Sejarah Pentingnya Nilai

Oleh: Prof. Dr. H. Cecep Sumarna
Secara historis, pentingnya nilai dalam pengetahuan sebenarnya telah ada sejak jaman Yunani Kuna. Hal ini diawali Socrates dan muridnya Plato yang menyatakan, “Summum Bonum” (kebaikan tertinggi). Pernyataannya ini mengisyaratkan bahwa nilai itu ada dan keberadaannya tersusun di balik yang fisik. Pemikiran Plato ini dianggap error oleh muridnya, Aristoteles. Ia, menyebut menyebut gurunya memiliki logical error. Sebab baginya nilai inheren dengan aspek fisik. Ia tidak berada di luar dari suatu subtansi.

Tetapi pemikiran tentang pentingnya nilai dalam berbagai bangunan keilmuan dan perilaku hidup keseharian, di zaman sesudahnya, dibangun kembali Thomas Aquinus. Pemikiran Plato yang menganggap pentingnya nilai tertinggi sebagai penyebab final (causa prima) dalam berbagai segi kehidupan termasuk bingkai keilmuan, bahkan terkesan menjadi ajaran yang praktis. Nilai tertinggi itu disebut Aquinus sebagai wujud diri Tuhan yang menjadi kebenaran kehidupan, keabadian dan kebaikan tertinggi.

Di abad pertengahan, pentingnya nilai kembali dimapankan Spinozoa. Ia berpendapat sama, bahwa nilai mendasarkan diri pada aspek metafisik. Berbagai nilai diselidiki secara terpisah dari ilmu pengetahuan. Immanuel Kant (tokoh penting aufklarung) telah mampu memperlihatkan hubungan antara pengetahuan dengan moral, estetika dan religiusitas. Tetapi perdebatan tentang penting-tidaknya nilai dalam bingkai ilmu, tetap saja tidak mencapai titik final.

Ada sekelompok ilmuan yang menganggap bahwa nilai harus diidealisir. Nilai dianggapnya eksis dan dapat mempengaruhi berbagai wacana yang ada dalam konteks kehidupan. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang dianggap nilai itu ideal dan bersifat ide-ide. Ia abstrak dan tidak dapat disentuh pancaindra. Nilai berbeda dengan fakta. Sebab fakta dapat diketahui sedangkan nilai hanya dapat dirasakan (apriori emosional). Karena itu, persoalan nilai tidak terietak pada benar dan salah, tetapi lebih pada soal dikehendaki dan tidak dikehendaki.
Ciri dan Letak Nilai

Di mana dan dalam bentuk apa nilai etik harus diterapkan. Nilai memiliki ciri dan karakter khusus. Setidaknya dalam catatan Filsafat Ilmu, nilai memiliki tiga ciri. Ketiga ciri itu adalah:
Nilai dan Subjek

Subjek menjadi penentu dalam memberikan penilaian. Baik buruknya sesuatu bergantung pada diri dan dimensi subjek yang memberi penilaian atas suatu objek.
Kalau tidak ada subjek, maka tidak ada yang menilai. Tanpa kehadiran manusia sebagai subjek, gunung misalnya mungkin saja meledak. Tetapi untuk menilai apakah dengan ledakan gunung itu dapat merugikan atau tidak? Merugikan atau menguntungkan atas ledakan gunung itu, sangat tergantung terhadap kehadiran subjek yang menilai, yakni manusia.

Pada saat gunung dapat meletus, manusia mungkin merasa telah dirugikan. Tetapi, ahli pertanian akan menganggap bahwa letusan gunung justru akan menguntungkan manusia setidaknya dalam jangka waktu panjang yang akan datang. Sebab dengan meletusnya gunung dan terhampamya pasir serta debu, kondisi tanah yang telah mati, akan hidup kembali dan mencitrakan tanah sebagai wujud sejatinya.

Peta berpikir semacam ini, juga berlaku dalam rumus salah-benarnya suatu organisasi atau aliran dalam pemahaman keagamaan. Misalnya, soal Ahmadiyah. Benar salahnya pemikiran keagamaan mereka akan sangat tergantung dari sudut pandang penilai (subjek) terhadapnya.
Bagi mereka yang melihat persoalan Ahmadiyah dalam sudut pandang teologi agama, dengan model pendekatan tekstualis, akan sangat mudah menjustifikasi aliran ini sebagai sesat dan menyesatkan karena muncul anggapan bahwa organisasi ini tidak mengakui Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang final dan akhir. Pintu menuju kemusliman seseorang dalam Islam, diawali dari pernyataan bahwa Allah itu Esa, dan Muhammad adalah Nabi dan Rasul yang terakhir.

Berbeda dengan kelompok semacam tadi, mereka yang melihat dari sudut pandang sosiologi, filsafat dan budaya murni, pasti akan memiliki kesimpulan yang berbeda karena sejumlah metodologi dan perangkat aat lainnya berbeda dengan kelompok pertama. Logika yane digunakan juga berbeda. Misalnya mereka menyatakan bahwa Muhammad bukan akhir dari Nabi dengan alasan: Pertama, secara sosiologis, Muhammad turun hampir lima belas abad yang lalu. Pokok persoalan yang dihadapi umat manusia pasti berbeda dan berubah dengan tingkat perubahan yang sangat signifikan. Persoalannya, mungkinkah tidak ada ruang untuk munculnya Nabi atau Rasul baru dalam kepentingan menjawab persoalan umat yang berkembang di era mutakhir? Atau setidaknya, mungkinkah tidak akan ada orang yang memiliki fungsi kenabian dan kerasulan setelah Muhammad.

Kedua, penyebutan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang akhir, tidak lebih hanya merupakan arbiter ulama-ulama salaf yang dibenarkan mayoritas ulama khalaf. Didasarkan atas firman Allah: “Bukanlah Muhammad itu bapak dari anak-anak mereka, tetapi ia juga Rasul dan Nabi yang terakhir”. Ayat ini, difahami kelompok kedua, mengandung isyarat bahwa yang menjadi akhir itu adalah kenabian. Sedangkan fungsi kerasulan masih mungkin terjadi karena tidak spesifik disebut al Qur’an. Aspek lain, secara hermeneutik, kata khatam, dapat pula ditulis khatim. Ada pergeseran makna dari makna akhir ke makna cincin. Jadi, ada ruang untuk lahirya Rasul atau bahkan nabi lain, setelah kenabian dan kerasulan Muhammad. Muhammad sendiri hanya berposisi sebagai cincinnya para Nabi.

Bagi saya sendiri, persoalan Ahmadiyah anggap saja benar secara filosofis, sosiologis dan sekaligus teologis-agamis. Tetapi, seharusnya, dimensi epistemologi keagamaan mereka juga dipenuhi. Misalnya, ketika mereka menganggap telah memiliki nabi selain Muhammad, maka posisi Muhammad anggap saja persis seperti Isa dan nabi-nabi yang lain. Tetapi, bukan berarti Islam tidak memiliki genuitasnya sebagai sistem nilai sebuah agama.
Nah, konflik benar salahnya Ahmadiyah, saya yakin tidak dapat diselesaikan manusia dengan cara dogmatis seperti selama ini diperagakan kaum agamawan Muslim. Biarlah itu, mahkamah Tuhan yang menentukan. Tetapi, seharusnya piranti keagamaan Ahmadiyah juga dipenuhi. Misalnya, jika benar Mirza Ghulam Ahmad Nabi, kitab suci mereka apa? Jadi kalau mengaku Nabi dan atau mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad, yang dapat meyakinkan bahwa dirinya itu betul atau tidak sebagai pembawa agama adalah kitab suci? 

Konsekwensinya, kalau mereka mampu menunjukkan kitab suci ya jangan mengatasnamakan Islam. Dan jika mereka menggunakan kitab suci Islam, ya harusnya mengikuti prinsip agama Islam –yang salah satunya mengakui kerasulan dan kenabian Muhamad yang akhir-- Jika itu mampu dilakukan, saya yakin tidak akan ada trust claim. Konflik yang berkepanjangan yang belakangan telah melahirkan huru-hara sosial di antara ormas-ormas Islam sendiri seringkali tidak jelas. Ahmadiyah dengan demikian bukan agama, karena, ia tidak memenuhi persyaratan keagamaan.

Sikap Praktis
Nilai tampil dalam suatu konteks yang sangat praktis, yakni subjek hendak membantu sesuatu. Dalam konteks ini, pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai. Artinya, nilai baru dianggap bermanfaat andaikan nilai itu memberi corak praktis dalam kehidupan. Aliran semacam ini, biasanya sangat praktis sekaligus pragmatis. Utilitas dan kenikmatan duniawi yang pragmatis dan terukur, selalu menjadi acuan utama.
 
Sikap Pandang Subjektif
Nilai menyangkut sifat yang ditambah subjek mengenai sifat-sifat yang dimiliki objek. Nilai tidak dimiliki objek pada dirinya. Konteks nilai yang demikian harus dijelaskan sebab objek yang sama dapat melahirkan penilaian yang berbeda dari subjek yang berbeda pula. Misalnya, jika ada seorang ibu yang telah memiliki anak tiga, bahkan anaknya sudah hampir remaja, akan dianggap aneh oleh orang jika ia disebut mutiara karena kecantikannya.

Tetapi, bagi subjek lain yang memiliki kesan indah hidup bersamanya, lama merindukan karena wanita itu telah berpisah dengannya dalam jangka waktu yang panjang sewaktu ia masih gadis atau sejak ibu dimaksud remaja bersama seorang pemuda yang juga remaja, kesan lama tentang kecantikannya tidak mempengaruhi cara pandang kekiniannya untuk menyebut bahwa ibu dimaksud cantik, dan sekaligus menantang untuk disebut sebagai idol-nya, sepanjang masa. Nilai cantik dalam perspektif ini menjadi bergeser dari makna simbolik ke makna kesan-subtantif yang subjektif.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa nilai terletak di antara persoalan intristik dan ekstrinsik. Nilai intrisik artinya adalah, nilai itu berada di dalam objek itu sendiri. Sedangkan nilai ekstrinsik menyangkut keberadaan nilai yang bergantung pada penghargaan subjek. Persoalan ini dalam perkembangan kemudian akan melahirkan perdebatan di kalangan filosof, yakni antara mereka yang menganggap bahwa ilmu bebas nilai (karena ilmu memiliki nilainya sendiri), dan mereka yang menganggap bahwa nilai berdiri di luar ilmu, dan karenanya, ilmu semestinya ditopang oleh nilai.

Menurut saya, nilai adalah persoalan epresiasi. Positif-negatif tergantung pada disposisi subjek serta hubungan antara subjek dengan objek. Perbedaan penghargaan terhadap objek akan sangat tergantung, kepada bajat, naluri, pendidikan, sejarah, ruang, waktu, selera, pengetahuan dan lain-lain. Selain itu, disposisi individu sangat dipengaruhi kebudayaan, agama dan adat istiadat masyarakat.

Di sisi lain, harus juga dijelaskan bahwa melakukan penilaian juga butuh alat. Jika alat kebenaran adalah budi dengan cara kerjanya berfikir, maka konsekwensi pada tuntutan melakukan persesuaian antara pengetahuan dan objeknya yang kemudian menentukan pengetahuan itu benar atau salah. Dengan demikian, benar salahnya sesuatu selalu terletak pada fakta empiris dan hasil olah pikiran objek yang melihat dan menilainya. Maka, konsekwensinya, alat untuk menilai bukanlah budi, melainkan perasaan atau merasa. Apakah sesuatu dianggap benilai atau tidak, yang memutuskannya adalah perasaan. Akal budi menjadi demikian terabai. Beberapa contoh di atas dapat menjadi lukisan dari kondisi nilai seperti yang saya sebutkan tadi.

Etika sebagai Cabang Nilai
Prolog di atas telah mengisyaratkan bahwa etika (baik buruk, benar salah) adalah bagian dari cabang aksiologi. Etika adalah cabang aksiologi yang banyak membahas tentang sesuatu yang layak disebut bernilai baik dan atau bernilai buruk. Etika mengandung tiga pengertian. Ketiga pengertian itu adalah: 1) Kata etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah laku seseorang; 2) Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya kode etik; dan 3) Etika merupakan ilmu tentang yang baik dan yang buruk.

Etika dapat menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat. Etika dalam konteks ini sering disamakan dengan filsafat moral. Berdasarkan pernyataan di atas, ada dua istilah yang kerap kali muncul dalam membicarakan persoalan etika. Kedua istilah itu adalah moral dan etika itu sendiri.

Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak. Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin mos (bentuk tunggal) dan mores (bentuk jamak) yang sering diartikan sebagai kebiasaan.

Menurut Farans Magnis Suseno, dua istilah itu sebenarnya satu sama lain berbeda. Moral adalah sejumlah ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan; tulisan-tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama serta tulisan para orang bijak. Sumber ajaran moral tidak tunggal. Ia berada dalam ruang yang sangat heterogen.

Islam memiliki ajaran moral tersendiri sehingga penganutnya dituntut untuk mengikut ajaran moralnya. Hal yang sama terjadi dalam agama-agama lain, Kristen, Hindu dan Budha yang memiliki ajaran moral tersendiri, yang memungkinkah berbeda dengan nilai moral yang digunakan dalam ajaran Islam. Masing-masing umat kaum beragama tadi, dituntut mengikuti ajaran moral masing-masing agamanya.

Etika, menurut Frans, bukan sumber tambahan ajaran tentang moral. Ia adalah cabang atau pemikiran yang kritis dan mendasar tentang ajaran moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Yang mengatakan bahwa bagaimana manusia harus hidup, bukan etika, melainkan ajaran moral. Etika mengajarkan kenapa manusia mesti bertanggungjawab ketika berhadapan dengan pelbagai ajaran moral lain yang ada di sekitamya. Ajaran moral seperti buku petunjuk bagaimana manusia harus memperlakukan sepeda motor dengan baik. Sedangkan etika memberi manusia suatu pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor itu.

Mengutif Sidi Ghazalba (1981: 335), etika bersifat ideal dan hanya terkait dengan ide-ide. Ia merupakan pejelasan terhadap sesuatu yang bersipat abstrak dan tidak dapat disentuh pancaindra. Manusia hanya dapat melihat perilaku manusia lainnya yang mengandung nilai. Nilai berbeda dengan fakta. Bahkan ia bukan fakta. Sebab fakta berbentuk kenyataan yang sifatnya konkret dan dapat ditangkap. Sedangka nilai tidak dapat ditangkap panca indera. Nilai etik hanya dapat dihayati dan dirasakan. Tetapi fakta-fakta muncul sebagai akibat dari nilai yang dianut. Saya sering mengistilahkan nilai dengan sebutan covert behavior –tidak tampak—tetapi memiliki pengaruh dalam tindakan dan perbuatan yang terwujud melalui overt behavior

Pendapat sama diungkapkan Louis O. Kattsoff (1986: 335). Ia menyatakan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan. Namun bukan berarti ia tidak dapat difahami. Nilai sifatnya relative. Jika anda mengatakan bahwa Puspa Andini adalah gadis yang cantik, tidak menjamin bahwa gadis itu disebut cantik oleh teman Anda. Teman anda dapat saja mengatakan bahwa Puspa adalah gadis yang jelek. Kecantikan sebagai sebuah nilai adalah subjektif, dan pasti atas perselisihan itu tidak akan diperoleh kesepakatan. Anggapan yang menyatakan nilai adalah kualitas empiris, perlu memperoleh pengujian. Sehingga menurut Kattsoff, nilai sesungguhnya merupakan pengutamaan, masalah selera dan orang tidak perlu mempertentangkannya.

Masalah yang kemudian muncul adalah, kenapa dalam filsafat ilmu mesti ada teori tentang pentingnya nilai. Filsafat sebagai philosophy of life mempelajari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dan ia berfungsi menjadi semacam pengontrolan terhadap basis keilmuan manusia. Teori nilai fungsinya mirip dengan agama yang menjadi pedoman hidup manusia. Dalam teori ini, terkandung sejumlah tujuan bagaimana manusia menjalani kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan yang dijalani.

Frans Magnis Suseno memaknai nilai kebaikan dan keburukan dengan etika. Etika diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang orientasi hidup. Melalui penegasan terhadap orientasi, manusia akan terbimbing menuju tingkat tinggi dalam kehidupan. Manusia akan tahu di mana ia berada dan ke arah mana ia bergerak. Filsafat mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tahu dan mau. Kemauannya mengandalkan pengetahuan. Manusia hanya akan bertindak berdasarkan situasinya, kemampuannya, tentang segala faktor yang perlu diperhatikan agar rencananya dapat terlaksana.
Nilai bersembunyi di balik kenyataan. Nilai seperti sifat warna tertentu yang dibawa benda tertentu pula. Nilai bukan sesuatu yang tidak eksis, tetapi ia sungguh-sungguh merupakan suatu kenyataan bukan hanya sekedar dianggap ada. Karena itu, walaupun nilai bersembunyi di balik kenyataan lain dan sipatnya tidak kongkret, tetapi, ia eksis. Sebab, pembawa nilai dapat saja mengalami perubahan, sedangkan nilai itu sendiri bersifat mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan.

Contoh: Pak Abdullah Ali adalah professor serba bisa. Menurut saya, ia adalah seorang dosen yang baik, jujur dan bertanggungjawab. Sifat baik, jujur dan bertanggungjawab adalah immanent. Ia akan melekat pada siapa saja yang memenuhi standar kebaikan, kejujuran dan tingginya rasa tanggungjawab. Sebab rofesor Abdullah Ali dapat saja suatu waktu tidak baik, tidak jujur dan tidak bertang­gungjawab karena berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
Misalnya, kebaikan, kejujuran dan sifat tanggungjawabnya itu berubah menjadi kejelekan ketika ia dihadapkan pada tuntunan kebutuhan hidup dan lingkungan kerja di mana ia bekerja. Tetapi makna kebaikan, kejujuran dan karakter bertanggung­jawab tetap melekat sebagai nilai positif, meskipun sifat itu tidak lagi melekat sebagai nilai yang positif yang ada pada Pak Abdullah Ali. Itu adalah contoh yang sangat sederhana.
Nilai adalah sesuatu yang sangat berharga. Kehilangan nilai akan memberi arti pada hilangnya orientasi atau tujuan hidup. Manusia sendiri menurut saya, akan kehilangan makna hidupnya jika tidak lagi memiliki orientasi dan cita-cita dalam hidup. Ernes Gellner melihat nilai sebagai sesuatu yang sangat penting untuk menjunjung pemberian arti terhadap kehidupan. Etika seperti disebutkan Frans Magnis Suseno termasuk dalam kelompok filsafat praktis. Etika praktis ini kemudian dibaginya menjadi dua cabang yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum diartikan sebagai pemikiran kritis terhadap sejumlah ajaran moral yang dijalaninya. Ia tidak henti mempertanyakan kenapa nilai moral tertentu dianut dirinya. Benarkan ajaran moral yang dianutnya itu dibenarkan dan mampu memberi arti terhadap kehidupan ini.

Popular posts from this blog

Biografi Lengkap Prof. Dr. H. Cecep Sumarna

Biografi Lengkap Arip Amin

Soal UAS Mata Kuliah Filsafat Pendidikan STKIPM Kuningan