Moru, 2006) membagi hambatan pembelajaran menjadi tiga jenis: hambatan
genetik dan psikologis, hambatan didactic, dan hambatan epistemolgical. Cornu
menjelaskan bahwa ketika siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran,
mereka mengalami hambatan kognitif. Menurutnya, tantangan kognitif berasal dari
pengalaman siswa sebelumnya dan proses internal yang berkaitan dengan
pengalaman tersebut, dan digunakan ketika siswa menghadapi masalah dalam proses
pembalajaran. Proses perkembangan personal siswa menyebabkan tantangan genetik
dan mental. Sementara hambatan pendidikan berasal dari sifat guru dan
pengajaran itu sendiri, hambatan epistemologis berasal dari sifat konsep
matematika itu sendiri, tanpa memperhatikan pendekatan pengajaran.
Kesalahan
dan kesulitan yang dialami siswa dalam memahami konsep matematika adalah contoh
hambatan belajar. Kesalahan matematika yang dibuat siswa dapat menunjukkan
kesulitan belajar. Setuju dengan Brousseau (2002), tantangan belajar ditandai
oleh siswa membuat kesalahan dalam menanggapi tugas dan pertanyaan yang
diberikan. Moru (2007) membahas ciri-ciri hambatan sebagai sumber kesalahan.
Abi, A. M. (2017). Integrasi
etnomatematika dalam kurikulum matematika sekolah. JPMI (Jurnal Pendidikan
Matematika Indonesia), 1(1), 1–6.
Aminah, M., Kusumah, Y. S., Suryadi,
D., & Sumarmo, U. (2018). The Effect of Metacognitive Teaching and
Mathematical Prior Knowledge on Mathematical Logical Thinking Ability and
Self-Regulated Learning. International Journal of Instruction, 11(3),
45–62.
Anggara, B. (2019). Desain
Pembelajaran Matematika pada Konsep Dasar Peluang Berbasis Kearifan Lokal
Indramayu. JNPM (Jurnal Nasional Pendidikan Matematika), 3(2),
223–237.Aisyah,
M., Sumintono, B., & Ismail, Z., (2014). Pemahaman Siswa pada Pokok Bahasan
Peluang: Studi Kasus di Satu Sekolah di Johor Bahru Malaysia. Jurnal Pengajaran MIPA, 19(1). 19 – 18.
Arifin. (2011). Evaluasi
Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S. (2011). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi
Aksara.
Arter,
J. (2001). Scoring Rubrics in The
Classroom: Using Performance Criteria for Assesing and Improving Student
Performance. London: Corwing Press, Inc.
Athar, G. A. (2012). Pengembangan
pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR)
berbasis budaya cerita rakyat melayu riau pada kelas 3 sekolah dasar. Prosiding
Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika Universitas Negeri
Yogyakarta (Hlm. 2).
Azwar, S. (1995). Sikap
Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar,
S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bahri, S. (2011). Identifikasi jenis
dan berat kendaraan melalui jembatan timbang. Inersia: Jurnal Teknik Sipil,
2(2), 1–5.
Barton, B. (2007). Making sense of
ethnomathematics: Ethnomathematics is making sense. In Stepping stones for
the 21st century (pp. 225–255). Brill.
Batanero,
C., Henry, dan Parzysz. (2005). The
Nature of Chance and Probability. In Graham, A. Jones (eds), Exploring
Probability in School: Chalenges for teaching and learning, 241 - 266.
Batanero, C., Godino, J. D., Vallecillos, A., Green,
D. R. & Holmes, P. (2001) . Errors and Difficulties in
Understanding Elementary Statistical Concepts. International Journal of Mathematics Education in Science and Technology, 25(4), 527-547.
Batanero,
C., & Sanchez, E. (2005). What Is
The Nature of High School Students Conceptions and Misconceptions about
Probability. In Graham, A. Jones (ed), Exploring Probability in School:
Chalenges for teaching and learning, 241 - 266.
Bishop,
A.J. (1988). The interactions of Mathematics Education with Culture. Cultural Dynamics; 1; 145 DOI;
10.1177/092137408800100202
Borovcnik, M. (2012). Multiple Perspectives on The
Concept of Conditional Probability. Avances de Investigación en Educación Matemática, 2. 5-27.
Borovcnik,
M., & Kapadia, R. (2010). Research
and Developments in Probability Education Internationally. In Joubert, M. and
Andrews, P. (Eds.) Proceedings of the
British Congress for Mathematics Education.
Brousseau,
G. (2002). Theory of Didactical Situation
in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Castro,
C. S., (1998) Teaching Probability for Conceptual Change. Educational
Studies in Mathematics, 35, 233–254.
Clements,
D. H. and Sarama, J. (2004). Learning Trajectories in mathematics Education. Mathematical Thinking and Learning 6
(2), 81-89.
Clements,
D. H. and Sarama, J. (2009). Learning and
Teaching Early Math: The Learning Trajectories Approach. New York:
Routledge.
Creswell,
J. (2014). Research Design Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
d’Ambrosio, U. (2001). In My
Opinion: What Is Ethnomathematics, and How Can It Help Children in Schools? Teaching
Children Mathematics, 7(6), 308–310.
Faqih, A.,
Nurdiawan, O., & Setiawan, A. (2021). Pengembangan Media pembelajaran
Multimedia Interaktif Alat Masak Tradisional Berbasis Etnomatematika. Mosharafa:
Jurnal Pendidikan Matematika, 10(2), 301–310.
Gazali, R.
Y. (2016). Pengembangan bahan ajar matematika untuk siswa SMP berdasarkan teori
belajar ausubel. Pythagoras, 11(1), 183.
Gerdes, P.
(1994). Reflections on ethnomathematics. For the Learning of Mathematics,
14(2), 19–22.
Dayat,
& Limbong. (2007). Analisis Kesulitan Belajar Peluang. Bandung. Makalah penelitian
di STKIP Siliwangi. Tidak Diterbitkan.
Dewantara,
H. (1977). Pendidikan. Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman siswa.
Empson,
B. S. (2011). On The Idea of Learning Trajectory: Promises And Pritfalls. The Mathematics Anthusiast, ISSN
1551-3440, 8 (3).
Endraswara,
S. (2015). Etnologi Jawa: Penelitian,
Perbandingan, dan Pemaknaan Budaya. Yogyakarta: Center for Academic
Publishing Service.
Faqih, A., Nurdiawan, O., &
Setiawan, A. (2021). Pengembangan Media pembelajaran Multimedia Interaktif Alat
Masak Tradisional Berbasis Etnomatematika. Mosharafa: Jurnal Pendidikan
Matematika, 10(2), 301–310.
Gazali, R. Y. (2016). Pengembangan
bahan ajar matematika untuk siswa SMP berdasarkan teori belajar ausubel. Pythagoras,
11(1), 183.
Garfield, J. & Ahlgren, A. (1988). Difficulties in
Learning Basic Concepts in Probability and Statistics: Implications for
Research. Journal for Research in Mathematics Education, 19, 44-63.
Garfield,
J., & Ahlgren, A. (1986).
Difficulties in Learning Probability and Statistics. Prosidding in
International Conference on Teaching Statistics 2.
Gerdes, P. (1994). Reflections on
ethnomathematics. For the Learning of Mathematics, 14(2), 19–22.
Giyantra,
R. (2015). Perbandingan Kemampuan
Representasi dan Pemecahan Masalah Matematika antara Siswa yang Mendapat
Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Siswa yang Mendapat Pembelajaran Penemuan
Terbimbing. Bandung. Tesis di jurusan pendidikan matematika UPI. Tidak
Diterbitkan.
Glencross,
M. J. (1998). Understanding of Chance and probability Concepts Among First Year
University Students. In L. Pereira-Mendoza, L. S. Kea, T. W. Kee, & W. K.
Wong (Eds.), Proceedings of The Fifth International
Conference on Teaching Statistics (Vol. 3, pp. 1091-1095).
Gunawan,
& Wibowo, A. (2015). Pendidikan
Karakter Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Green, D. R. (1979). The Chance and Probability Concepts Project. Teaching
Statistics, 1(3), 66-71.
Hansen, R. S., McCann, J., & Myers, J. L. (1985).
Rote Versus Conceptual Emphases in Teaching Elementary Probability. Journal
for Research in Mathematics Education, 16, 364-374.
Hawkins,
A., Joliffe, E, & Glickman, L. (1992). Teaching Statistical Concepts.
London: Longman.
Hercovics,
N. (1989). Cognitive Obstacles Encountered in The Learning of Algebra. In S.
Wagner and C. Kieran (Eds)., Research
Issues in The Learning and Teaching of Algebra. Reston, V: Lawrence Erlbaum
for NCTM. (pp 60 - 86)
Heryanto,
N., & Gantini, T. (2011). Pengantar
Statistika Matematis. Bandung : Yrama Widya.
Husna,
M. (2009). 100+ Permainan Tradisional
Indonesia: untuk Kreativitas, Ketangkasan, dan Keakraban. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Irzani.
(2008). Pengembangan Tes Diagnostik Kesulitan Belajar Matematika di SMA.
Isnendes,
R. (2014). Estetika Sunda Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat
Sunda Tradisional dalam Sawangan Pendidikan Karakter. Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, 1(2).
Jauhari,
J. (2010). Mengenal Permainan Rakyat
Nusantara. Jakarta: Trans Mandiri Abadi.
Jones,
Graham. (2008). The Challenges of Teaching Probability in
School.
In Graham, A. Jones (eds), Exploring Probability in School: Chalenges for
Teaching and Learning.
Kapadia,
R. (1985). A Brief Survey of Research on Probabilistic Notions. In A. Bell, B.
Low, & J. Kilpatrick (Eds.), Theory, Research And Practice In
Mathematical Education (pp. 261-265).Nottingham, UK : Shell Centre for
Mathematical Education.
Kanginan,
M. (2014). Matematika untuk SMA-MA Kelas
XI Kelompok Wajib Semester 2. Bandung: Graffindo.
Kansanen,
P. (2003). Studying The Realistic Bridge Between Instruction and Learning. An
Attempt to a Conceptual Whole of the Teaching-Studying-Learning Process. Educational Studies, 29(2/3), 221-232.
Kasim,
S. (2012). Budaya Dermayu: Nilai-nilai
Historis, Estetis dan Transendental. Yogyakarta: Gapura Publishing.
Kemendikbud.
(2013). Kurikulum 2013.
Kemendikbud.
(2016). Kurikulum 2016.
Khatimah, H., Mania, S., Majid, A.
F., & Yuliany, N. (2022). Pengembangan Modul Pembelajaran Matematika
Berbasis Etnomatematika (Tradisi Budaya Bugis). Alauddin Journal of
Mathematics Education, 4(2), 161–171.
Lampiran Undang-undang No 20
tahun 2003
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 2007 Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Larsen,
R. J., & Marx, M. L,. (2012). An
Introduction to Mathematical Statistics and Its Applications: Fifth Edition.
Library of Congress
Cataloging-in-Publication Data
Li,
J., & Mendoza, L.P. (2002).
Misconceptions in Probability. Prosidding in International Conference on
Teaching Statistics 6.
Ma’mun, Titin Nurhayati, & R.
Achmad Opan. (2018). Cariyos Walangsungsang. Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
Manno,
G. (2005). Embodiment and A-didactical
Situation in The Teaching-Learning of The Perpendicular Straigh Lines Concept.
Palermo. Thesis of Doctoral.
Moleong,
L. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Rosda Karya.
Moru,
E.K. (2006). Epistemological Obstacles in
Coming to Understand the Limit Concept at Undergraduate Level: A Case of the
National University of Lesotho. Lesotho. Thesis of Doctoral.
Moru,
E.K. (2007). Talking with the Literature
on Epistemological Obstacles For the Learning of Mathematics. Canada. FLM
Publishing Association.
Mulyana,
E. (2010). Kapita Selekta Matematika I.
Bandung: Pendidikan Matematika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.
Nansha, H., Sachari, A., &
Sabana, S. (2020). Symbolic Meaning of Pedati Gede Pekalangan Cirebon. IICACS:
International and Interdisciplinary Conference on Arts Creation and Studies,
2, 1–9.
Nansha, H., Sachari, A., Sabana, S.,
& Pasaribu, Y. M. (2021). Hubungan Antara Riwayat Pedati Gede Pekalangan
dengan Sejarah Tokoh Pangeran Walangsungsang. PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian
Dan Pengembangan Arkeologi, 10(2), 167–182.
Neill,
A. (2000). An Introduction to the
Assesment Reseource Banks (Arbs) and their Diagnostic Potential. Paper
presented at Technology in Mathematics Education (TIME 2000)
Paul,
M., & Hlanganipai, N. (2014). The
Nature of Misconceptions and Cognitive Obstacles Faced by Secondary School
Mathematics Students in Understanding Probability: A Case Study of Selected
Polokwane Secondary Schools. Mediterranean
Journal of Social Sciences: MCSER
Publishing, Rome-Italy, 5(8) 446 –
455.
Rachmawati,
I. (2012). Eksplorasi Etnomatematika
Masyarakat Sidoarjo. Jurnal pendidikan matematika Universitas Negeri
Surabaya.
Rosa, M., D’Ambrosio, U., Orey, D.
C., Shirley, L., Alangui, W. v, Palhares, P., & Gavarrete, M. E. (2016). Current
and future perspectives of ethnomathematics as a program. Springer Nature.
Rosidi,
A. (2011). Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat Buku
Utama.
Ruseffendi,
E. T. (1984). Pengantar kepada Membantu
Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito
Ruseffendi,
E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu
Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito
Ruthven,
K., dkk. (2009). Design Tools in Didactical Research: Instrumenting The
Epistemological an Cognitive Aspects of The Design on Teaching Sequences. Educational Researcher, 38(5), pp. 329-342.
Saputri,
M.E. (2015). Pengaruh Pembelajaran Peer
Lesson terhadap Kecemasan Matematika dan Peningkatan Kemampuan Pemecahan
Masalah serta Representasi Matematis Siswa SMA. Bandung. Tesis di jurusan
pendidikan matematika UPI. Tidak Diterbitkan.
Shao,
X. (2015). An Analysis of Difficulties in
Learning Probability in High School. Philippines. 7th ICMI-East Asia
Regional Conference on Mathematics education.
Simon,
M. (1995). Reconstructing Mathematics Pedagogy From A Constructivist
Perspective. Journal For Research In
Mathematics Eduacation 26(2). 144-145.
Simon,
M. Dan Tzur, R. (2004). Explicating The Role of Tasks in Conceptual Learning:
An elaboration of hypothetical learning trajectory. Mathematical Thinking And Learning. 6(2), 91-104.
Sina,
I. (2011). Implementasi Model Pembelajaran Role Playing Didasari Analisis SWOT
Pada Materi Peluang: Penelitian Tindakan Kelas Pada Kelas XI SMA N 1 Wanasari. Jurnal Cakrawala, 6(10), 1 – 9.
Sinaga,
et. al. (2014). Matematika untuk SMA/MA
Kelas X Semester 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Sinaga,
et. al. (2014). Matematika untuk SMA/MA
Kelas XI Semester 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Steinbring, H. (1991). The Theoretical Nature of
Probability in The Classroom. In R.Kapadia & M. Borovcnik (Eds.), Chance Encounters: Probability in Education (pp. 135-1 68). Amsterdam, The Netherlands: Kluwer.
Sucipto, T. (2010). Eksistensi
Keraton di Cirebon Kajian Persepsi Masyarakat Terhadap Keraton-Keraton di
Cirebon. Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research, 2(3),
472–489.
Suherman,
E. (2003). Evaluasi Pembelajaran
Matematika. Bandung: FPMIPA UPI.
Suherman,
E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Sugiyono.
(2013). Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Sukino.
(2014). Matematika untuk SMA/MA Kelas XI
Kelompok Wajib Semester 2. Jakarta: Erlangga.
Suranny, L. E. (2016). Moda
Transportasi Tradisional Jawa (Traditional Transportation Equipment in Java). Jurnal
Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat, 8(2), 217–231.
Suryadi,
D. (2010). Menciptakan Proses Belajar
Aktif: Kajian dari Sudut Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Makalah
disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNP.
Suryadi,
D. (2010). Metapedadidaktik dan
Didactical Design Reasearch (DDR): Sintesis Hasil Pemikiran Berdasarkan Lesson
Study. Dalam T. Hidayat, I.Kaniawati,
I. Suwarma, A. Setiabudi, and Suhendra (Eds): Teori, paradigma, prinsip dan pendekatan pembelajaran MIPA dalam
konteks Indonesia. Bandung: FPMIPA UPI.
Suryadi,
D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam
Bepikir Matematika. Bandung: Rizqi Press.
Suryadi,
D. (2013). Didactical Design Research
(DDR) dalam pengembangan Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung.
Suryadi,
D. (2014). Sinergi untuk Kemandirian Pendidik. Dalam D. Suryadi, dan T.Suratno
(Eds.), Kisah Pendidik Reflektif dan
Profesional Pembelajaran. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.
Suryadi,
D. (2016). Didactical Design Research (DDR) : Upaya Membangun Kemandirian
Berpikir melalui Penelitian Pembelajaran. Dalam D. Suryadi, E.Mulyana,
T.Suratno, D.A.K Dewi, dan S.Y.Maudy (Eds.), Monograf Didactical Design Reserach. Bandung: Rizqi Press.
Susilawati, W., Suryadi, D., &
Dahlan, J. A. (2017). The improvement of mathematical spatial visualization
ability of student through cognitive conflict. International Electronic
Journal of Mathematics Education, 12(2), 155–166.
Turmudi, T., Juandi, D., &
Sugilar, H. (2018). Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan
masalah matematis siswa madrasah aliyah. Jurnal Analisa, 4(1),
33–42.
Tilaar H.A.R (2013). Perubahan Sosial dan
Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif
Untuk Indonesia. Jakarta: Rineka cipta.
Turmudi.
(2009). Landasan Filsafat dan Teoritis
Pembelajaran Matematika Berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta:
Leuseur Cita Pustaka.
Turmudi. (2010). Pembelajaran Matematika Masa Kini dan Kecenderungan Masa Mendatang.
Bandung: JICA.
Wahyudin.
(2008). Pembelajaran dan Model-model
Pembelajaran: Pelengkap untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan
Calon Guru Profesional. Bandung: FPMIPA UPI.
Watson, J., & Collis, K. (1994). Multimodal
Functioning in Understanding Chance and Data Concepts. In J.P. da Ponte
& J.F. Matos (Eds.), Proceedings of the 18th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics
Education: 4,369-376. Lisbon, Portugal.
Wilson,
P. H., Mojica, G. F. Dan Confrey, J. 2013
Learning Trajectories In Teacher Education: Supporting Teachers’
Understandings Of Students’ Mathematical Thinking. Journal Of Mathematical Behavior 32. Hlm. 103-121.
Wulantina, E., & Maskar, S.
(2019). Pengembangan Bahan Ajar Matematika Berbasis Lampungnese Etnomatematics.
Development of Material Based on Lampungnese Etnomatematics, 9(9),
2.
Yani, A. (2011). Pengaruh Islam Terhadap
Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton Cirebon. Holistik, 12(1).
Yuniarti, T. (2014). Desain Didaktis Teori Peluang
SMA. Jurnal Pendidikan MIPA, 15(1).
Zayyadi, M. (2018). Eksplorasi
etnomatematika pada batik madura. Sigma, 2(2), 36–40.
Zulfah, S. (2018). Islamisasi di
Cirebon: Peran dan Pengaruh Walasungsang Perspektif Naskah Carios Walasungsang.
Tamaddun, 6(1), 172–201.
Comments
Post a Comment