Prof. Dr. Cecep Sumarna (Filsafat Ilmu)
Filsafat Ilmu.
Nama mata kuliah ini, di kalangan tertentu, sering dianggap baru. Dianggap kurang
bermakna. Dianggap kurang relevan. Dianggap kurang berdaya guna. Bahkan dianggap asing,
khususnya jika harus disajikan di program Strata Satu. Diberikan kepada
mahasiswa yang hanya dipersiapkan untuk menjadi guru—dalam berbagai ragam
jurusan dan Program Studi—hakim, ahli ekonomi perbankan, calon psikolog dan
teknisi.
Ada
anggapan seolah Filsafat Ilmu hanya cocok untuk mahasiswa S2 atau mahasiswa S3.
Mahasiswa yang menurut anggapan dimaksud sudah dapat berpikir dan sudah layak
berpikir. Itu semua dianggap jauh untuk
disebut cocok bagi mahasiswa strata S1. Jenis apapun pendidikan
mereka di Program S1 dimaksud.
Betulkah
demikian? Menurut saya pernyataan dimaksud banyak kelirunya. Banyak tidak
benarnya. Banyak tidak relevan dan cenderung menunjukkan diri kurang paham
perkembangan. Perkembangan keilmuan yang justru mendorong elaborasi keilmuan
jenis pengetahuan yang ditawarkan mata kuliah ini. Bahkan cenderung tidak paham
bahwa di Perguruan Tinggi ternama, mata kuliah ini telah lama diajarkan. Bagi
saya, mata kuliah ini, seharusnya bahkan sudah diajarkan sejak seseorang
menjadi calon mahasiswa. Sejak seseorang belum memasuki perkuliahan di sebuah
institusi yang disebut Perguruan Tinggi, yakni di Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas.
Mata
kuliah ini, dalam anggapan saya, mampu memberi
arti penting terhadap orientasi, tujuan, jalan dan peta
kehidupan. Dalam konteks lain, mata kuliah ini, sekaligus mampu menelusuri
perkembangan kekinian yang bertumpu pada rumus dan kajian kesadaran diri, baik
pada aspek koginisi (intelektualitas); apeksi maupun psikomotorik sebagai calon
manusia yang memiliki kehendak untuk memilih dan menentukan pilihan hidup
disertai dengan logika-logika yang dipilihnya.
Kekeliruan Pandangan
Filsafat Ilmu sering diidentikkan dengan Ilmu Filsafat.
Inilah kekeliruan pertama. Pikiran model demikian, sering rancu dipahami banyak
pihak. Seolah filsafat ilmu berdiri untuk menerangkan kronologi kefilsafatan.
Cara berpikir filosof sejak Yunani Kuna sampai filosof abad moderen.
Tokoh-tokoh filsafat dan agenda teoretik—yang tidak membumi— dengan kajian
keilmuan temporer.
Sekali lagi, ini jelas bukan. Jelas berbeda. Meski beberapa
pemikiran kefilsafatan dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam kegiatan
kefilsafatan tetap ada dan diperlukan. Tokoh dan pemikiran dimaksud ada, sejak
berdiri di Yunani Kuna sampai abad moderen. Semua tidak
dapat dilepaskan begitu saja, tetapi itu
tidak identik dengan pokok persoalan yang dikaji dalam rumpun filsafat
ilmu.
Apakah filsafat ilmu dengan demikian berarti hanya mengkaji
persoalan logiko, verifikatio dan hypotetiko? Mengkaji saintifik dengan
berbagai metodologinya yang hanya berbasis pada paradigma berpikir
empirisme dengan sejumlah logika induksi dan sarana serta alat berpikir
statistik kuantitatif? Atau rasionalisme dengan metode deduktif-kualitatif
dengan sarana dan alat berpikir matematik? Hanya sebatas demikian, ternyata juga bukan.
Jika filsafat ilmu hanya dipahami
dalam rumpun yang demikian, tentu juga keliru. Sebab filsafat ilmu tidak hanya
membicarakan soal-soal dimaksud, meski rumusan semacam itu juga tetap
dikajinya. Sama dikajinya seperti pada dimensi kesejarahan dan
pokok pikiran kefilsafatan dari jaman ke jaman sebagaimana dijelaskan di muka.
Jika demikian, apa yang dikaji filsafat ilmu? Filsafat Ilmu
mengkaji dua persoalan di atas, ditambah dengan kajian keilmuan lain, mulai
dari pertanyaan terdasar seperti apa itu ilmu? Bagaimana ilmu didapat? Sumber
ilmu itu apa? Apa metodenya? Bagaimana sarana dan alat yang digunakannya? Untuk
apa ilmu dikonstruks? Dalam soal yang terakhir dikaji pula soal etika keilmuan
dan estetika dalam ranah keilmuan. Rumusan dimaksud biasanya berangkat dalam
kerangka teoretik pada apa yang disebut dengan ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Meski dimensi ini, juga belum mencakup segala
sesuatu yang hendak dikaji dari lahirnya Filsafat Ilmu. Sebab ada tambahan
lain, yakni mengkaji perkembangan ilmu, karakter keilmuan dari jaman
ke jaman dan bagaimana masing-masing karakter dimaksud
berpengaruh dan dipengaruhi tatanan budaya dan peradaban yang mengitarinya.
Sumbangan apa yang pernah diberikan masing-masing ilmuan dari setiap
fase peradaban dan bagaimana setiap fase peradaban itu membentuk
zaman. Jadi, kalau menurut saya, filsafat
ilmu itu koheren. Lengkap dan menyentuh hampir setiap dimensi yang
terdapat dalam kajian keilmuan dan bahkan dalam praksis kehidupan, ilmu
apapun itu yang dikajinya.
Nilai Guna
Apa
nilai guna yang dapat diperoleh dengan meletakkan filsafat ilmu dalam rumpun
yang demikian penting? Mari dilihat dan diuji sedikit nilai kepentingan
dimaksud.
Dari
zaman Plato di Yunani Kuna sampai masa al-Kindi di
Mediterenia, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut
hampir
tidak ada. Seorang filosof pasti menguasai semua ilmu. Karena
itu, ia juga disebut ilmuan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, filsafat
dan Ilmu berpisah. Ilmu bercabang dengan pencabangan (ramifikasi) yang
sangat banyak dan luas dengan tingkat akselerasi yang cukup tinggi.
Daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praktis, berujung
pada tingginya loncatan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan loncatan filsafat
itu sendiri yang sering diasosiasi sebagai induknya ilmu.
Disebut induk
ilmu, sebab pada awalnya, ilmu lahir dari filsafat. Tetapi dalam
perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang produknya teknologi,
telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih
sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, khususnya
jika dibandingkan dengan perkembangan wilayah kajian ilmu.
Tidak
salah juga jika muncul suatu anggapan bahwa, filsafat tidak lagi
dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan. Sebab manusia hari ini lebih
membutuhkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang
terkadang sulit "dibumikan". Masalahnya betulkah demikian?
Ilmu
telah menjadi kelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara
sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari
gejala-gejala alam dan sosial lewat observasi dan eksperimen.
Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, terdorong
untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung spekulatif ke
dalam bentuk ilmu yang praktis.
Ilmu
dengan demikian, dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem
pengetahuan yang telah dihasilkan oleh cara kerja filsafat dan kemudian
dibukukan secara sistematis yang bersipat teoritis. Hanya saja,
pada akhirnya kebenaran ilmu dibatasi hanya sepanjang berada dalam
pengalaman dan sepanjang dapat dibenarkan dalam pemikiran. Sedangkan
filsafat, menghendaki pengetahuan yang komprehensif, yakni yang
luas, umum, universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.
Jika
demikian, di mana saat ini filsafat harus ditempatkan? Saya sependapat dengan
pernyataan AM. Saefudin (1991) yang menyebut bahwa filsafat dapat
ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada
tarap tertentu dijangkau ilmu pengetahuan. Menafikan kehadiran filsafat, dengan
demikian, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan
riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat dan karakter ingin
terus maju.
Ilmu
bersifat pasteriori yang bertugas menyimpulkan sesuatu setelah proses penarikan sesuatu
setelah melakukan pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu
menuntut untuk diadakan percobaan dan pendalaman (deepening) agar
seseorang mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori,
yakni menarik kesimpulan dari data empiris seperti dituntut ilmu.
Filsafat
bersifat spekulatif dan kontemplatif. Kenyataan ini tidak dimiliki
ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat
itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan melalui teori keilmuan yakni observasi
dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian,
tidak setiap filosof dapat disebut
ilmuwan, sama seperti ilmuan, tidak semuanya dapat disebut
filosof. Meski demikian, cara kerja filosof dan ilmuwan itu sama menggunakan aktivitas berpikir.
Tetapi aktivitas berpikir
ilmuwan tidak sama dengan aktivitas berpikir
filosof. Yang pasti, hasil kerja filosofis ternyata dapat
menjadi permbuka lahirnya ilmu, namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan
akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil
analisis Spencer, dapat dilanjutkan oleh
cara kerja berpikir filosof dengan sejumlah nalar kefilsafatannya.
Di
samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja
ilmuwan dan filosof, memang mengandung dan mengundang sejumlah
persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan,
sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu
digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan
filsafat menjawab pertanyaan lanjutan, misalnya bagaimana sesungguhnya fakta
itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.
Gambaran
di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya
ilmu, di sisi lain, ia dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan.
"Sombongnya", filsafat sering disebut sebagai induk ilmu (mother’s of
science) dan sekaligus menjadi pamungkas keilmuan yang dalam
beberapa hal tidak dapat diselesaikan ilmu.
Kenapa
demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari
temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang
melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukkan bahwa hampir
tidak ada satu cabang ilmu pun yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak
terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu
itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat yang khusus mengkaji ilmu
pengetahuan yang objeknya ilmu itu sendiri. Rumusan ilmu
dimaksud disebut filsafat pengetahuan, yang berkembang dalam cabang baru yang
disebut dengan filsafat ilmu.
Comments
Post a Comment