Urgensi Lintasan Sejarah
Oleh: Cecep Sumarna
Gambaran
singkat tentang perkembangan filsafat, ilmu dan teknologi
sejak jaman Yunani Kuna sampai pada abad modern sekarang, saya sengaja
ungkapkan agar pembaca dapat melihat
secara jelas lintasan sejarah pengetahuan yang pernah berkembang dalam sejarah
manusia. Manusia modern diharapkan dapat memberi apresiasi terhadap
sejumlah komunitas yang telah berusaha menyelamatkan filsafat dan ilmu.
Sehingga kecongkakan dengan mengabaikan peran serta komunitas lain
dalam melahirkan ilmu menjadi tidak mungkin dilakukan.
Dunia
Islam misalnya, meski hari ini jauh tertinggal dibandingkan dengan dunia Barat
yang Kristen, bahkan jauh lebih tertinggal dibandingkan dengan penganut agama
lain yang ada di muka bumi ini; baik aspek politik, ekonomi, kebudayaan dan
peradaban, sebenarnya memiliki pengaruh dan pengalaman yang kuat dalam
melahirkan kembali ilmu pengetahuan dunia pasca kevakuman
dunia yang "dimatikan” sebagian kaum Gerejawan dan kaum mitologis.
Di era Islam ini, filsafat yang berkembang di Yunani, dalam beberapa hal bahkan
telah "dibumikan" ke dalam teori-teori pengetahuan yang praksis dan
mapan, selain tentu mengandung nilai
spritualitasnya.
BACA JUGA: PARADIGMA TERBALIK
Jika
pelacakan ini diteruskan, dunia Barat dengan semboyan dan kesombongan
modernitasnya, sebenarnya merupakan lanjutan logis dari perkembangan pemikiran
manusia dari jaman ke jaman. Perkembangan itu berjalan dalam irama
sendiri, item demi item dan tidak ada satu kelompok
komunitas masyarakatpun yang berhak untuk mengklaim bahwa modernitas secara
tunggal hanya dihasilkan sekelompok orang atau sekelompok komunitas masyarakat,
tanpa sedikitpun memperoleh sumbangan dari kelompok lain.
Thomas
S. Kuhn (1970) menyadari pentingnya soal ini. Ia
mengislustari bahwa setiap komunitas masyarakat, setiap fase hidup dalam
manusia, selalu tersedia paradigma sesuai dengan konteks waktu dan tempat di mana
nilai paradigmatik itu disusun. Satu paradigma sesuai dengan paradigma
lain, selalu seiring sejalan dan saling melakukan
antitetik. Sehingga yang terjadi kemudian, dialektika keilmuan sebenarnya sudah
ada, bahkan sejak manusia pertama, Adam lahir dan memfungsikan dirinya sebagai
khalifah di muka bumi ini.
Jika
asumsi Kuhn tadi dijadikan alas berpikir kita, maka rantaian paradigma keilmuan
Barat kontemporer yang positivistik, atau apapun istilah yang kita berikan
kepadanya, maka sesungguhnya, landasan epistemologi itu sudah berjalan sejak
Yunani memproklamirkan diri sebagai kota yang penuh mitos. Mitologi, harus kita
akui sebagai paradigma hidup umat manusia yang tentu cocok untuk jamannya.
Paradigma ini juga dapat memuaskan sejumlah pertanyaan sekaligus permasalahan
umat manusia yang hidup dan berkembang di jamannya.
Selain
itu, lintasan sejarah ini juga memberi kita sejumlah pengertian dan sekaligus
alasan untuk menyebut bahwa setiap lakon sejarah, pasti memberi warna
tersendiri serta back ground-nya sendiri yang khas. Dialektika ini terus
berlanjut dari dulu sampai sekarang. Sebagai contoh, ketika filosof Yunani yang
dikawal Sokrates, Plato da Aristoteles mengembangkan prinsip empiric-rasional,
corak ini sebenarnya akan menjadi antitesis dari corak Yunani awal yang mistis.
Artinya, semangat empirik-rasional sensual yang lahir di Yunani, sebenarnya
merupakan respon dari corak sebelumnya yang tidak menghargai aspek ini, bahkan
cenderung mistik.
BACA JUGA: ADAKAH KEGUNAAN MITE
BACA JUGA: ADAKAH KEGUNAAN MITE
Sikap
pemikiran tiga filosof tadi, yang cenderung sekularistik dan bahkan ateistik ternyata
menjadi alasan kuat dan penting bagi kaum Kristen awal untuk menolak hasil pemikiran
mereka. Sikap sebagian paganisme Kristen awal, harus diakui menjadi ekuiblirium
baru, meski juga harus diakui bahwa sikap tadi berdampak pada menurunnya wibawa
ilmu ketika harus berhubungan dengan dunia.
Epistemologi
keilmuan masyarakat Muslim ternyata berbeda dengan epistemologi sebelumnya.
Islam mencoba membuat rumusan paradigma sintetik antara basis keilmuan yang
murni empirik-rasional sensual ke basis keilmuan yang lebih membuni, yakni antara keharusan mempertahankan dua
epistemologi tadi dengan basis intuisi wahyu. Dengan kata lain, corak keilmuan Yunani yang sekular,
ditransendentalisasi nilai-nilai qudus yang bersumber dari Yang Maha
qudus. Corak ini, dianggap lebih
manusiawi karena dianggap lebih berdimensi ketuhanan. Tanpa disadari, corak ini
tampaknya akan menjadi popular bagi masyarakat modern yang sudah mulai jenuh
dengan sipat dan karakter keilmuan yang secular seperti dialami masyarakat
Yunani Kuna dan Barat moderen.
Fakta menunjukkan bahwa umat
Islam mengambil sikap kompromistik dalam bingkai sains dan
kemudian Barat mengambilnya dengan
sikap keilmuan seperti Yunani Kuna. Dunia
Barat mencerabut akar keilmuan yang qudus, ke arah ilmu yang benar-benar
sekular. Akibatnya, gugatan terhadap capaian pengetahuan dunia Barat, terasa
sangat kencang. Barat dianggap gagal memartabatkan manusia dan ia
terkesan terlalu bersemangat menjadi pemimpin bumi. Bahkan dengan capaian teknologi
yang sangat tinggi, Barat gagal mencapai tujuan terbentuknya manusia yang
memiliki keterampilan duniawi sekaligus bertanggungjawab untuk masa depan
kehidupan manusia yang lebih abadi.
Lebih eternal dan beyon'd Syurgawi.[]