PARADIGMA, TEORI, DAN MODEL-MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA

 

PARADIGMA, TEORI, DAN MODEL-MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA

 Oleh: Benny Anggara

Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta


Asumsi Sebagian pendidik bahwa teori dan praktik berbeda jauh, semua yang dipelajari Ketika perkuliahan seperti tidak berlaku dilapangan. Anggapan ini sangat menarik untuk dibahas dan diuraikan sehingga keyakinan Sebagian pendidik ini perlu mengalami perubahan dan pergeseran cara pandang. Paradigma baru tentang bagaimana efektivitas suatu pembelajaran dapat ditingkatkan melalui penerapan dan mengkhidmati teori-teori yang berkembang sehingga potensi dari seluruh peserta didik dapat digali secara maksimal. Stigma di atas juga berlaku dalam penerapan pembelajaran matematika di sekolah, hal ini yang menjadi salah satu pemicu beberapa kelemahan peserta didik dalam menguasai materi-materi pembelajaran matematika. Tulisan ini akan mengulas tentang bagaimana seharusnya kelas matematika dapat menyuguhkan hal yang menarik bagi peserta didik dan menjadi salah satu alternatif yang efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang berkembang. Tulisan ini akan membahas tentang paradigma dan teori Pendidikan matematika, kemudian membahas tentang model pembelajaran matematika.

LEBIH LENGKAP SILAHKAN DOWNLOAD DISINI 

1.      Paradigma Pendidikan Matematika

Paradigma tentang Pendidikan matematika dapat diawali dari sebuah hal menarik terutama pembahasan mengenai bagaimana paradigma Pembelajaran matematika kontemporer dan juga teori-teori belajar yang relevan dengan Pembelajaran matematika. Hal menarik adalah sajian pada aplikasi Cmaps yang menggambarkan tetang kedudukan beberapa teori belajar. Pernyataan kritis yang disampaikan oleh dosen pengampu, yakni Prof. Marsigit menyatakan bahwa:

Teori-teori belajar tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok teori saja

Penyataan tersebut merupakan pemantik untuk mengembangkan bagaimana penjelasan yang komprehensif terkait dengan teori belajar yang merupakan paradigma masa lampau dapat diterapkan pada kondisi saat ini. Selayang pandang berkaitan dengan penjelasan mengenai isi perkuliahan saat ini dijelaskan gambarannya seperti paragraph berikutnya.

Indonesia yang saat ini akan memasuki era Indonesia Emas 2045 menjadi sebuah tujuan dalam banyak aspek yang terus dilakukan. Matematika dapat menjadi gerbang dalam menyiapkan generasi emas tersebut. Tantangan Pembelajaran matematika saat ini menjadi suatu hal yang masih menjadi tolak ukur ketercapaian dan kesuksesan dalam mengajarkan konsep matematika. Pembelajaran berpusat pada guru adalah perkembangan penting dalam sistem pendidikan Indonesia yang kadang-kadang disebut sebagai ciri. Guru memberikan pelajaran melalui ceramah atau ekspositori. Siswa mencatat apa yang disampaikan oleh guru dan mengumpulkan catatan tersebut. Dalam proses pembelajaran ini, seorang guru dianggap berhasil jika dia dapat mengelola kelas dengan cara yang membuat siswa tertib dan tenang saat mengikuti pelajaran

Pembelajaran berpusat pada guru adalah perkembangan penting dalam sistem pendidikan Indonesia yang kadang-kadang disebut sebagai ciri. Guru memberikan pelajaran melalui ceramah atau ekspositori. Siswa mencatat apa yang disampaikan oleh guru dan mengumpulkan catatan tersebut. Dalam proses pembelajaran ini, seorang guru dianggap berhasil jika dia dapat mengelola kelas dengan cara yang membuat siswa tertib dan tenang saat mengikuti pelajaran

Selama ini, praktik pendidikan di sekolah telah menyimpang dari tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu menjadikan siswa sebagai individu yang memiliki kemampuan belajar untuk mencapai potensi mereka sendiri dan memperoleh pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan mereka sendiri. Praktik pendidikan seperti ini tidak mampu menjadikan siswa sebagai individu yang kuat dan berkepribadian karena menghindari lingkungan sekitar dan dunia kerja. Paradigma pendidikan baru menempatkan penekanan lebih besar pada siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam belajar. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada guru. Guru harus beralih dari peran mereka sebagai penguasa tertinggi dalam ilmu dan indoktriner ke peran fasilitator yang membantu siswa belajar secara mandiri. Dengan paradigma baru ini, diharapkan siswa menjadi aktif dalam belajar, berpartisipasi dalam diskusi, berani menyampaikan dan menerima ide orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Pendidikan matematika saat ini mengalami perubahan yang signifikan, yang tercermin dalam pergeseran paradigma yang terjadi di berbagai aspek. Seiring berjalannya waktu, paradigma pendidikan matematika bergerak dari pendekatan yang lebih formal dan teoritis menuju praktik yang lebih aplikatif dan kontekstual. Pergeseran ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

  1. Pergeseran dari model formal ke pendekatan praktis (deduktif menjadi induktif).
    Pergeseran ini mengarah pada cara belajar yang lebih eksploratif dan berbasis pada pengalaman nyata, yang memberi ruang bagi siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri.
  2. Pergeseran dari belajar secara individual ke belajar berkelompok.
    Pendidikan matematika saat ini lebih menekankan pada kolaborasi antar siswa, yang mendukung pembelajaran aktif dan interaktif di kelas.
  3. Pergeseran dari belajar menghapal ke belajar memahami dan memecahkan masalah.

Pendidikan matematika tidak hanya fokus pada hafalan rumus atau prosedur, tetapi lebih kepada bagaimana siswa dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks.

  1. Pergeseran paradigma dari behaviorisme ke konstruktivisme.
    Dalam paradigma konstruktivisme, penekanan lebih diberikan pada peran aktif siswa dalam membangun pengetahuan mereka, bukan hanya mengingat fakta atau prosedur.
  2. Pergeseran dari teori transfer pengetahuan ke pendekatan interaktif, investigatif, eksploratif, kegiatan terbuka, keterampilan proses, pemodelan, dan pemecahan masalah.

Pendidikan matematika yang lebih interaktif mendorong siswa untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan menyelesaikan masalah secara kolaboratif.

Teori behaviorisme, yang merupakan salah satu teori tertua dalam pendidikan, mendasarkan proses belajar mengajar pada pengulangan dan penguatan. Dalam konteks pendidikan matematika, teori ini menekankan pentingnya pengulangan dan latihan untuk mencapai penguasaan materi. Pendekatan ini berfokus pada perubahan kuantitatif dalam perilaku siswa sebagai hasil dari instruksi yang efektif.

Namun, meskipun behaviorisme memberikan kontribusi besar dalam pengajaran matematika, terdapat beberapa kelemahan. Misalnya, pendekatan ini lebih menekankan pada penguasaan materi dan keterampilan yang terprogram, dengan sedikit perhatian pada pemahaman konsep yang lebih mendalam. Selain itu, evaluasi dalam pendekatan ini sering kali terfokus pada keterampilan yang dapat diukur melalui ujian besar, seperti soal pilihan ganda, yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau penerapan pengetahuan.

Tokoh-tokoh penting dalam teori behaviorisme, seperti Skinner dan Gagne, menyarankan bahwa matematika dapat diajarkan melalui instruksi yang terstruktur dengan penyampaian pengetahuan yang tepat waktu. Namun, kritik terhadap teori ini muncul dari penelitian yang mengungkapkan bahwa pendekatan ini tidak selalu mendukung pemahaman konsep matematika yang lebih mendalam.

Konstruktivisme, yang lebih kontemporer dibandingkan dengan teori behaviorisme, memandang pembelajaran sebagai proses aktif di mana siswa membangun pengetahuan mereka sendiri. Dalam pembelajaran matematika, teori konstruktivisme menekankan pentingnya interaksi sosial dan kolaborasi antara siswa, di mana mereka tidak hanya mempelajari fakta, tetapi juga memahami konsep melalui diskusi, eksperimen, dan pemecahan masalah.

Teori konstruktivisme sangat relevan dalam pendidikan matematika saat ini karena mendukung pembelajaran yang lebih bermakna dan terhubung dengan pengalaman nyata. Pendidik konstruktivis berusaha membuat matematika lebih mudah diakses dengan menghindari formalitas yang berlebihan dan menciptakan suasana kelas yang menarik. Pembelajaran berbasis masalah, eksplorasi, dan pemecahan masalah menjadi pusat dalam pendekatan ini, yang memungkinkan siswa belajar secara lebih mendalam dan aplikatif.

Pendidikan matematika berdasarkan konstruktivisme mengajak siswa untuk aktif terlibat dalam proses belajar melalui pendekatan interaktif, kolaboratif, dan berbasis masalah. Pendekatan ini menantang siswa untuk berpikir kritis, menemukan solusi untuk masalah yang kompleks, dan mengaitkan pengetahuan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Seiring dengan pergeseran paradigma ini, diharapkan pembelajaran matematika di Indonesia akan menjadi lebih efektif, relevan, dan menarik bagi siswa.

 

2.      TEORI – TEORI BELAJAR

a)      Teori Bruner

Jerome Bruner (Suherman, dkk., 2003) berpendapat bahwa belajar menjadi lebih efektif jika dilakukan melalui struktur konsep yang memperlihatkan keterkaitan antara satu konsep dengan konsep prasyaratnya. Pembelajaran dengan struktur konsep memungkinkan pemahaman yang menyeluruh, sehingga daya ingat siswa menjadi kuat dan tahan lama. Bruner menekankan pentingnya tahapan yang bertahap dalam memanipulasi benda-benda dari lingkungan sekitar untuk membantu pembelajaran siswa, yang meliputi tiga tahap berikut:

1.      Tahap Aktivasi

Di tahap ini, siswa belajar matematika dengan menggunakan benda konkret atau situasi nyata yang ada di sekitar mereka.

2.      Tahap Logis

Setelah memahami benda nyata, siswa beralih ke tahap ikonik, di mana mereka belajar melalui perbedaan nyata yang diwakili dalam bentuk gambar atau diagram.

3.      Tahap Gambaran

Pada tahap ini, pemahaman siswa dicapai dengan simbol abstrak, yang menunjukkan level pemahaman yang lebih tinggi. Siswa perlu melewati proses abstraksi, yang menurut Cooney terjadi saat seseorang mengenali kesamaan di antara hal-hal yang berbeda.

Selain itu, Bruner mengajukan beberapa teorema untuk mendukung pengajaran matematika kepada siswa:

1.      Teorema Konstruksi

Siswa akan lebih memahami konsep jika mereka turut berperan dalam membangunnya, sehingga matematika tidak hanya dipahami sebagai aturan-aturan semata.

2.      Teorema Notasi

Matematika tidak dapat dipisahkan dari notasi karena bahasa notasi (simbol) merupakan bagian dari bahasa matematika. Namun, simbol yang digunakan harus sesuai dengan tingkat berpikir siswa.

3.      Teorema Kontras-Variasi

Dalam belajar matematika, sebaiknya digunakan berbagai contoh, non-contoh, dan variasi, agar pemahaman konsep siswa menjadi lebih kuat. Hal ini memungkinkan siswa untuk mengenali lebih banyak contoh aplikasi konsep dan membedakan mana yang termasuk dan yang tidak.

4.      Teorema Konektivitas

Pembelajaran matematika harus memperlihatkan hubungan antar konsep dan memiliki aplikasi praktis dalam kehidupan. Teorema ini menumbuhkan motivasi siswa untuk memahami konsep secara mendalam dan menyeluruh.

b)     Teori Ausubel

Teori belajar yang bermakna diusulkan oleh David Ausubel (Suherman, dkk., 2003). Belajar bermakna berarti belajar dengan cara mengetahui, memahami, mengaplikasikan, dan memilikinya untuk digunakan lebih lanjut. Teori ini dikenal sebagai "belajar apa artinya" dan betapa pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ia membedakan belajar menemukan dan menerima. Pada belajar menerima, siswa hanya menerima pelajaran dan hanya menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukn, siswa menemukan konsep, sehingga mereka tidak hanya menerima pelajaran. Selain itu, untuk memiliki kemampuan untuk membedakan belajar menghafal dari belajar bermakna. Belajar menghafal memungkinkan siswa untuk mengingat apa yang telah mereka pelajari. Namun, belajar berarti materi yang telah dipelajari disesuaikan dengan situasi lain, sehingga lebih mudah dipahami oleh siswa.
Ausubel mengatakan bahwa belajar bermakna dapat dicapai melalui metode ekspositori, atau ceramah bervariasi, jika keempat karakteristik tersebut dapat difasilitasi. Dengan tidak hanya belajar menerima (belajar menerima) atau belajar menghafal (belajar rote), berbagai ekspositori ini dapat digabungkan dengan metode penemuan.

Menurut Ausubel dan Novak (Suherman, dkk., 2003), belajar bermakna memiliki tiga keuntungan, yaitu

a.       Informasi yang dipelajari secara signifikan lebih lama disimpan dalam ingatan.

b.      Dimungkinkan untuk meningkatkan pemahaman konsep yang telah dikuasai sebelumnya dengan memasukkan informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep yang relevan sebelumnya. Ini akan membuat proses belajar mengajar lebih mudah di masa mendatang.

c.       Belajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah terjadi "lupa" karena pengetahuan yang telah dilupakan masih meninggalkan bekas.

c)      Teori Piaget

Jean Piaget mengatakan bahwa teorinya tentang struktur kognitif terkait dengan skemata dan perkembangan kemampuan kognitif sesuai dengan usia (Suherman et al., 2003). Skemata menggunakan pengamatan, pendengaran, dan perabaan untuk merespons stimulus pikiran. Tiga aspek perkembangan intelektual diamati oleh Piaget (Suherman et al., 2003):

1.      Struktur

Struktur, juga disebut schemata, adalah organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki seseorang selama interaksinya dengan lingkungannya. Struktur yang terbentuk membuat orang lebih mudah menghadapi tantangan yang meningkat dari lingkungannya. Perolehan struktur menunjukkan bahwa perkembangan intelektual anak telah berubah.

2.      Isi

Isi adalah cara anak bertindak dalam berbagai situasi atau masalah

3.      Fungsi

Fungsi adalah cara seseorang membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget, organisasi dan adaptasi adalah dasar perkembangan intelektual. Organisasi memungkinkan makhluk untuk mengorganisasi proses fisik atau psikologis menjadi sistem yang sistematis. Asimilasi dan akomodasi adalah proses yang memungkinkan adopsi terjadi. Selama proses asimilasi, seseorang menggunakan kemampuan yang sudah dimilikinya untuk menangani tantangan di lingkungannya. Dalam proses akomodasi, struktur mental seseorang harus diubah untuk menangani tantangan lingkungannya.

Selanjutnya, Piaget menunjukkan tahap perkembangan kognitif yang sebanding dengan usianya (Suherman et al., 2003).

a.       Usia 0-2 tahun: Tahap Sensori Motorik

Kemampuan anak pada tahap sensori motorik terdiri dari struktur otak yang belum berfungsi. Aktivitasnya dikontrol oleh intuisi.

b.      Tahap Persiapan Operasi dari 2 hingga 7 tahun:

Pada titik ini, otaknya mulai berfungsi, tetapi seringkali tidak rasional. Pada tahap ini, kemampuan kognitif biasanya termasuk klasifikasi, seriasi, dan membilang. Namun, karena belum memahami kekekalan banyak, materi, panjang, luas, berat, dan isi.

c.       sekitar 7-11 tahun: Tahap Operasi Khusus

Pengertian kekekalan sudah dipahami, kemampuan kognitif harus dibantu dengan benda konkret.

d.      Lebih dari 11 tahun: Tahap Operasi Formal

Siswa dapat berpikir abstrak tanpa bantuan benda konret pada tahap operasi formal. Seiring waktu, Anda dapat meningkatkan kemampuan Anda dalam analisis, sintesis, kombinatorial, eksplorasi, menemukan, dan pemecahan masalah.

Perkembangan kognitif bergantung pada pengaplikasian dalam belajar. Individu diberi bidang yang belum mereka ketahui untuk belajar, karena mereka tidak dapat belajar hanya dari apa yang mereka ketahui. Ia tidak dapat bergantung pada asimilasi; orang-orang di area baru ini akan berusaha untuk mengakomodasi. Tempat atau area itulah yang akan membantu Anda berkembang kognitif.

Di bawah ini adalah contoh bagaimana teori Piaget diterapkan pada pembelajaran di kelas:

1.      Guru harus dapat memahami cara berpikir anak, bukan anak yang beradaptasi dengan guru, karena cara berpikir anak berbeda dan kurang logis dibandingkan dengan orang dewasa.

2.      Anak-anak belajar paling banyak dengan menemukan. Agar pembelajaran berpusat pada anak berhasil, guru tidak meninggalkan anak-anak mereka sendiri; sebaliknya, mereka memberikan tugas khusus yang membantu siswa menemukan dan menyelesaikan masalah.

3.      Di sini, tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir anak-anak. Dengan kata lain, ketika anak-anak mencoba memecahkan masalah, penalaran mereka lebih penting daripada solusi yang tepat. Oleh karena itu sangat penting bagi guru untuk menghindari menghukum anak-anak karena menjawab pertanyaan yang salah. Sebaliknya, mereka harus bertanya tentang bagaimana anak-anak itu memberi jawaban yang salah dan memberi tahu mereka bahwa itu benar atau harus mengambil tindakan yang tepat untuk menanggulanginya.

Guru dapat menentukan dan menetapkan tujuan untuk pembelajran materi pelajaran atau pokok bahasan pengajaran tertentu. Oleh karena itu, dapat dikatakan secara singkat bahwa pertumbuhan intelektual anak terdiri dari tiga komponen: struktur, konten, dan fungsi. Struktur dan konten intelektual anak berubah atau berkembang selama perkembangan mereka. Perkembangan akan dihasilkan dari penyusunan fungsi dan adaptasi. Setiap perkembangan memiliki struktur psikologi tertentu yang menentukan kemampuan berpikir anak. Jadi, menurut Piaget, inteligensi adalah kombinasi dari struktur pikologis yang ada pada tingkat perkembangan tertentu.

d)     Teori Gestalt

John Dewey, seorang tokoh penting dalam aliran konstruktivisme, menekankan bahwa guru harus mempertimbangkan beberapa hal dalam mengatur kegiatan belajar mengajar, antara lain:

a)      Penyajian konsep harus memprioritaskan pemahaman

b)      Kegiatan belajar harus mempertimbangkan kesiapan intelektual siswa.

c)      Menciptakan suasana kelas yang mendukung siswa untuk belajar.

Dari ketiga hal tersebut, Dewey menggarisbawahi pentingnya fokus pada proses pembentukan konsep, bukan hanya hasil akhirnya. Oleh karena itu, guru sebaiknya tidak hanya memberikan konsep yang harus diterima, tetapi juga membimbing siswa dalam memahami proses pembentukan konsep tersebut. Metode yang digunakan harus berbasis pada pendekatan induktif, yang memungkinkan siswa mengembangkan pemahamannya secara bertahap.

Selain itu, pendekatan yang digunakan harus sesuai dengan kesiapan intelektual siswa. Misalnya, siswa SMP berada pada tahap operasi konkret, sehingga penggunaan benda konkret sangat diperlukan untuk membantu mereka memahami konsep abstrak, seperti dalam matematika. Dengan demikian, pembelajaran yang efektif dimulai dengan pengenalan contoh konkret sebelum beralih ke konsep yang lebih abstrak.

Penting juga untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, karena elemen eksternal seperti suasana kelas dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, guru harus berusaha membuat siswa merasa nyaman dan termotivasi untuk belajar, baik sebelum, selama, maupun setelah proses pembelajaran berlangsung.

e)      Teori Van Hiele dalam Pengajaran Geometri

Van Hiele (1954) menawarkan teori belajar untuk pengajaran geometri yang berfokus pada lima tahap perkembangan mental anak dalam memahami konsep geometri. Teori ini diperoleh melalui pengamatan dan tanya jawab, yang mengidentifikasi bahwa belajar geometri terjadi dalam lima tahap berikut:

1.      Tahap Identifikasi (Visualisasi)

Pada tahap ini, siswa belajar mengenali bentuk geometri secara keseluruhan, meskipun mereka belum dapat mengidentifikasi sifat-sifat khusus dari bentuk-bentuk tersebut.

2.      Tahap Penelitian

Siswa mulai memahami karakteristik dari objek geometri yang diamati. Mereka bisa mengidentifikasi keteraturan pada objek, tetapi belum mampu menghubungkan berbagai objek geometri satu sama lain.

3.      Tahap Pengurutan (Deduksi Tidak Resmi)

Siswa mulai menarik kesimpulan dan berpikir deduktif, meskipun kemampuan ini belum berkembang sepenuhnya. Mereka mulai belajar untuk mengurutkan objek geometri berdasarkan sifat atau karakteristik tertentu.

4.      Tahap Pengurangan

Pada tahap ini, siswa mampu menarik kesimpulan deduktif yang lebih sistematis, yakni beralih dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang lebih spesifik. Mereka juga mulai memahami pentingnya unsur-unsur yang didefinisikan dan tidak didefinisikan dalam geometri.

5.      Tahap Akurasi

Siswa mulai menyadari pentingnya prinsip dasar yang mendasari pembuktian dalam geometri. Pada tahap ini, berpikir menjadi lebih kompleks dan rumit, dan tidak jarang beberapa siswa belum mencapai tahap ini meskipun sudah berada pada tingkat pendidikan lanjutan.

Van Hiele menyarankan bahwa pengajaran geometri harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa agar mereka dapat memahami dan menguasai konsep-konsep geometri secara bertahap dan mendalam.

f)       Teori Thorndike

Edward L.Thorndike mengusulkan beberapa hukum belajar yang dikenal sebagai "hukum akibat". Hukum ini menyatakan bahwa siswa akan belajar lebih baik jika respons mereka terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya dapat menyebabkan rasa senang atau kepuasan ini. Reinforcement adalah komponen stimulus ini.

Penguatan yang relevan dengan kondisi mental dan emosional seseorang dapat digunakan untuk menerjemahkan penguatan. Dalam hal ini, penguatan berarti guru mendorong siswa untuk mempertahankan atau meningkatkan perilaku positif atau agar mereka meninggalkan perilaku negatif untuk berubah menjadi positif. Penguatan positif dan negatif adalah istilah untuk dua jenis penguatan. Guru memberikan penguatan positif dengan tersenyum dan memuji siswa yang telah menyelesaikan tugas di depan kelas, sedangkan penguatan negatif dengan cemberut dan menasehati siswa yang datang terlambat atau tidak menyelesaikan tugas.

Hukum akibat berarti bahwa hasil adalah hasil dari proses dan tidak sebaliknya. Jika proses berjalan dengan benar, hasilnya juga akan berjalan dengan benar; namun, perhatikan bahwa banyak orang yang terjebak dengan hal sebaliknya. Dalam pembelajaran, bermakna hasilnya akan baik. Jika suasana belajar ramah dan kondusif, aktivitas siswa akan berjalan dengan baik, dan hasil belajar akan meningkat.

Dalam istilah lain, hukum kesiapan berarti bahwa keberhasilan bergantung pada kesiapan. Belajar, seperti belajar, akan berhasil jika guru dan siswa siap. Guru membuat RPP dan kelengkapan (LKS, media, dan evaluasi) dengan baik. Siswa diberi tugas untuk mempelajari bahan yang akan dibahas, melaksanakan apersepsi, memfokuskan perhatian mereka, dan dimotivasi.

Law of exercise dapat diterjemahkan menjadi "hukum latihan", yang berarti bahwa setiap orang perlu latihan selama dan sesudah belajar untuk meningkatkan keterampilan, mendalami, dan memperluas wawasan mereka. Latihan ini dapat dilakukan di dalam atau di luar ruang kelas.

 


3.      Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematika




Pengembangan berkaitan dengan model, strategi, pendekatan, dan praksis Pendidikan/Pembelajaran matematika menjadi salah satu kajian yang menarik dan lebih aplikatif. Ada hal yang menjadi acuan utama penulis berkaitan dengan kajian tersebut. Sekilas istilah model, strategi, dan pendekatan dalam Pembelajaran terlihat sama dan sulit dibedakan. Ketika disudutkan dengan pertanyaan:

 

“kira-kira dalam merancang Pembelajaran matematika yang efektif kita harus menentukan apa dulu? Model dulu? Strategi dulu? Atau pendekatannya terlebih dahulu?”

 

Pertanyaan di atas ini merupakan pijakan awal kajian pengembangan yang coba diuraikan oleh penulis tentang bagaimana keterkaitan dan hubungan dari istilah-istilah tersebut di atas. Hal ini penting dilakukan agar dalam merencanakan Pembelajaran matematika yang lebih mutakhir juga didukung oleh perencanaan yang lebih matang dan sistematis.

Karena perbedaan pendapat tentang definisi model, metode, strategi, dan teknik pembelajaran, diskusi dan perdebatan yang panjang sering terjadi. Tidak ada yang salah dengan memandang setiap kata dari perspektif yang berbeda. Tulisan ini hanya akan menjadi wacana yang tidak anti kritik, tetapi akan menjelaskan secara ringkas beberapa istilah di atas. Semuanya bergantung pada bagaimana seorang siswa belajar, yang sangat bergantung pada apa yang mereka pelajari dan tujuan mereka untuk belajar. Oleh karena itu, akan menjadi mungkin untuk mengetahui bagaimana siswa harus belajar.

Berdasarkan teori yang relevan, seperti pembelajaran sosial, behavioris, kognitivis, dan konstruktivis, tulisan sebelumnya berkaitan dengan siswa dikaji. Jadi, ada perlunya membuat keputusan tentang pendekatan teori mana yang paling cocok untuk menjelaskan bagaimana siswa belajar. Persepsi ini tentang pencapaian tujuan belajar akan berbeda-beda tergantung pada apa yang dipelajari dan siapa yang mempelajarinya. Misalnya, menggunakan pendekatan yang sama untuk belajar tentang kedisiplinan siswa di sekolah dasar dan mahasiswa di perguruan tinggi tidak akan efektif.

Pembelajaran matematika telah menjadi topik yang menarik perhatian banyak akademisi dan pendidik. Seiring dengan perkembangan teori pendidikan, berbagai model, strategi, dan pendekatan dalam pembelajaran matematika terus dieksplorasi. Namun, kajian ini tidak hanya perlu dilihat dari perspektif pedagogis semata, tetapi juga melalui lensa filsafat. Dalam konteks ini, artikel ini akan membahas peran filsafat dalam pembelajaran matematika, menganalisis model dan strategi yang ada, serta mengeksplorasi bagaimana pemikiran filosofis dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran matematika.

 

a.      Model Pembelajaran Matematika

Model pembelajaran matematika merupakan kerangka kerja yang merancang bagaimana siswa belajar dan berinteraksi dengan materi matematika. Dalam konteks filsafat, salah satu model yang relevan adalah model konstruktivis. Menurut Piaget dan Vygotsky, proses belajar adalah suatu konstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh individu melalui interaksi sosial dan pengalaman (Fauzi dan Idris, 2022). Hal ini sejalan dengan filsafat yang menekankan pentingnya dialog dan refleksi dalam proses pembelajaran. Melalui diskusi kelompok dan kolaborasi, siswa tidak hanya mempelajari matematika secara faktual tetapi juga membangun pemahaman konseptual yang lebih mendalam.

Model pembelajaran sangat penting dalam pembelajaran matematika agar proses belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kerangka konseptual yang disebut model pembelajaran menunjukkan cara sistematis untuk mengatur pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu (Indrawati, 2011). Model pembelajaran berfungsi sebagai standar untuk pengajaran di kelas. Dalam pembelajaran matematika, ada banyak model pembelajarn yang dapat digunakan. Model-model ini biasanya menuntut siswa untuk berpartisipasi secara aktif dan bersifat kontekstual.

Fungsi model pembelajaran adalah sebagai berikut: a) Memberikan pedoman bagi para perancang pembelajaran dan pengajar dalam merencanakan kegiatan pembelajaran; b) Memberikan pedoman bagi pendidik dalam melaksanakan pembelajaran sehingga pendidik dapat menentukan langkah dan apa yang dibutuhkan dalam pembelajaran; c) Memudahkan para pendidik dalam membelajarkan muridnya untuk mencapai tujuan yang ditetapkannya; dan d) Membantu peserta didik memperoleh informasi, ide, dan keterampilan. Berikut adalah beberapa model yang umum digunakan saat mengajar matematika di sekolah menengah:

A.    Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang membantu siswa belajar tentang pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan konsep penting. Model ini diterapkan melalui beberapa tahapan pelaksanaan (sintaks), beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

(Nilam, 2019).

Menurut hasil penelitian, model PBL selalu meningkatkan hasil belajar dan kemampuan matematika siswa ketika diterapkan dalam pembelajaran. (Maryati, 2018; Nilam, 2019).

B.     Model Pembelajaran Project-Based Learning (PjBL)




Salah satu model pembelajaran aktif yang berorientasi pada proyek adalah model pembelajaran berbasis proyek. Untuk aplikasi di lapangan, model ini mengikuti tiga tahapan proses, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut:

(Isrok’atun, 2019).

Hasil penelitian tentang penerapan model PjBL menunjukkan bahwa penerapan PjBL dapat membuat siswa lebih kreatif dan aktif dalam belajar (Murniarti, 2017).

 

 

C.      Model Realistic Mathematics Education (RME)

RME bertujuan untuk memberi siswa kesempatan untuk menemukan kembali konsep dan gagasan matematika dengan bantuan orang dewasa dengan menyelidiki situasi dan masalah dunia nyata (Astuti, 2018). Adapun sintaks dari model RME ini diuraikan dalam tabel berikut.

                                        (Isrok’atun, 2019)

Hasil penelitian RME ini menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran dengan model RME dapat membantu siswa, terutama dalam hal kemampuan pemecahan masalah. Namun, hasil penelian (Artika et al., 2019) menunjukkan bahwa RME dapat digunakan oleh guru sebagai salah satu model pembelajaran alternatif. Ini karena model ini menarik dan mudah diterapkan, terutama dalam matematika, karena berfokus pada pengalaman siswa dan benda-benda nyata.

D.    Model Situation Based learning (SBL)

Salah satu model pembelajaran kontruktivisme yang disebut Model Berbasis Situasi (SBL) memungkinkan pembangunan konsep melalui pemahaman apa yang terkandung dalam suatu situasi. Menurut Isrok’atun (2019), model ini memerlukan beberapa langkah untuk diterapkan. Tahapan-tahapan ini digambarkan dalam tabel berikut.

Sebuah model pembelajaran berbasis situasi dapat membantu siswa memecahkan masalah matematika, menurut temuan beberapa penelitian tentang penerapan model ini (Lestari et al., 2019).

E.     Model Open Ended

Pembelajaran terbuka adalah jenis pembelajaran di mana siswa diberi masalah yang tetap terbuka. Masalah ini memiliki banyak pilihan jawaban. Untuk menggunakan kelas model ini, ada lima tahapan atau sintak, seperti yang ditunjukkan dalam able berikut.

(Isrok’atun, 2019)

Hasil penelitian tentang penerapan model open-ended di sekolah menengah menunjukkan bahwa pembelajaran ini memiliki potensi untuk meningkatkan hasil belajar matematik siswa selain meningkatkan kemampuan berpikir kreatif mereka (Magelo et al., 2019).

 

b.      Strategi Pembelajaran Matematika

Strategi pembelajaran matematika mencakup berbagai metode yang digunakan oleh guru untuk mengajar matematika secara efektif. Salah satu strategi yang mencolok dalam tafsir filosofis adalah penggunaan pendekatan berbasis masalah. Menurut Bransford et al. (2000), pendekatan berbasis masalah adalah cara yang efektif untuk mendorong pemikiran kritis dan kreatif siswa. Dalam pendekatan ini, siswa dihadapkan pada situasi nyata yang memerlukan penerapan konsep matematika untuk menyelesaikannya. Dari sudut pandang filsafat pragmatis, belajar dari pengalaman dan menyelesaikan masalah dunia nyata akan lebih bermakna bagi siswa dan meningkatkan motivasi mereka untuk belajar.

Strategi pembelajaran adalah kumpulan tugas yang harus dilakukan oleh guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien. Contoh strategi pembelajaran adalah: Exposition Discovery Learning, Group Individual Learning.

A.     Exposition Discovery Learning

Strategi pembelajaan yang biasanya meminta peserta didik untuk melakukan tindakan ilmiah, observasi, atau eksperimen untuk mengetahui hasil tindakan ilmiah tersebut. Oleh karena itu, siswa diminta untuk menciptakan teori berdasarkan pengalaman belajar mereka sendiri.

Heuristic teaching adalah bagian dari praktik pendidikan. Ini mencakup strategi-strategi untuk mendukung berbagai jenis belajar aktif, berorientasi pada proses, dan membimbing diri sendiri. Dengan strategi ini, siswa dapat melakukan penemuan informasi secara mandiri dalam lingkungan tradisional. Proses penemuan adalah unik dan dapat dibuat oleh guru dalam berbagai cara, seperti mengajarkan keterampilan pemecahan masalah dan membantu siswa mencapai tujuan akademik. Selain itu, strategi penemuan merupakan proses mental yang memungkinkan siswa mengintegrasikan prinsip atau proses.
Berdasarkan temuan, peserta didik didorong untuk belajar aktif dengan ide dan prinsip.

Pelajar didorong untuk menemukan prinsip-prinsip baru dengan mengaitkan pengalaman sebelumnya dengan pengalaman baru. Pelajar dimotivasi untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai mereka menemukan solusi untuk masalah yang dihadapi dan belajar memecahkan masalah sendiri dengan menganalisis dan mengelola data. Pembelajaran berbasis masalah membantu siswa memahami konsep dan struktur dasar disiplin ilmu.

 

B.     Group Individual Learning

Secara etimologi, group individual learning berasal dari dua kata, yaitu group learning dan individual learning. Group learning atau pembelajaran kelompok adalah strategi pembelajaran di mana aktivitas dilakukan oleh siswa secara bersama-sama dalam sebuah kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran.Sementara individual learning atau pembelajaran individual. Secara etimologi, istilah "group learning" dan "individual learning" berasal dari kata "group learning".

Pembelajaran kelompok, juga dikenal sebagai "pembelajaran kelompok", adalah metode pembelajaran di mana siswa melakukan aktivitas bersama dalam sebuah kelompok untuk mencapai tujuan tertentu.Pembelajaran individual, juga dikenal sebagai pembelajaran individual, adalah metode pembelajaran di mana siswa melakukan aktivitas sendiri.Berdasarkan pemahaman tentang pembelajaran masing - masing, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran grup individu adalah pendekatan pembelajaran di mana siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam kelompok kecil atau tim kecil.Selain itu, pembelajaran kelompok individu juga dapat dianggap sebagai kombinasi antara pembelajaran kelompok dan pembelajaran individu. Ini dilakukan karena menggabungkan elemen elemen dari kedua strategi pembelajaran tersebut.

Salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh bapak dan ibu selama kegiatan pembelajaran di sekolah adalah grup pembelajaran individu ini.

Strategi pembelajaran ini memungkinkan siswa bekerja sama dalam kelompok kecil untuk bekerja sama dan berbagi informasi.

Sebaliknya, siswa memiliki kesempatan untuk bekerja secara individu. Ini memungkinkan mereka untuk fokus pada kebutuhan pribadi mereka sambil belajar bersama-sama dan mendukung satu sama lain dalam kelompok.

 

c.       Pendekatan Pembelajaran Matematika

Pendekatan dalam pembelajaran matematika dapat diperluas dalam beberapa dimensi, termasuk pendekatan analitis dan sintesis. Pendekatan analitis fokus pada penguasaan konsep dan prosedur, sedangkan pendekatan sintesis lebih menekankan pada integrasi konsep-konsep yang ada. Dalam konteks filsafat, pendekatan ini mencerminkan pemikiran Aristotelian di mana pemahaman dihasilkan dari analisis bagian-bagian menjadi keseluruhan. Dalam konteks pendidikan, menggabungkan kedua pendekatan ini dapat memberikan gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana siswa memahami matematika dan relasinya dengan konsep-konsep lainnya.

Guru menggunakan pendekatan pembelajaran sebagai titik tolak atau sudut pandang mereka terhadap proses pembelajaran. Pendekatan ntang proses yang sangat umum. Pendekatan ini mewadahi, menguatkan, menginspirasi, dan menginspirasi model pembelajaran dalam konteks teori tertentu.

Metode ini masih sangat umum dan harus diterapkan pada model dan metode pembelajaran tertentu yang telah dipilih. Contoh pendekatan pembelajaran adalah pembelajaran berpusat pada siswa, pembelajaran berpusat pada guru, dan sebagainya.

 

4.      Model Conceptual Understanding

Menurut Klipatrick dan Findel, pemahaman konseptual merupakan salah satu dari lima kemampuan matematis yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Menurut Kloot (2003), CUPs adalah metode pengajaran yang dimaksudkan untuk membangun pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa siswa dapat meningkatkan atau mengubah perspektif mereka saat ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang suatu konsep. Model pembelajaran CUPs akan membantu siswa meningkatkan pemahaman matematis mereka karena mereka dapat menemukan dan bahkan mengembangkan konsep matematika. Dengan model pembelajaran CUPs, siswa tidak hanya duduk mendengarkan guru seperti dalam sesi ceramah, tetapi mereka juga dapat lebih aktif berpartisipasi dalam proses pemahaman materi. Selain itu, siswa berbicara dalam kelompok untuk bertukar ide.

Sebagai contoh, menurut Kloot (2003), lima langkah penting diambil untuk menjalankan CUP:

Tahap Satu Preparation

Perencanaan adalah langkah pertama menuju pelaksanaan CUPs, yang mencakup beberapa hal seperti:

a.       Sangat penting untuk mempertimbangkan potensi respons awal siswa terhadap sesi CUP.

b.      Bahan-bahan yang diperlukan harus disiapkan.

c.       Mengorganisir siswa dalam kelompok kecil.

d.      Setiap latihan, soal, atau kasus yang diberikan membutuhkan waktu sekitar satu jam, tetapi dapat dibagi menjadi beberapa sesi.

Tahap kedua. Perangkat keras (hardware)

Setelah diskusi, perangkat keras yang dimaksud adalah kebutuhan material berikut:

a.       Masing-masing siswa menerima soal atau kasus dalam kertas latihan.

b.      Untuk tiap triplet, masing-masing karton berukuran besar.

c.       Untuk setiap triplet, gunakan spidol berwarna, mungkin tiga warna.

d.      karton dipasang ke dinding dengan dua pita.

e.       Papan bertulis

Tahap Tiga Organisasi kelompok kecil

Pembagian kelompok dan anggota harus sesuai dengan aturan berikut:

a.       Siswa harus dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan kemampuan akademik masing-masing, atau trio.

b.      Jika siswa tidak dapat membagi 3 orang setiap kelompok, akan lebih baik jika mereka membentuk kelompok terdiri dari 4 orang daripada 2 orang.

c.       Setidaknya ada satu siswa perempuan, atau lebih baik satu siswa laki-laki.

d.      Untuk latihan CUP, siswa harus berada dalam kelompok yang sama.

Tahap IV perlunya kepercayaan

Karena setiap siswa mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang konsep yang ingin dibahas, guru harus menegaskan pada pertemuan pertama penerapan model pembelajaran CUPs bahwa setiap siswa harus terlibat secara aktif dan memberikan pendapatnya tentang cara menyelesaikan masalah yang diberikan. Miskomunikasi hanya dapat diperbaiki jika disampaikan. Guru harus memperhatikan pendapat siswa dan menekankan siswa dalam proses pembelajaran.

Tahap Lima Skema dasar sesi CUP

Sesi CUP ini terdiri dari beberapa langkah, seperti:

a.       Sesi Satu

Latihan diberikan kepada siswa dalam bentuk soal. Guru memberi tahu siswa tentang persyaratan pekerjaannya dan menekankan betapa pentingnya untuk membuat diagram yang besar saat memberikan jawaban dari satu triplet ke dalam karton.

b.      Sesi Kedua

Siswa berusaha menyelesaikan secara individual selama lima hingga sepuluh menit. Selama waktu tersebut, siswa dapat menuliskan gagasan mereka dalam kertas A4.

c.       Sesi Tiga

Siswa kemudian pindah ke triplet mereka dan berbicara dan mendengarkan gagasan dari masing-masing anggota selama dua puluh menit. Tujuan dari diskusi ini adalah untuk mendorong mereka untuk menjelaskan pendapat mereka, menemukan kesalahan dalam alasan mereka, dan akhirnya mencapai hasil bersama. Hasil ini kemudian ditransfer ke dalam kertas karton, dan guru harus memberikan tiga pensil berwarna kepada tiap grup. Agar lebih mudah dilihat kemudian, siswa harus menggambarkan diagram mereka menggunakan pensil warna yang telah disediakan. Semua anggota triplet harus mempersiapkan diri untuk menyampaikan jawaban grup mereka di depan kelas. Selama diskusi triplet, guru harus berkeliling kelas dan menjelaskan tugas latihan jika diperlukan, tetapi tidak boleh terlibat dalam percakapan.

 d.      Sesi 4

Setelah beberapa waktu, semua jawaban dalam karton harus ditempel di dinding atau papan tulis. Semua siswa diizinkan untuk duduk lebih dekat ke jajaran berbentuk U agar mereka dapat melihat karton yang telah ditempelkan.

e.       Sesi 5

Untuk menemukan kesamaan dan perbedaan, guru dapat melihat semua jawaban dan meminta anggotanya untuk menjelaskan jawaban mereka. Mereka juga dapat memulai diskusi dengan memilih karton yang hasilnya sepertinya dapat mewakili beberapa jawaban. Setelah itu, siswa yang memiliki diagram yang berbeda dari masing-masing triplet diminta untuk mempertahankan jawaban mereka. Siswa berdebat sampai ada jawaban akhir. Penting untuk diperhatikan bahwa guru tidak diizinkan untuk menjelaskan atau memberikan jawaban. Guru harus memberikan cukup waktu sebelum menanyakan pertanyaan lebih lanjut karena banyak ide akan keluar.

f.        Sesi enam

Setiap siswa harus benar-benar memahami jawaban yang disetujui sebelum sesi berakhir. Untuk membuktikan hal itu, guru mungkin menulis atau menggambarkannya dalam karton kosong di dinding atau papan tulis, tetapi tanpa memberikan komentar apa pun. Jika waktu habis sebelum kesepakatan dicapai, guru memberikan ringkasan sampai bagian yang dicapai. Kemudian, dia memberi tahu siswa bahwa bagian tersebut akan diselesaikan pada pertemuan berikutnya.

 

5.      Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Siswa yang dapat menyelesaikan masalah, pertanyaan, dilemma, atau ketidakpastian dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, analitis, dan kreatif mereka (King, Goodson, & Rohani, 2012). Menurut Wang dan Farmer (2008), menganalisis, menilai, dan membuat adalah keterampilan pikiran tingkat tinggi (HOTS). Tujuan HOTS adalah untuk mempersiapkan masyarakat untuk abad kedua puluh satu (Conklin 2012). Menurut Dinni (2018), high order thinking membantu siswa memahami hal-hal yang kompleks, memecahkan masalah, berargumen dengan baik, mengembangkan penjelasan, dan membedakan ide atau gagasan dengan jelas. Kemampuan ini menunjukkan bagaimana siswa bernalar. Oleh karena itu, pengembangan HOTS adalah salah satu proses berpikir yang diperlukan untuk melawan hoax. Pendidikan di Indonesia saat ini mengalami reformasi pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran dan penilaian yang berfokus pada HOTS. Dengan penerapan HOTS dalam pembelajaran dan penilaian, diharapkan pembelajaran matematika dapat lebih meningkatkan kreativitas dan kecakapan berpikir siswa.

Konsep kecakapan berpikir HOTS didasarkan pada model taksonomi Bloom, menurut Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Kemendikbud (Sofyan, 2019). Menurut Sumaryanta (2018), soal HOTS mulai digunakan dalam ujian nasional pada tahun 2017. Pada tahun 2018, jumlah soal tersebut meningkat. Seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut dari Kemendikbud, nilai ujian nasional siswa SMA menurun dari tahun ke tahun.



Text Box: Gambar 1. Data Hasil Ujian Nasional Tahun 2014 - 2017                 

 Gambar 1 menunjukkan bahwa penerapan soal HOTS pada tahun 2017 menurunkan nilai UN Matematika rata-rata siswa SMA dari semua jurusan. Selain itu, TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) adalah penelitian yang dilakukan setiap empat tahun sekali untuk membandingkan prestasi matematika dan IPA di berbagai negara. Soal HOTS adalah fokus penelitian ini. Dari 50 negara yang mengikuti TIMSS 2015, Indonesia menempati urutan ke-45.

Salah satu penyebabnya adalah siswa Indonesia tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk menyelesaikan soal-soal kontektual yang membutuhkan kreativitas, penalaran, dan argumentasi, yang merupakan ciri-ciri soal-soal TIMSS (Fanani, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa siswa Indonesia masih gagal menyelesaikan HOTS. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Hussen, As'ari, dan Chandra (2017) menemukan bahwa HOTS siswa di sekolah masih sangat rendah. Ini ditunjukkan oleh penalaran siswa yang sangat rendah saat menyelesaikan soal HOTS.

Solusi untuk masalah saat ini harus diterapkan di sekolah. Hal ini sangat penting dilakukan karena siswa Indonesia sangat membutuhkan kemampuan untuk menguasai HOTS. Hidayati (2017) menyatakan bahwa melatih dan menumbuhkan siswa yang memiliki kecerdasan tinggi adalah tugas yang sulit bagi guru. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menemukan solusi yang diinginkan tanpa mengetahui sumber masalah. Melihat miskonsepsi yang terjadi saat menyelesaikan soal HOTS adalah cara untuk melihat letak masalah yang dihadapi oleh siswa dalam melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi. Siswa dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas menunjukkan kesulitan dalam memahami matematika (Sumardyono et al., 2009; Egodawatte, 2011; Andini, 2012; Ozerem, 2012; Irawati, Indiati, & Shodiqin, 2014; Gradini, 2016).

Menurut Sumarmo dan Hendriana (2014), karakteristik matematika terletak pada sifatnya yang menekankan pada proses deduktif yang memerlukan penalaran logis dan aksiomatik. Proses induktif dimulai dengan pengamatan sejumlah data, yang mencakup pembuatan konjektur, model matematika, analogi, dan atau generalisasi. Untuk karakteristik berikutnya, matematika disebut sebagai ilmu yang terstruktur dan sistematis karena bagian-bagiannya tersusun secara hierarkis dan terhubung secara fungsional.

Pembelajaran matematika untuk siswa adalah pembentukan pola pikir untuk memahami konsep dan memahami hubungan antara konsep tersebut. Para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman dengan karakteristik sekumpulan objek (abstraksi). Siswa memiliki pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan informasi, seperti melalui persamaan-persamaan atau tabel-tabel dalam model matematika, yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau uraian matematika lainnya.

Siswa harus diajarkan matematika untuk membangun kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Tujuan dari mata pelajaran matematika, menurut Depdiknas (2006), adalah agar siswa memiliki kemampuan berikut

1.      Memahami konsep matematika, memahami hubungan antar konsep, dan menggunakan ide atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2.      Membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika dengan menggunakan penalaran pada pola dan sifat

3.      Memecahkan masalah berarti memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi.

4.      Untuk menjelaskan keadaan atau masalah, gagasan harus dikomunikasikan menggunakan media seperti simbol, tabel, diagram, atau lainnya.

5.      Memiliki sifat yang menghargai matematika dalam kehidupan, seperti rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam matematika serta kemampuan untuk memecahkan masalah dengan ulet dan percaya diri.

Menurut Sumaryanta (2018), kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) tidak asing dalam pendidikan matematika. Para ahli telah membuat banyak definisi untuk istilah HOTS. Menurut Brookhart (2010), HOTS berhubungan dengan tiga hal: transfer, berpikir kritis, dan pemecahan masalah. Kemampuan siswa untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari dalam kehidupan mereka dikenal sebagai transfer. Sebagai perbandingan, Mainali (2012) menyatakan bahwa HOTS mencakup kemampuan kreatif, kritis, logis, dan reflektif. Menurut Australian Council for Educational Research (Widana, 2017), kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah proses yang terdiri dari analisis, refleksi, pembuatan argumen (alasan), penerapan konsep dalam berbagai konteks, dan penyusunan.
Proses berpikir siswa pada tingkat kognitif yang lebih tinggi dikenal sebagai HOTS. Ini berasal dari berbagai konsep dan taksonomi pembelajaran, seperti metode pemecahan masalah, taksonomi bloom, dan taksonomi pengajaran dan penilaian (Saputra, 2016). Dengan HOTS, siswa akan lebih mampu memahami hal-hal yang kompleks, mampu memecahkan masalah, berargumentasi dengan baik, mampu membuat penjelasan, mampu berhipotesis, dan membedakan ide atau gagasan dengan jelas (Newman dan Wehlage, 2013). HOTS terjadi ketika orang mengaitkan informasi baru dengan informasi yang sudah ada di ingatannya, mengaitkannya, menata ulang, dan mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan, atau untuk menyelesaikan masalah yang sulit dipecahkan, menurut Vui (Kurniati, 2014).

Tujuan utama HOTS adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa pada tingkat yang lebih tinggi, terutama yang berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir secara kritis, berpikir kreatif untuk memecahkan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki, dan membuat keputusan dalam situasi yang kompleks (Saputra, 2016). Tabel berikut menunjukkan pendapat yang mendasari konsep keterampilan berpikir tinggi.

Tabel 1. Dasar Konsep HOTS



Bloom membagi domain kognitif menjadi enam level berpikir, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Namun, revisi teksonomi Bloom yang dibuat oleh Anderson dan Krathwohl lebih berfokus pada praktik pembelajaran yang diharapkan dan bagaimana domain kognitif dapat menjadi lebih hidup dan relevan bagi pendidik. Ini dapat membantu pendidik dalam mengembangkan dan menetapkan tujuan dan strategi penilaian yang efektif. Ketiga ide yang membentuk dasar kemampuan berpikir dalam tingkat tinggi mencakup tindakan seperti menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan pengetahuan yang disesuaikan dengan konsep, prosedur, dan metakognitif.

Sangat disarankan agar soal HOTS digunakan dalam berbagai jenis penilaian kelas. Pedoman penilaian HOTS Kemendikbud (2017) juga menyatakan bahwa soal-soal HOTS adalah tes yang didasarkan pada situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, dan diharapkan siswa dapat menggunakan konsep pembelajaran yang diajarkan di kelas untuk menyelesaikan masalah. Menurut Resnick (1987), ciri-ciri HOTS termasuk tidak algoritmik, kompleks, berbagai solusi, penerapan berbagai criteria, dan susah payah. Berpikir kritis dan kreatif adalah dua contoh kemampuan berpikir tingkat tinggi, menurut Conklin (2012). Meskipun demikian, Kemendikbud (2017) menyatakan bahwa soal HOTS memiliki kemampuan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, berbasis masalah kontekstual, tidak rutin, dan menggunakan berbagai bentuk soal.

Menurut Kemendikbud (2017), kemampuan berpikir kritis tidak sama dengan tingkat kesulitan sebuah tugas. Soal-soal HOTS bukan selalu sulit. Soal-soal ini mungkin tidak terlalu sulit (termasuk soal HOTS) jika siswa harus menggunakan keterampilan berpikir yang luar biasa untuk menyelesaikannya (misalnya, perlu melakukan analisis, sintesis, atau membuat metode baru untuk menyelesaikannya). Selain itu, soal HOTS dapat dikembangkan untuk berbagai jenis materi matematika. Seluruh materi matematika yang termasuk dalam kategori sulit dapat digunakan dalam soal HOTS. Ini sejalan dengan gagasan bahwa masalah HOTS tidak selalu berarti masalah sulit. Piramida penilaian berikut oleh de Lange (1999) menunjukkan hal ini


Text Box: Gambar 2. Piramida Penilaian De Lange (1999)

Piramida di atas menunjukkan bahwa soal HOTS untuk seluruh bidang belajar matematika, mulai dari yang paling mudah hingga yang paling sulit, dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Agar tepat sasaran, soal-soal yang digunakan untuk mengukur HOTS harus disesuaikan dengan kebutuhan penilaian level berpikir yang tepat. Dalam penelitian ini, indikator soal HOTS digunakan dengan menggabungkan gagasan Anderson & Krathwohl (2001), (Widana, 2017), dan Kemendikbud (2017) melalui dimensi proses berpikir kognitif dan tingkat soal.

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 2. Dimensi Proses Berpikir Kognitif

Tabel di atas menunjukkan tingkat kognitif yang digunakan sebagai pengukur untuk mengembangkan soal HOTS dalam penelitian ini. Dimana HOTS harus mencakup tingkat kognitif serta kata kerja operasional dan bentuk karakteristiknya. Menurut Widana (2016); Kemendikbud (2017); dan Fanani (2018), proses penyusunan soal HOTS dipaparkan di sini.

1.      Analisis KD yang dapat digunakan untuk HOTS

2.      Mengembangkan kisi-kisi soal

3.      Memilih stimulus yang relevan dan menarik.

4.      Pertanyaan harus dibuat sesuai dengan kisi-kisi soal.

5.      membuat rubrik atau kunci jawaban untuk penskoran


REFERENSI

 Artika, R. V., Sudrajat, R., & Wijayanti, A. (2019). Pengaruh Model Realistic Mathematics Education (RME) Berbantu Media Kertas Lipat Terhadap Penanaman Konsep Bangun Datar. Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar, 3(4), 481. https://doi.org/10.23887/jisd.v3i4.21 784

Arthur, L. E. (1950). Diagnosis of disabilities in arithmetic essentials, Mathematics Teacher 43, 197‐202.

Astuti, A. (2018). Penerapan Realistic Mathematic Education (Rme) Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Vi Sd. Jurnal Cendekia : Jurnal Pendidikan Matematika, 2(1), 49–61. https://doi.org/10.31004/cendekia.v2 i1.32

Asyafah, A. (2019). MENIMBANG MODEL PEMBELAJARAN (Kajian Teoretis-Kritis atas Model Pembelajaran dalam Pendidikan Islam). TARBAWY : Indonesian Journal of Islamic Education, 6(1), 19–32. https://doi.org/10.17509/t.v6i1.2056 9

Bransford, J. D., Brown, A. L., & Cocking, R. R. (2000). *How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School*. National Academy Press.

Fauzi, R., & Idris, S. (2022). *Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika: Sebuah Tinjauan Filsafat*. Jurnal Pendidikan Matematika.

Gagne, R. M., (1965). The Conditions of learning. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Indrawati. (2011). Perencanaan Pembelajaran Fisika: Model-Model Pembelajaran Implementasinya dalam Pembelajaran Fisika. Jember: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jember.

Isrok'atun. (2019). Model-model Pembelajaran Matematika, cet.2 Jakarta:Bumi Aksara.

Klein, P. D. (2007). The challenges of Scientific literacy: From the viewpoint of second‐generation cognitive science. International Journal of Science Education,28(2), 143‐178.

Kusmaryono, Imam. (2014). Trend Pendidikan Matematika Masakini: Mathematical Power Sebagai Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi. Disajikan dalam Seminar Nasional PMAT_FKIP Unissula Semarang. 15 Nopember 2014.

Lestari, I., Andinny, Y., & Mailizar, M. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Situation Based Learning dan Kemandirian Belajar Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. JNPM (Jurnal Nasional Pendidikan Matematika), 3(1), 95. https://doi.org/10.33603/jnpm.v3i1.1 748

Magelo, C., Hulukati, E., & Djakaria, I. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Open-Ended terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Ditinjau dari Motivasi Belajar. Jambura Journal of Mathematics, 2(1), 15–21. https://doi.org/10.34312/jjom.v2i1.2 593

Maryati, I. (2018). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Materi Pola Bilangan Di Kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Mosharafa: Jurnal Pendidikan Matematika, 7(1), 63–74. https://doi.org/10.31980/mosharafa. v7i1.342

Murniarti, E. (2017). Penerapan Metode Project Based Learning. Journal of Education, 3(2), 369–380.

Nilam Sari. (2019). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Kemandirian Belajar Matematis SiswaSMK Ar-Rahman Medan. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Radatz, H. (1979). Error analysis in mathematics education.Journal for Research in Mathematics Education 10 (3), 163‐172.

Roberts, G. H. (1968). The failure strategies of third grade arithmetic pupils, Arithmetic Teacher 15(5), 442‐446

Shadiq, F. (2010). Effective Mathematics Teaching Strategies Inspiring Progressive Student. Disajikan pada “Pemaparan Hasil Pelatihan RECSAM2”. Yogyakarta: PPPG Matematika.

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. New York: Longman.

Andini, D. (2012). Miskonsepsi Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Retrieved from https://www.academia.edu/9746128/Miskonsepsi_Matematika_Siswa_Sekolah_Dasar

Arikunto, S. (2011). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Azwar, S. (1995). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Badjeber, R., Purwaningrum, J.P. (2018). Pengembangan Higher Order Thingking Skills dalam Pembelajaran Matematika di SMP. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol (1) No 1, 36 – 48

Brookhart. (2010). How to assess higher-order thingking skills in your classroom. Virginia USA: ASCD Alexandria, VA

Conklin, W. (2012). Higher order thinking skills to develop 21st century learners. Huntington Beach, CA: Shell Education Publishing, Inc.

de Lange, J. (1999). Framework For Classroom Assessment In Mathematics. Freudenthal Institute & National Center for Improving Student Learning and Achievement in Mathematics and Science

Depdiknas. (2006). Kemendikbud.

Dinni, H. N. (2018). HOTS (High Order Thinking Skills) dan Kaitannya dengan Kemampuan Literasi. Prisma Prosiding Seminar Nasional Matematika 1, 170 – 176

Dzulfikar, A., Vitantri, C. A. (2017). Miskonsepsi Matematika pada Guru Sekolah Dasar. Suska Journal of Mathematics Education, Vol (3) 1, 41 – 48

Egodawatte, G. (2011). Secondary School Student’s Misconceptions in Algebra. PhD Thesis. University of Toronto. Retrieved from https://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/29712/1/EgodawatteArachchigeDon_ Gunawardena_201106_PhD_thesis.pdf.pdf

Fanani, M. Z. (2018). Strategi Pengembangan Soal Higher Order Thinking Skill (HOTS) dalam Kurikulum 2013. Edudeena Journal of Islamic Religious Education, Vol (2) 1, 57 – 76

Fitriani, D. A., Mardiyana., & Pramesti, G. (2017). Analisis Miskonsepsi Siswa pada Pembelajaran Matematika Materi Pokok Ruang Dimensi Tiga Ditinjau dari Kecerdasan Visual-Spasial Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Klaten Tahun Ajaran 2012/2013. Jurnal Pendidikan Matematika dan Matematika, Vol (1) 6, 27 – 34

Gradini, E. (2016). Miskonsepsi dalam Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar di Dataran Tinggi Gayo. Numeracy, Vol (3) 2, 52 – 60

Hansen, A. (2006). Children Errors in Mathematics: Understanding common misconceptions in primary school. Exeter: Learning Matters.

Hidayati, A. U. (2017). Melatih Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi dalam Pembelajaran Matematika pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, Vol (4) 2, 143 – 156

Hussen, S., As’ari, A.R., & Chandra, T.D. (2017). Analisis Problem Posing Siswa Ditinjau dari Taksonomi Bloom. Jurnal Kajian Pembelajaran Matematika, Vol (1) 2, 119 – 126

Irawati, R., Indiati, I., & Shodiqin, A. (2014). Miskonsepsi Peserta Didik dalam Menyelesaikan Soal pada Materi Relasi dan Fungsi Kelas VIII Semester Gasal SMP Negeri 4 Kudus. In Proceedings of Mathematics and Sciences Forum 2014, 805 – 812

Kemdikbud. (2017). Panduan Penilaian HOTS. Jakarta: Diraktorat Guru dan Tenaga Kependidikan

King, F., Goodson, L., & Rohani, F. (2012). Higher Order Thinking Skills. Center for Advancement of Learning and Assessment.

Krulik, S., & Rudnick, J. A. (1999). Innovative Tasks to Improve Critical and Creative Thinking Skills. Developing Mathematical reasoning in Grades K-12, 138-145.

Kurniati, D. (2016). Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SMP Di Kabupaten Jember Dalam Menyelesaikan Soal Berstandar PISA. Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Vol (20) 2, 142-155.

Lewshe, C. H. (1975). A Quantitative Approach to Content Validity. A paper presented at Content Validity II, A Conference held at Cowling Green State University. July 18, 1975.

Luneta, K., & Makonye, P. J. (2010). Learners Errors and Misconceptions in Elementary Analysis: A Case Study of a Grade 12 in South Africa. Acta Didactica Napocensia, 3(3), 35–46.

Mainali, B.P. (2012). Higher order thinking in education. A Multidisciplinary Journal, Vol (2) 1, 5 – 10

Malikha, Z., & Amir, M. F. (2018). Analisis Miskonsepsi Siswa Kelas V-B MIN Buduran Sidoarjo pada Materi Pecahan Ditinjau dari Kemampuan Matematika. Pi: Mathematics Education Journal, Vol (1) 2, 75 – 81

Menis, J. & Frase, B. J. (1992). Chemistry Achievement among grade 12 Students in Australia and the United States. Research in Science and Technological Education, Vol (10) 2, 131 – 147.

Moleong, L. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.

Ozerem, A. (2012). Misconceptions in Geometry and Suggested Solutions for Seventh Grade Students. International Journal of New Trends in Arts, Sports & Science Education, Vol (1) 4, 23–35

Resnick, L. B. (1987). Education and Learning to Think. Washington, D. C: National Academy Press.

Rezky, A. H., & Edi, T. M. S. (2014). Analisis Kesalahan dan Miskonsepsi Siswa Kelas VIII pada Materi Aljabar. Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol (1) 2, 18 – 26

Saputra, H. (2016). Pengembangan Mutu Pendidikan Menuju Era Global: Penguatan Mutu Pembelajaran dengan Penerapan HOTS (High Order Thinking Skills). Bandung: SMILE’s Publishing.

Sofyan, F. A. (2019). Implementasi HOTS pada Kurikulum 2013. Jurnal Inventa, Vol (3) 1, 1 – 17

Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sumardyono,  et al. (2009). Laporan Penelitian: Kemampuan Siswa Sekolah Dasar dalam Penguasaan Istilah dan Simbol Matematika. Yogyakarta: P4TK Yogyakarta

Sumarmo, U., & Hendriana, H. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung: Refika Aditama.

Sumaryanta. (2018). Penilaian HOTS dalam Pembelajaran Matematika. Indonesia Digital Journal of Mathematics and Education, Vol (8) 8, 500 – 509

Suparno, P. (2013). Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tatsuoka, K. K. (1995). Architecture of Knowledge Structures and Cognitive Diagnosis: A Statistical Pattern Recognition and Classification Approach. Tulisan dalam Nichols, Paul D., Susan F Chipman, Robert L. Brennan (Eds.), Cognitively Diagnostic Assesment. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Wang, V. & Farmer, L. (2008). Adult Teaching Methods in China and Bloom’s Taxonomy. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning. (Online), 2(2) (http://digitalcommons.georgiasouthern.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1107&context=ij-sotl, diakases 18 Juli 2019)

Widana, I.W. (2017). Penyusunan Soal Higher  Order Thinking Skills (HOTS). Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.

Widodo, T., & Kadarwati, S. (2013). High Order Thinking Berbasis Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Berorientasi Pembentukan Karakter Siswa. Cakrawala Pendidikan, Vol (32) 1, 161-171.

Wonderoth, M. P. (2005). Helping the Learner to Learn: The Role of Uncovering Misconceptions. The American Biology Teacher, Vol (67) 1, 20 – 26

Comments

Popular posts from this blog

Biografi Lengkap Prof. Dr. H. Cecep Sumarna

FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA

Soal UAS Mata Kuliah Filsafat Pendidikan STKIPM Kuningan